Fatwapedia.com – Beberapa ulama muta’akhirin telah membahas permasalahan dimana posisi bersedekap bagi orang yang sedang sholat ketika berdiri?, kemudian mereka menyebutkan pendapat para ulama terkait posisinya dan dalil-dalil dari hadits-hadits nabawi berkaitan dengan masalah tersebut. Sebagian mereka mengatakan tidak ada satu pun hadits yang shahih berkenaan dengan posisi tersebut, sehingga mereka memberi keluasan bagi orang yang sholat untuk bersedekap dimanapun yang mereka mau apakah dibawah pusar, di pusar, diatas pusar, di dada, dan diatas dada.
Namun salah satu ulama unggulan ahli hadits pada zaman ini, yaitu Muhammad Naashiruddin Al Albani, merajihkan bahwa ada satu hadits yang shahih menurut beliau, terkait posisi bersedekap tersebut, yaitu di dada. Beliau telah melakukan takhrij hadits-hadits berkenaan dengan bersedekap di dada, terutama yang ditulis dalam kitabnya Ashlu Sifat Sholat Nabi sholallahu alaihi wa salam.
Pada kesempatan kali ini saya akan menukil takhrij hadits berkenaan dengan meletakkan kedua tangan di dada pada waktu sholat. Saya akan masuk dari pintu pembahasan hadits mursal ketika mendapatkan penguat dari jalan lain.
Terdapat sebuah hadits mursal terkait posisi kedua tangan di dada pada saat melaksanakan sholat. Imam Abu Dawud dalam “Sunannya”, dan “al-Maroosiil” (no. 33) meriwayatkan :
حَدَّثَنَا أَبُو تَوْبَةَ، حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ، عَنْ ثَوْرٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى، عَنْ طَاوُسٍ، قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدَهُ الْيُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بِهِمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ»
“Haddatsanaa Abu Taubah, haddatsanaa al-Hutsaim, dari Tsaur, dari Sulaimaan bin Musa, dari Thawus, beliau berkata : “Rasulullah sholallahu alaihi wa salam meletakkan“ tangan kanan diatas tangan kiri, lalu bersedekap di dada ketika mengerjakan sholat”.
Asy-Syaikh Syu’aib Arnauth dalam Ta’liqnya terhadap Sunan Abu Dawud berkata :
“Mursal, para perowinya tsiqot, selain Sulaiman bin Musa –ad-Dimasyqiy-, shoduq hasan haditsnya. Abu Taubah adalah ar-Robii’ bin Naafi’, Tsaur adalah ibnu Yaziid al-Himshiy, dan Thaawuus adalah Ibnu Kaisaaan.” –selesai-.
Imam Al Albani dalam Ashlu Sifat Sholat Nabi (1/219) berkata tentang Sulaiman bin Musa ad-Dimasyqiy :
“perowi seperti dirinya adalah hasan haditsnya untuk kemungkinan yang paling minimal, dan shahih sebagai syawahid dan mutaba’ah. Ibnu Adiy berkata“ tentangnya, setelah menyebutkan komentar Aimah terhadapnya dan menyebutkan hadits yang ia bersendirian dalam meriwayatkan : “beliau adalah faqiih, seorang rowi yang meriwayatkan dari para perowi tsiqoh, beliau salah satu ulamanya Syaam, terkadang meriwayatkan hadits yang ia bersendirian dalam meriwayatkannya, tidak ada selain beliau yang meriwayatkan hadits tersebut. Beliau menurutku tsabat dan shoduq.” -Selesai-.
Kesimpulannya hadits mursal ini sanadnya shahih atau hasan sampai kepada Imam Thaawuus bin Kaisaan. Asy-Syaikh Sa’ad bin Abdullah al-Humaid setelah menyebutkan Mursal Thaawuus diatas berkata :
وهو ضعيف لإرساله، لكن سنده صحيح إلى طاووس.
“Haditsnya dhoif karena mursal, namun sanadnya shahih sampai kepada Thaawuus.” –selesai-.
Hadits Mursal diatas sebagai pintu masuk –sebagaimana yang telah saya sebutkan diatas-, karena para ulama mengatakan jika hadits mursal memiliki penguat, ia dapat dijadikan sebagai hujjah, sebagaimana yang disebutkan Imam Nawawi dalam al-Majmu Syarah al-Muhadzab (6/206) :
“Imam Syafi’i berhujjah dengan hadits mursal, jika dikuatkan dengan 4 syarat berikut : haditsnya bersambung (musnad), ada hadits mursal dari jalan lain, atau ada pendapat sahabat, atau pendapat kebanyakan ulama.” –selesai-.
Syaikhul Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’ad (1/367) juga berkata hal yang senada :
“mursal jika bersambung dengan amalan, atau dikuatkan dengan qiyas, atau pendapat sahabat atau mursal yang ma’ruf yang merupakan pilihan dari syaikh yang terbebas dari perow“i-perowi yang lemah dan yang ditinggalkan dan yang semisalnya yang menguatkan untuk beramal dengan mursal tersebut.” –selesai-.
Nah, sekarang kita masuk kepada apakah terdapat penguat untuk mursalnya Thaawuus atau tidak?, dan ternyata kita dapatkan penguat dari jalan yang bersambung terkait bersedekap di dada ketika sholat, sekalipun masing-masing jalannya terdapat kritikan dari para ulama hadits. Berikut jalan-jalan tersebut :
✓ Dari Wail bin Hujr Rod“hiyallahu ‘anhu beliau :
أنه رأى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وضع يمينه على شماله، ثم وضعهما على صدره
“beliau melihat Nabi Sholallahu alaihi wa salaam meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri, lalu meletakkannya di dada.”
Lafadz haditsWail Rodhiyallahu ‘anhu diatas diriwayatkan dari 2 jalan :
yang pertama dari Muamal bin Ismail dari ats-Tsauriy, dari ‘Aashim bin Kulaib bin Syihaab dari Bapaknya dari Wail Rodhiyallahu ‘anhu. Jalan ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah (no. 497), Imam Baihaqi (2/30), dan Imam Abu Syaikh dalam Taarikh Asbahaan (hal. 125).
Para ulama menilai cacat jalan ini, karena 3 sebab berikut :
1. Muamal bukan perowi kuat, Al Hafidz Ibnu Hajar menilainya : “shoduq, jelek hapalannya”.
Muamal menyelisihi sejumlah perowi Hufadz yang meriwayatkan dari ats-Tsauri, seperti : Abdur Rozaq, al-Firyaabiy, al-Makhzuumiy dan selainnya, dimana mereka hanya meriwayatkan dengan lafadz : “meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri”, tanpa ada tambahan “bersedekap di dada”.
Ats-Tsauri dimutaba’ahi oleh sekitar 10 orang perowi yang meriwayatkan dari ‘Aashim bin Kulaib dari Bapaknya, dari Wail Rodhiyallahu ‘anhu, tanpa lafadz tambahan : “bersedekap di dada”.
2. dari jalan Muhammad bin Hajar bin Abdul Jabbaar bin Wail, dari pamannya Sa’id bin Abdul Jabbaar bin Wail, dari Bapaknya, dari pamannya dari Wail bin Hujr rodhiyallahu anhu. Didalamnya terdapat lafadz :
وضع يده اليمنى على يسراه على صدره
“Nabi sholallahu alaihi wa salam meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya di dada.”
Haditsnya diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam Sunannya (2/30).
Sebagian ulama memberikan penilaian cacat untuk jalan diatas karena alasan berikut :
1. Muhammad bin Hajar dinilai oleh Imam adz-Dzahabi : “lahu manaakiir” (memiliki hadits-hadits yang mungkar), dan kemungkinan hadits diatas adalah salah satu hadits mungkar yang dimiliki Muhammad bin Hajar.
2. Dianggap juga bahwa lafadz haditsnya Tafarud, disamping terjadi perbedaan juga dalam sanadnya, karena Abu Ishaq dan Firth bin Kholiifah serta selain keduanya, tidak menyebutkan dalam sanadnya “dari pamannya”.
Namun Imam Al Albani dalam Ahkaamul Janaiz (hal. 118) setelah menyebutkan hadits Wail bin Hujr rodhiyallahu anhu sebagai syawahid untuk mursalnya Thaawuus, beliau berkata :
“Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya sebagaimana disebutkan dalam “Nashbur Royaah (1/314), dan Baihaqi dalam Sunannya (2/30) dari 2 jalan dari Wail rodhiyallahu anhu –sebagaimana penjelasan diatas –pent.- yang mana satu sama lainnya saling menguatkan.” -selesai-.
Dari Hulb Yaziid bin Qonaafah ath-Tho`i. Diriwayatkan Imam Ahmad (5/226) dari jalan Yahya bin Sa’id, dari Sufyaan dari Simaak dari Qobiishoh bin Hulb dari Bapaknya (Hulb ath-Tho`i rodhiyallahu anhu) didalamnya terdapat lafadz :
ورأيته يضع هذه على صدره
“Hulb rodhiyallahu anhu melihat Nabi sholallahu alaihi wa salam meletakkan tangan tersebut di dada.”
Haditsnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad (no. 21967).
Imam Al Albani dalam Ashlu Sifat Sholat Nabi menukil penilaian Imam Tirmidzi yang menghasankan hadits Hulb rodhiyallahu anhu diatas. Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitabnya Laa Jadiida fii Ahkaamish Sholat (hal. 22) selain menukil penghasanan Imam Tirmidzi juga persetujuan Imam Nawawi terhadap penghasanan tersebut karena adanya syawahid.
Sebenarnya sanad diatas ada beberapa kritikan yaitu :
1. Qoobishoh bin Hulb, dinilai majhul oleh Imam Ibnul Madiniy, dan Imam Nasa`i. Namun sebagian ulama yang mutasahil seperti Imam al-‘Ijli dan Imam Ibnu Hibban memberikan tautsiq padanya. Kemudian Qoobishoh tidak ada yang meriwayatkan haditsnya selain Samaak bin Harb.
2. Sejumlah ulama seperti Syu’bah, Zaidah, Abul Ahwash, dan Syariik meriwayatkan juga dari Samaak dari Qoobishoh dari Bapaknya, tanpa tambahan “di dada”.
Sejumlah ulama yang meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id al-Qothoon, seperti Imam Abdur Rozaq dalam Al Mushonaf (no. 3207), Abdur Rohman bin Mahdiy dalam riwayat Daruquthni (1/285), dan Imam Wakii’ ibnul Jarooh dalam riwayat Ahmad (5/227), meriwayatkannya tanpa tambahan “di dada”.
Imam Al Albani cukup puas dengan adanya 2 syawahid dari Wail bin Hujr dan Hulb ath-Tho`i rodhiyallahu anhumaa untuk menguatkan hadits mursalnya Thaawuus, terkait bersedekap di dada ketika berdiri dalam sholat dalam kitabnya Ahkamul Janaiz (hal. 118), beliau berkata :
ولا يشك من وقف على مجموعها في أنها صالحة للاستدلال على ذلك.
“Tidak diragukan lagi kesesuaian gabungan jalan-jalan diatas bahwa hal ini layak untuk dijadikan dalil dalam masalah (bersedekap di dada –pent.).” -selesai-
Namun Imam Al Albani dalam Mukadimah Sifat Sholat Nabi sholallahu alaihi wa salam menyebutkan penguat lain, yaitu :
√ atsar dari Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Imam Thobari dan selainnya dari jalan :
ثنا حماد، عن عاصم الجحدري، عن أبيه، عن عقبة بن ظبيان، أن علي بن أبي طالب رضى الله عنه قال في قول الله: (فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ) قال: وضع يده اليمنى على وسط ساعده الأيسر، ثم وضعهما على صدره.
“Haddatsanaa Hammaad, dari ‘Aashim al-Juhdiy, dari bapaknya dari ‘Uqbah bin Dhobyaan bahwa Ali Rodhiyallahu anhu ketika menafsiri firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala : {Sholatlah untuk Rabbmu dan menyembelihlah}, beliau berkata : “meletakkan tangan kanan diatas pertengahan lengan kiri, kemudian meletakkannya di dada”.
Imam Al Albani dalam al-Ashlu (1/217) menilai atsar ini :
“Para perowinya mendapatkan tautsiq, kecuali ayahnya ‘Aashim al-Juhdiy, yaitu al-‘Ajjaaj al-Bashriy, aku belum mendapatkan ulama yang menyebutkannya, Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya : “tidak shahih dari Ali rodhiyallahu anhu”.
Atsar Ibnu Abbas rodhiyallahu anhu yang senada dengan atsar dari Ali rodhiyallahu anhu, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Albani dalam kitab yang sama :
“Kemudian Baihaqi dan selainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas semisal atsar Ali Rodhiyallahu ‘anhu. Sanadnya memungkinkan untuk dihasankan.” –selesai-.
Namun saya mendapati dalam Sunan Kubro Baihaqi (no. 2339) dari Ibnu Abbas Rodhiyallahu ‘anhu dengan lafadz :
وَضْعُ الْيَمِينِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلَاةِ عِنْدَ النَّحْرِ
“Meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri ketika sholat di nahr (bagian atas dada)”.
Kemudian saya melihat didalam sunan kubro karya Imam Baihaqi di nomor 2338, beliau menyebutkan hal senada seperti atsar dari Ali bin Abi tholib Rodhiyallahu ‘anhu, dari sahabat Anas bin Malik Rodhiyallahu ‘anhu juga. Kata beliau :
وَقَالَ: وَثنا أَبُو الْحَرِيشِ، ثنا شَيْبَانُ، ثنا حَمَّادٌ، ثنا عَاصِمٌ الْأَحْوَلُ، عَنْ رَجُلٍ، عَنْ أَنَسٍ مِثْلَهُ أَوْ قَالَ: عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Haddatsanaa Abul Hariisy, haddatsanaa Syaibaan, haddatsanaa Hammaad, haddatsanaa ‘Aashim al-Ahwal, dari seorang laki-laki dari Anas Rodhiyallahu ‘anhu semisal (atsar Ali Rodhiyallahu ‘anhu), atau dari Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam.”
Berdasarkan keterangan diatas maka hadits yang menunjukkan bahwa salah satu sifat sholat Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam adalah bersedekap di dada ketika berdiri dalam sholat dapat dijadikan hujjah, karena ini termasuk bab hadits mursal yang dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan secara bersambung sampai kepada Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam dari jalan lain, sekalipun masing-masing jalan tersebut tidak lepas dari kritikan. Terlebih lagi dikuatkan dengan adanya atsar dari sahabat Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Abbas, dan Anas bin Malik Rodhiyallahu ‘anhu, sekalipun juga tidak lepas dari kritikan. Sebelum Imam Al Albani yang menegaskan bahwa bersedekap di dada adalah termasuk sunah Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam, ada juga Imam Baihaqi (w. 458 H) yang menulis bab dalam kitab monumentalnya Sunan al-Kubro dengan judul :
بَابُ وَضْعِ الْيَدَيْنِ عَلَى الصَّدْرِ فِي الصَّلَاةِ مِنَ السُّنَّةِ
“Bab meletakkan kedua tangan di dada dalam sholat adalah termasuk sunnah.”
Telah maklum bahwa fiqihnya ulama hadits terletak pada judul bab yang diberikan dalam kitab-kitab hadits mereka.
Diantara yang lebih menguatkan lagi bahwa bersedekap di dada adalah tsabit dari Nabi sholallahu alaihi wa salam, karena sesuai dengan qiyas dari hadits yang shahih, yaitu hadits Wail bin Hujr Rodhiyallahu ‘anhu bahwa didalamnya terdapat lafadz :
ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى ظَهْرِ كَفِّهِ الْيُسْرَى وَالرُّسْغِ وَالسَّاعِدِ
“Kemudian Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam meletakkan tangan kanannya diatas punggung telapak angan kiri, pergelangan, dan lengan kirinya.”
Haditsnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, Imam Nasa’I, dan selainnya, dishahihkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Ibnu Hibban, Imam Nawawi dan selain mereka.
Imam Al Albani dalam Sifat Sholat Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam menyarankan kepada orang yang melemahkan hadits bersedekap di dada untuk mengamalkan hadits Wail Rodhiyallahu ‘anhu diatas, kata beliau :
“Seandainya suatu hari ia merealisasikan hadits (wail) yang shahih diatas pada dirinya dengan mengamalkan kandungan hadits yaitu ia meletakkan tangan kanan diatas punggung telapak tangan kiri, pergelengan dan lengan tangan kirinya, tanpa berlebih-lebihan, niscaya ia akan mendapatkan dirinya bersedekap di dada.” -selesai-.
Kesimpulan akhirnya, bersedekap di dada adalah tsabit haditsnya dari Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam berdasarkan kaedah-kaedah ilmu mustholah hadits yang diakui oleh mayoritas ulama, dan ini adalah salah satu contoh hadits-hadits yang secara sendirinya lemah, namun jika digabungkan jalan-jalannya akan menjadi kuat. Wallahu A’lam.
Oleh: Abu Sa’id Neno Triyono