Fatwapedia.com – Berikut ini fatwa hukum memanajangkan jenggot bagi laki-laki. Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah tentang apa hukum memelihara dan memanjangkan jenggot.
Pertanyaan:
Apa hukum memelihara jenggot?
Jawaban:
Terdapat perintah membiarkan (tidak mencukur) dan memelihara jenggot dalam banyak hadits. Diantaranya hadits:
“Bedakanlah diri kamu dengan orang-orang musyrik. Biarkanlah jenggot dan potonglah kumis”. (HR. al-Bukhari dan Muslim). Ulama berbeda pendapat tentang makna perintah Rasulullah ini, apakah mengandung makna wajib? Atau anjuran? Jumhur ahli Fiqh berpendapat bahwa perintah ini Mengandung makna wajib. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa makna perintah ini adalah anjuran.
Banyak nash ulama Mazhab Syafi’i yang menetapkan hukum ini menurut pendapat mereka, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pendapat Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari, “Makruh mencabut jenggot ketika baru tumbuh, untuk memperhatikan orang yang baru tumbuh jenggot dan untuk tampilan yang bagus”(11). Imam ar-Ramli memberikan komentar terhadap pendapat ini dalam Hasyiyah-nya terhadap kitab Asna al-Mathalib, “Pendapatnya: makruh mencabutnya. Maksudnya adalah makruh mencabut jenggot dan seterusnya. Perbuatan yang sama seperti itu adalah mencukur jenggot. Pendapat al-Hulaimi dalam Minhaj-nya bahwa tidak halal bagi seseorang mencukur jenggot dan bulu mata, ini adalah pendapat yang lemah”(12)
Al-‘Allamah Ibnu Hajar al-Haitsami berkata, teksnya: (Pembahasan Cabang), mereka menyebutkan disini bahwa jenggot dan sejenisnya, ada beberapa perbuatan makruh, diantaranya: mencabut jenggot, mencukur jenggot. Demikian juga dengan dua bulu mata”(13)
Imam Ibnu Qasim al-‘Abbadi menekankan pendapat ini dalam Hasyiyah-nya terhadap Tuhfat al�Muhtaj, ia berkata, “Pendapatnya: ‘Atau diharamkan, bertentangan dengan pendapat yang dijadikan sebagai pegangan’. Dalam kitab Syarh al-‘Ubab dinyatakan, “Fa’idah: Dua Syekh (Imam ar-Rafi’i dan Imam an-Nawawi) berkata, ‘Makruh hukumnya mencukur jenggot’.”(14)
Al-‘Allamah al-Bujairimi berkata dalam Syarh-nya terhadap al-Khathib, teksnya: “Sesungguhnya mencukur jenggot itu makruh dilakukan laki-laki dewasa, bukan haram”(15). Penyebutan kata ar-Rajul (lelaki dewasa) dalam teks ini bukan sebagai lawan kata perempuan, akan tetapi sebagai lawan kata asy-Syab ash-Shaghir (remaja). Karena redaksi kalimat ini mengandung makna: makruh hukumnya mencukur jenggot bagi remaja. Komentar: jenggot baru tumbuh. Bukanlah sebagai ikatan. Akan tetapi maknanya: makruh hukumnya mencukur jenggot bagi pria dewasa.
Pendapat yang menyatakan makruh hukumnya mencukur jenggot juga dinyatakan oleh ulama dari luar Mazhab Syafi’i. Diantara mereka adalah Imam al-Qadhi ‘Iyadh pengarang kitab asy-Syifa, salah seorang ulama Mazhab Maliki. Ia berkata, “Makruh hukumnya mencukur jenggot, memotong dan membakar jenggot”(16)
Terlihat bahwa ahli Fiqh yang mewajibkan memelihara jenggot dan mengharamkan mencukur jenggot, mereka memperhatikan aspek lain, ada unsur tambahan terhadap teks hadits, bahwa mencukur jenggot itu sesuatu yang dianggap sebagai aib, bertentangan dengan bentuk wajah manusia saat itu, orang yang mencukur jenggot pada zaman itu dipandang hina, ditunjuk di jalan-jalan. Imam ar�Ramli berkata tentang hukum Ta’zir, bahwa hukum Ta’zir tidak dijatuhkan bagi orang yang mencukur jenggot. Teksnya: “Ucapannya: Tidak ada hukuman Ta’zir bagi orang yang mencukur jenggot. Guru kami berkata, “Karena mencukur jenggot itu aib, orang yang melakukannya sangat dikecam, bahkan terkadang anak-anaknya pun ikut dikecam”(17)
Jika hal ini terkait dengan kebiasaan dan tradisi, maka itu menjadi indikasi yang mengalihkan makna perintah dari bermakna wajib kepada makna anjuran. Jenggot itu termasuk kebiasaan dan tradisi.
Para Fuqaha’ menganjurkan banyak hal, padahal dalam nashnya secara jelas dalam bentuk perintah, karena berkaitan dengan kebiasaan dan tradisi. Misalnya sabda Rasulullah Saw:
“Rubahlah uban. Janganlah kamu menyamakan diri dengan orang-orang Yahudi”. (HR. at-Tirmidzi).
Bentuk kata perintah dalam hadits perintah merubah uban kejelasannya menyerupai hadits perintah memelihara jenggot. Akan tetapi karena merubah uban bukanlah suatu perbuatan yang diingkari di tengah-tengah masyarakat, maka tidak dilakukan. Para ahli Fiqh berpendapat bahwa merubah uban itu hukumnya dianjurkan, mereka tidak mengatakan diwajibkan.
Para ulama berpendapat berdasarkan metode ini. Para ulama bersikap keras dalam hal pemakaian topi dan memakai dasi, mereka menyatakan bahwa siapa yang melakukan itu berarti kafir.
Bukanlah karena perbuatan itu kafir pada zatnya. Akan tetapi karena perbuatan itu mengandung makna kekafiran pada masa itu. Ketika pemakaian dasi sudah menjadi tradisi, tidak seorang pun ulama mengkafirkan orang yang memakainya.
Hukum jenggot pada masa Salaf, seluruh penduduk bumi, baik yang kafir maupun yang muslim, semuanya memanjangkan jenggot. Tidak ada alasan untuk mencukurnya. Oleh sebab itu ulama berbeda pendapat antara jumhur yang mewajibkan memelihara jenggot dan Mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa memelihara jenggot itu sunnat, tidak berdosa bagi orang yang mencukurnya.
Oleh sebab itu menurut kami pada zaman ini perlu mengamalkan Mazhab Syafi’i, karena tradisi telah berubah. Mencukur jenggot itu hukumnya makruh. Memelihara jenggot hukumnya sunnat, mendapat pahala bagi yang menjaganya, dengan tetap memperhatikan tampilan yang bagus, menjaganya sesuai dengan wajah dan tampilan seorang muslim. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
Footnote:
(10) Syekh DR. Ali Jum’ah, Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 330 – 333..
(11) Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz. I, hal. 551.
(12) Syekh ar-Ramli, Hasyiyah Asna al-Mathalib, juz. I, hal. 551.
(13) Ibnu Hajar al-Haitsami, Tuhfat al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz. IX, hal. 375 – 376.
(14) Ibnu Qasim al-‘Abbadi, Hasyiyah Tuhfat al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz. IX, hal. 375 – 376.
(15) Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala Syarh al-Khathib, juz. IV, hal. 346.
(16) Dinukil oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dalam kitabnya berjudul Tharh at-Tatsrib, juz. II, hal. 83; asy-Syaukani dalam Nail al-Authar, juz. I, hal. 143.
(17) Al-‘Allamah ar-Ramli, Hasyiyah Asna al-Mathalib, juz. IV, hal. 162.