Fatwa Shalat: Qadha Shalat Karena Kecelakaan, Bolehkah?

Fatwa Shalat: Qadha Shalat Karena Kecelakaan, Bolehkah?


16. Seseorang mengalami kecelakaan kendaraan atau semisalnya sehingga ia mengalami pendarahan di otak atau tidak sadarkan diri dalam beberapa hari, apakah wajib bagi orang tersebut meng-qadha shalatnya jika telah sadar?

Jawab: Jika masanya sebentar seperti tiga hari atau lebih wajib baginya meng-qadha shalatnya, karena pingsan dalam masa seperti itu menyerupai tidur yang tidak menggugurkan qadha, dan telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat -radiyallahuanhum- bahwa mereka mengalami pingsan kurang dari tiga hari, maka mereka mengqadha (shalatnya).

Adapun jika masanya melebihi tiga hari, maka tidak wajib baginya meng-qadha, berdasarkan hadits Rasulullah:

((رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ: عَن النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَالصَّغِيْرِ حَتَّى يَبْلُغَ وَالمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ))

“Al-Qalam di angkat atas tiga perkara: Dari orang yang tertidur hingga dia bangun, anak kecil hingga baligh, dan orang gila hingga sadar.”

Adapun orang yang pingsan dalam waktu yang lama menyerupai orang gila dalam hal hilang akalnya. Wallahu waliyyuttaufiq.

17. Banyak orang yang sakit menganggap remeh terhadap shalatnya dan berkata: Jika aku sembuh aku akan mengqadha shalat, sementara sebagian lagi berkata: Bagaimana saya dapat shalat sedangkan saya tidak dapat bersuci dan membersihkan diri dari najis. Bagaimana sebaiknya kita mengarahkan mereka?

Jawab: Selama akal masih berfungsi, sakit bukan halangan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat hanya karena alasan tidak dapat bersuci. Maka tetap merupakan kewajiban bagi orang sakit untuk shalat sesuai dengan kemampuannya dan bersuci dengan air jika dia mampu untuk itu, jika dia tidak mampu menggunakan air maka hendaknya dia tayammum dan shalat. Dia juga harus menghilangkan najis yang terdapat di bajunya atau badannya dan mengganti baju yang terdapat najis dengan baju yang suci dari najis pada saat melaksanakan shalat, jika dia tidak mampu untuk membersihkan najis atau mengganti baju yang terkena najis dengan baju yang suci, maka gugur baginya semua kewajiban-kewajiban itu, maka dia dapat melakukan shalat sebagaimana adanya, berdasarkan firman Allah:

“Bertakwalah kamu semampu kamu” (At-Taghabun:15).

Dan berdasarkan hadits Rasulullah:

 (( إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَاتَّقُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ ))

“Jika aku memerintahkan sesuatu perkara, maka patuhilah semampu kalian” (Muttafaq ‘Alaih).

Juga hadits Rasulullah r kepada ‘Imran bin Husain –radiyallahu’anhuma- tatkala dia mengadukan tentang penyakitnya:

(( صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ  فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَمُسْتَلْقِيًا ))

“Shalatlah kamu dengan berdiri, jika tidak mampu, maka duduklah, jika tidak mampu, maka hendaknya berbaring (dengan posisi miring bertumpu pada sisi tubuh sebelah kanan).” (Riwayat Bukhari dalam Shahihnya dan riwayat An-Nasai dengan sanad yang shahih dan dengan tambahan: Jika tidak mampu maka terlentanglah”.

18. Orang yang meninggalkan shalatnya dengan sengaja, baik untuk satu waktu atau lebih, kemudian mendapatkan taufiq dari Allah dan bertaubat, apakah dia mengqada shalat yang ditinggalkannya tersebut?

Jawab: Dia tidak diharuskan mengqadha apa yang dia tinggalkan dengan sengaja menurut pendapat yang paling kuat diantara dua pendapat ulama, karena meninggalkannya dengan sengaja membuatnya keluar dari wilayah Islam dan menjadikannya kelompok orang-orang kafir. Dan orang kafir tidak diwajibkan meng-qadha shalat yang dia tinggalkan saat dia kufur, berdasarkan hadis Rasulullah:

(( بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالشِّرْكِ تَرْكُ الصَّلاَةِ)) 

“Antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat.” (Riwayat Muslim dalam Shahihnya dari Jabir bin Abdullah)

Dan juga berdasarkan hadits Rasulullah:

((العَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ)) 
“Janji antara kita dengan mereka adalah shalat, maka siapa yang meninggalkannya dia telah kafir” (Riwayat Imam Ahmad dan Ahlussunan dengan sanad yang shahih dari Buraidah bin Al-Hushaib).

Begitu juga Rasulullah tidak memerintahkan orang-orang kafir yang masuk Islam untuk mengqadha shalatnya yang mereka tinggalkan, begitu juga halnya dengan para sahabat radiallahuanhum, mereka tidak memerintahkan orang-orang murtad yang kembali masuk Islam untuk mengqadha shalatnya. Akan tetapi jika seseorang mengqadha shalat yang dia tinggalkan dengan sengaja tetapi dia tidak mengingkari wajibnya shalat, maka tidaklah mengapa sebagai langkah kehati-hatian (ihtiyath) dan untuk keluar dari khilaf dengan mereka yang berkata: ”tidak kufur karena meninggalkan shalat dengan sengaja jika tidak mengingkari kewajibannya” dan mereka adalah mayoritas para ulama. Wallahu waliyyuttaufiq.

Adzan

19. Sebagian orang ada yang berkata, “jika azan tidak dilaksanakan pada awal waktu, maka tidak perlu lagi azan, karena fungsi azan adalah untuk memberitahu akan masuknya waktu shalat, bagaimanakah pendapat tuan yang mulia dalam masalah ini, dan apakah azan tetap disyariatkan bagi orang yang sendirian ditengah padang pasir?

Jawab: Jika azan tidak dilakukan pada awal waktu, maka tidak disyariatkan untuk azan lagi sesudahnya jika di daerah tersebut ada mu’azzin lainnya yang telah melakukannya, adapun jika terlambatnya sebentar saja, maka tidak mengapa untuk melakukan azan.

Adapun jika dalam suatu daerah tidak ada mu’azzin selainnya, maka dia harus melakukan azan meskipun sudah terlambat beberapa saat. Karena hukum azan adalah fardhu kifayah, sementara tidak ada selainnya yang melakukannya, maka wajib baginya untuk melakukannya dan dia bertanggung jawab untuk itu, karena orang-orang kebanyakan menantinya.

Sedangkan bagi orang yang bepergian, maka disyariatkan baginya azan meskipun cuma sendirian. Sebagaimana terdapat dalam hadits shahih dari Abu Sa’id, saat dia berkata kepada seseorang: “Jika engkau berada saat mengembala kambing atau di tempat sepi, maka angkatlah suara kalian untuk melakukan azan, karena siapa saja yang mendengar suara mu’azzin baik jin maupun manusia atau apa saja, mereka akan menjadi saksi baginya pada hari qiamat”. Ucapan tersebut maushul kepada Rasulullah. Begitu juga halnya dengan hadits-hadits yang lainnya yang secara umum berbicara tentang disyari’atkannya azan dan keutamaan-keutamaannya.

20. Apakah wajib bagi wanita untuk melakukan azan dan iqomat, baik dalam keadaan tidak bepergian seorang diri atau di tanah lapang atau bersama-sama?

Jawab: Tidak disyari’atkan bagi wanita untuk melakukan azan dan iqamat, baik dalam keadaan menetap atau bepergian, sesungguhnya azan dan iqamat hanyalah untuk kaum laki-laki. Hal tersebut telah dinyatakan dalam beberapa hadits shahih dari Rasulullah.

21. Jika seseorang lupa untuk melakukan iqamat dan kemudian melakukan shalat, apakah hal tersebut akan berpengaruh pada hukum shalatnya, baik dia dalam keadaan sendiri atau bersama jamaah?

Jawab: Jika seseorang shalat sendirian atau berjamaah tanpa melakukan iqamat (sebelumnya), maka shalatnya tetap sah, dan bagi mereka yang melakukan hal tersebut hendaknya bertaubat kepada Allah.

Begitu juga halnya jika mereka shalat tanpa melakukan azan, maka shalatnya sah, karena azan dan iqamat termasuk fardhu kifayah dan keduanya diluar syarat sah shalat.

Dan bagi siapa yang meninggalkan azan dan iqamat hendaknya bertaubat kepada Allah I atas perbuatannya itu, karena fardhu kifayah jika semua orang meninggalkannya maka seluruhnya akan berdosa, akan tetapi jika sebagian melaksanakannya maka gugurlah kewajiban dan dosa bagi yang lainnya, baik dalam keadaan menetap atau sedang bepergian, baik di desa atau kota atau pedalaman. Semoga Allah memberi taufiq kepada seluruh kaum muslimin atas apa saja yang diridhai-Nya.

22. Apa dalilnya ucapan azan dalam shalat fajar:

الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِن النَّوْمِ

dan apakah pendapat tuan syaikh terhadap mereka yang mengucapkan:

حَيَّ عَلَى خَيْرِ العَمَل

apakah ada dalilnya?

Jawab: Terdapat riwayat yang kuat dari Rasulullah r, bahwa beliau memerintahkan Bilal dan Abu Mahzurah tentang hal tersebut (yaitu ucapan الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِن النَّوْمِ dalam shalat shubuh), sebagaimana terdapat dalam riwayat Anas t, bahwa beliau berkata: “Merupakan sunnah dalam azan shalat fajar, seorang mu’azin mengucapkan الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِن النَّوْمِ “. Kalimat ini diucapkan dalam azan yang dikumandangkan saat terbitnya fajar menurut pendapat yang paling shahih diantara dua pendapat para ulama dan dinamakan azan pertama jika dikaitkan dengan iqamat, karena iqamat disebut juga azan kedua, sebagaimana hadits Rasulullah r, بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ الصَّلاَةُ (Diantara dua azan terdapat shalat), dan terdapat riwayat yang shahih diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah radiallahuanha yang menunjukkan hal tersebut.

Adapun ucapan sebagian kalangan Syi’ah dalam azan:

حَيَّ عَلَى خَيْرِ العَمَل, itu adalah bid’ah dan tidak terdapat dalilnya dalam hadits-hadits yang shahih, semoga Allah memberikan petunjuk kepada mereka dan kepada seluruh kaum muslimin untuk mengikuti sunnahnya dan menggenggamnya erat-erat, karena itu merupakan jalan keselamatan dan kebahagiaan bagi seluruh ummat.

23. Terdapat riwayat bahwa Rasulullah r, mengumandangkan dalam shalat Kusuf (shalat gerhana)

” الصَّلاَةُ جَامِعَةٌ “, apakah hal tersebut diucapkan sekali saja atau disyari’atkan berulang-ulang, berapakah batasan untuk mengulanginya?

Jawab: Terdapat riwayat dari Rasulullah, bahwa beliau memerintahkan untuk mengumandangkan dalam shalat Kusuf ucapan ” الصَّلاَةُ جَامِعَةٌ “, Disunnahkan bagi yang mengumandangkannya untuk mengulang-ulangnya sampai dia meyakini bahwa orang-orang telah mendengarnya, dan tidak terdapat batasan jumlahnya sebagaimana yang kami ketahui. Semoga Allah memberikan taufiq-Nya.

Leave a Comment