Fikroh.com – Berbicara masalah kewanitaan banyak terkait dengan hukum fikih yang perlu pendalaman dan pemahaman yang utuh. Seiring berjalannya waktu banyak persoalan wanita kontemporer yang perlu diselesaikan dengan petunjuk syariat berupa ilmu fikih. Berikut ini 7 contoh masalah kewanitaan yang kerap terjadi pada wanita dewasa beserta penjelasan solusinya secara singkat.
1. Hukum Keputihan
Keputihan menurut KBBI adalah penyakit pada kelamin wanita yang ditandai dengan keluarnya lendir putih yang menyebabkan rasa gatal.
Keputihan dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu keputihan normal (fisiologis) dan keputihan abnormal (patologis).
Keputihan fisiologis adalah keputihan yang biasanya terjadi setiap bulannya, biasanya muncul menjelang menstruasi atau sesudah menstruasi ataupun masa subur. Keputihan patologis dapat disebabkan oleh infeksi biasanya disertai dengan rasa gatal di dalam vagina dan di sekitar bibir vagina bagian luar.
Para ulama berbeda pendapat;
(1) Keputihan itu najis.
Kalau terkena baju atau celana dalam maka harus diganti.
(2) Keputihan itu suci tetapi membatalkan wudhu, seperti keluar angin. Kentut itu tidak najis tetapi membatalkan shalat. Keputihan itu tidak najis tetapi membatalkan shalat atau wudhu. Air mani atau sperma itu tidak najis tetapi membatalkan wudhu, bahkan harus mandi besar. Air wadzi dan kencing itu najis dan membatalkan wudhu. Keringat itu tidak najis dan tidak membatalkan wudhu. Keputihan yang keluar hukumnya seperti kentut.
2. Hukum Keluar Flek Sebelum Melahirkan
Keluar flek atau sering disebut spotting adalah keluarnya sedikit bercak darah dari vagina berwarna merah atau kecoklatan, yang bisa jadi tidak sampai mengotori celana dalam. Keluarnya flek ini merupakan pendarahan ringan yang bisa terjadi kapan saja pada saat hamil, terutama pada trimester pertama. Sekitar 20% wanita hamil mengalami spotting pada trimester pertama. Keluarnya flek ini adalah sesuatu yang normal dan tidak berbahaya jika tidak disertai gejala lain, seperti nyeri di perut, pingsan atau lemas serta tidak berlangsung lama, biasanya kurang dari satu hari.
Salah satu penyebab keluarnya flek yang tidak membahayakan adalah melekatnya sel telur yang sudah dibuahi ke dinding rahim, atau karena ada perubahan hormon yang kadang-kadang terjadi di akhir kehamilan.
Bagaimana kalau flek keluar sebelum melahirkan? Para ulama berbeda pendapat;
(1) Pendapat pertama, kalau flek ada bercak merah sebelum melahirkan maka dianggap darah rusak dan tetap wajib shalat. Dibersihkan dulu darahnya dan mandi (tetapi bukan mandi junub).
(2) Pendapat kedua, flek ini adalah haid. Pendapat ini lemah bahwa wanita hamil tidak haid dari sisi medis.
(3) Pendapat ketiga, jika flek (bercak darah) itu bersambung hingga melahirkan maka dianggap darah nifas.
(4) Pendapat keempat, disebut darah istihadhah bukan darah nifas.
Pendapat yang lebih kuat: jika flek bersambung hingga melahirkan maka dianggap darah nifas; jika tidak tersambung hingga melahirkan maka dianggap istihadhah, wajib shalat.
3. Status Darah Keguguran
Ada beberapa keadaan keguguran:
(1) Keguguran di usia kandungan kurang dari 80 hari, maka dianggap darah istihadhah (darah rusak) dan wajib shalat.
(2) Keguguran setelah 80-120 hari, terbagi menjadi dua keadaan;
- Belum terbentuk manusia, maka ini darah rusak dan wajib shalat.
- Sudah terbentuk manusia, maka ini darah nifas, tidak boleh shalat.
(3) Keguguran setelah 120 hari, setelah ditiupkan ruh (ada nyawa) maka ini darah nifas. Dan gugurnya janin setelah 120 hari usia kandungan maka dishalatkan jenazah.
Pembagian di atas berdasarkan hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata :
حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ: إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ، فَوَاللهِ الَّذِيْ لاَ إِلَهَ غُيْرُهُ، إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
Rasulullah ahallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami, dan beliau adalah orang yang benar lagi dibenarkan sabdanya, “Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (zigot), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula. Kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) seperti itu pula. Kemudian seorang Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
4. Hukum Wanita Haid Membaca al-Qur’an
(1) Pendapat pertama, mengatakan bahwa tidak boleh wanita haid menyentuh dan membaca al-Qur’an. Maksudnya adalah tidak boleh menyentuh mushaf yang hanya berisi tulisan al-Qur’an (bukan mushaf terjemahan). Akan tetapi dibolehkan membaca al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf al-Qur’an (dari hafalannya sendiri), dan diniatkan untuk berdzikir.
(2) Pendapat kedua, mengatakan bahwa boleh bagi wanita haid dan nifas untuk membaca al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf al-Qur’an (dari hafalannya sendiri).
Kedua pendapat di atas yang membedakan adalah niatnya; pendapat pertama diniatkan berdzikir dan pendapat kedua boleh diniatkan membaca. Persamaannya adalah sama-sama tidak boleh menyentuh mushaf yang murni al-Qur’an.
Pendapat yang lebih kuat adalah bolehnya wanita haidh dan nifas membaca al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf, karena termasuk di dalam katagori berdzikir kepada Allah. Serta tidak adanya dalil yang shahih yang melarangnya.
Adapun jika mereka ingin membaca al-Quran dengan menyentuh mushaf, hendaknya menggunakan sarung tangan, atau membaca buku tafsir yang ada tulisan al-Qur’annya, atau menggunakan HP, netbook, laptop dan lain-lainnya yang terdapat di dalamnya aplikasi al-Qur’an.
5. Hukum Minum Obat Penunda Haid
Obat penunda haid dapat merusak hormon wanita, termasuk obat keras dan memiliki efek samping yang berat bahkan bisa menyebabkan kemandulan.
Dalam kondisi darurat diperbolehkan misalnya dalam ibadah haji bagi wanita yang memprediksi siklusnya datang ketika pelaksanaan thawaf dan sa’i.
6. Hukum Menggauli Wanita Haid
(1) Pendapat pertama, suami tidak boleh menggauli istrinya yang sedang haid, bagian tubuh manapun. Seluruh badannya haram bagi suaminya. Pendapat ini lemah.
(2) Pendapat kedua, suami boleh menggauli dengan seluruh badan istrinya yang haid kecuali yang berada diantara pusar dan lutut.
Dalilnya hadist Aisyah radhiyallahu’anha berkata,
وَكَانَ يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ
“Rasulullah memerintahkan kepadaku agar memakai kain sarung kemudian aku memakainya dan beliau menggauliku.” (HR. al-Bukhari, 300)
(3) Pendapat ketiga, suami boleh menggauli dengan seluruh badan istrinya yang haid, kecuali tempat keluarnya darah haid, yaitu kemaluannya.
7. Hukum Khitan Wanita
Khitan wanita itu para ulama berbeda pendapat;
(1) Pendapat pertama, hukumnya wajib. Tergantung keadaan wanita itu sendiri. Bagi sebagian besar keadaan wanita Arab dan wanita Barat, kalau tidak dikhitan maka syahwat seksualnya tinggi.
(2) Pendapat kedua, hukumnya sunnah.
(3) Pendapat ketiga, hukumnya dianjurkan.
(4) Pendapat keempat, hukumnya dibolehkan (mubah).
Demikian tulisan yang berisi penjelasan seputar masalah kewanitaan ditinjau dari perspektif ilmu fikih. Semoga penjelasan ini membantu anda yang sedang menghadapi masalah kewanitaan yang dialami.
Oleh: Ust. Zain Annajah MA