Fatwapedia.com – Najis adalah kotoran yang wajib dibersihkan. Karena suci dari najis adalah syarat sahnya ibadah shalat dan lainnya. Seorang muslim harus teliti terhadap keberadaan najis yang menempel di badan, pakaian maupun tempat yang hendak dijadikan shalat.
Berikut ini adalah penjelasan fiqih tentang tata cara membersihkan berbagai macam najis yang telah dijelaskan oleh dalil-dalil yang shohih
1. Membersihkan Pakaian Yang Terkena Darah Haid
Yaitu dengan cara mengerik atau mengelupasnya dan menggosoknya dengan ujung-ujung jari agar luntur. Kemudian membilasnya dengan air.
Diriwayatkan dari Asma’ Binti Abi Bakar dia berkata:
جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَتْ : ” إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ ، فَكَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ ؟ قَالَ : ” تَحُتُّهُ ، ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ، ثُمَّ تَنْضَحُهُ ، ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ
“Seorang wanita datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: Wahai Rasulullah, salah seorang wanita dari kami bajunya terkena darah haid. Apa yang harus ia lakukan? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: mengeriknya, menggosoknya dengan air dan memercikinya. Kemudian (boleh) shalat menggunakan pakaian itu”. [Muttafaqun ‘alaih: 291]
Diriwayatkan juga dari ‘Aisyah:
كَانَتْ إِحْدَانَا تَحِيْضُ ثُمَّ تَقْتَرِصُ الدَّمَ مِنْ ثَوْبِهَا عِنْدَ طُهْرِهَا فَتَغْسِلُهُ وَتَنْضَحُ عَلَى سَائِرِهِ ثُمَّ تُصَلِّي فِيْهِ
“Seorang wanita dari kami menghalami haid. Kemudian ia kerik darah itu dari pakaiannya di masa sucinya. Kemudian mencuci dan memerciki seluruhnya. Lalu ia shalat dengan pakaian tersebut”. [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (318)]
Jika wanita tersebut menggunakan ranting kayu atau yang lainnya untuk mengilangkan darah dari pakaian, atau mencucinya dengan air dan sabun atau bahan-bahan pembersih lainnya maka hal tersebut lebih utama.
Hadits dari Ummu Qais binti Mihshan ia berkata:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ دَمِ الْحَيْضِ يَكُونُ فِي الثَّوْبِ ، قَالَ : ” حُكِّيهِ بِضِلْعٍ وَاغْسِلِيهِ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ”
“Aku bertanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang darah haid yang mengenai pakaian. Beliau menjawab: Kerik dengan tulang dan cuci dengan air dan daun bidara”. [Hadits Riwayat: Abu Daud (363), An-Nasa’i (1/195)]
2. Membersihkan Pakaian Yang Terkena Air Kencing Bayi Yang Masih Menyusui
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ
“Air kencing bayi wanita dicuci dan air kencing bayi laki-laki diperciki air”. [Hadits Riwayat: Abu Daud (376), An-Nasa’i (1/158)]
3. Membersihkan Pakaian Yang Terkena Madzi
Madzi seringkali mengenai pakaian dan banyak sekali orang yang mengalami hal ini. Karena itu syariat Islam memberikan keringanan dalam mensucikan madzi. Yaitu cukup dengan memerciki pakaian yang terkena madzi dengan air. Diriwayatkan dari Shahabat Sahal bin Hanif yang selalu menyiram pakaiannya yang terkena madzi dengan air yang cukup banyak. Lalu dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai hal itu.
يَا رَسُوْلَ الله كَيْفَ بِمَا يُصِيْبُ ثَوْبِيْ مِنْهُ قَالَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَأْخُذَ كَفًا مِنْ مَاءٍ فَتَنْضَحُ بِهْ ثَوْبَكَ حَيْثُ تَرَى أَنَّهُ أَصَابَ مِنْهُ
“Wahai Rasulullah bagaimana aku mensucikan pakaianku dari madzi? Rasulullah menjawab: cukup bagimu mengambil air setelapak tanganmu dan memercikkannya kepakaianmu sekiranya kamu melihat air itu sudah mengenainya (mazi)”. [Hadits Riwayat: Abu Daud (210), At-Tirmidzi dan Ibnu Majah (506)]
4. Membersihkan Ujung Pakaian Wanita
Jika ujung bagian bawah pakaian wanita terkena najis maka pakaian itu suci dengan sendirinya ketika bersentuhan dengan tanah yang suci. Ummu Salamah radhiallahu ‘anha istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya mengenai hal ini.
إِنِّي اِمْرَأَةٌ أُطِيْلُ ذَيْلِيْ وَأَمْشِيْ فِي الْمَكَانِ الْقَذِرِ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُطْهِرُهُ مَا بَعْدَهُ
“Aku adalah seorang wanita yang memanjangkan ujung bagian bawah pakaianku dan aku berjalan di tempat-tempat kotor. Rasulullah menjawab: tanah yang setelahnya akan mensucikannya”.[Hadits Riwayat: Abu Daud (383). At-Tirmidzi (143)]
5. Membersihkan Bagian Bawah Sandal
Diriwayatkan dari Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu. Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَقْلِبْ نَعْلَيْهُ فَلْيَنْظُرْ فِيهِمَا ، فَإِنْ رَأَى خَبَثًا فَلْيَمسَحَّهُ بِالْأَرْضِ ثُمَّ لِيُصَلِّ فِيهِمَا
“Jika salah seorang dari kalian mendatangi masjid, hendaknya ia membalik kedua sandalnya dan melihat keduanya. Jika terdapat najis hendaknya ia mengusapkannya ke tanah kemudian shalat dengan mengenakan keduanya”. [Hadits Riwayat: Abu Daud (646)]
6. Mensucikan Wadah Yang Terkena Jilatan Anjing
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
طُهُورُ إِنَاءِ أحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الكَلْبُ أنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Cara mensucikan wadah salah seorang di antara kalian yang terkena jilatan anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali salah satunya dengan debu”. [Hadits Riwayat: Muslim (279) dan Abu Daud (71)]
7. Mensucikan Kulit Bangkai Hewan Dengan Menyamaknya
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
“Kulit suci jika sudah disamak”. [Hadits Riwayat: Muslim dan lainnya]
8. Mensucikan Tanah Yang Terkena Air Kencing Atau Najis Lainnya
Dengan cara menyiramnya sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk memyiramkan air di tanah yang terkena air kencing orang Arab Badui di Masjid. [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (219) dan Muslim (284)] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan hal tersebut karena menginginkan tanah tersebut segera menjadi suci. Karena tanah yang terkena najis jika dibiarkan kemudian menjadi kering dan hilang pengaruh najisnya maka dengan sendirinya menjadi suci.
9. Mensucikan Sumur Atau Mentega Jika Terjatuh Najis Di Dalamnya
Yaitu dengan mengambil najis disekitar bagian yang terkena najis. Maka seluruh bagian yang lainnya tetap dalam keadaan suci.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu :
أن النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ فَأْرَةٍ سَقَطَتْ فِي سَمْنٍ فَقَالَ أَلْقُوهَا وَمَا حَوْلَهَا وَكُلُوا سَمَنَكُمْ
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang tikus yang jatuh di atas mentega kemudian beliau bersabda: “ambil tikus itu dan buang bagian sekitarnya lalu makanlah sisa mentega kalian”. [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (Bab: 34 sembelihan)]
Apakah Hanya Air Yang Digunakan Untuk Menghilangkan Najis, Atau Boleh Menggunakan Yang Lainnya?
Ada dua pendapat Ulama mengenai hal ini:
Pertama: Harus menggunakan air untuk menghilangkan najis dan tidak boleh menggunakan yang lainnya kecuali ada dalil yang membolehkannya. Ini adalah pendapat populer dari mazhab Imam Malik, Ahmad dan mazhab Imam Syafii dalam Qoul jadidnya. Asy-Syaukani dan pengikutnya juga sejalan dengan pendapat ini. Dalil-dalil yang mereka gunakan sebagai berikut:
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ
“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu.” [Al-Qur`an Surat: Al-Anfaal: 11]
Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyiramkan air di atas tanah yang terkena kencing orang Arab badui.[13] Mereka mengatakan bahwa kalimat perintah dalam hadits tersebut menunjukkan makna wajib. Jadi tidak cukup menghilangkan najis kecuali dengan air.
Perintah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Hadits riwayat Abi Tsa’labah untuk mencuci wadah dari Ahlul Kitab (Nasrani) dengan air. [Hadits Riwayat: Muttafaq ‘Alaih]
Asy-Syaukani berkata: “Air adalah alat asal untuk menghilangkan najis sebagaimana yang dijelaskan oleh syariat tentang kesuciannya. Dan tidak bisa digantikan dengan benda lain kecuali ada dalil jelas yang menjelaskan kebolehannya. Jika tidak ada maka tidak boleh. Karena menggantikan kesucian air yang sudah ada dalil kesuciannya dengan benda lain yang belum diketahui kesuciannya adalah perbuatan yang keluar dari adab syariat”.
Kedua: Boleh mensucikan dengan apa saja yang dapat menghilangkan najis dan tidak disyaratkan harus menggunakan air.
Ini menurut mazhab Abu Hanifah sebagian riwayat lain dari Imam Malik dan Ahmad. Juga mazhab lama Imam Asy-Syafii (Qaul Qadim), dan Ibnu Hazm. Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga Al-‘Alamah Ibnu ‘Utsaimin. [Hadits Riwayat: Al-Bukhari (5170) dan Muslim (1930)] Ini pendapat yang rajih. Berdasarkan hal berikut:
Bahwa keadaan air suci mensucikan tidak menutup kemungkinan adanya benda lain yang juga suci mensucikan. Kaidahnya adalah tidak adanya sebab tertentu tidak mengharuskan ketiadaan musabbab tertentu. Baik itu ada dalil atau tidak. Karena mungkin pengaruhnya berbeda. Ini yang terjadi dalam masalah najis. [Al-Badai’ (1/83), Fathul Qadir (1/200), Majmu’ al-Fatawa (21/475)].
Penulis kitab shahih fiqh sunnah berkata: Sebagian benda cair seperti cuka dan antiseptic buatan dapat menghilangkan najis sebagaimana air bahkan lebih kuat pengaruhnya.
Syariat memerintahkan penggunaan air untuk menghilangkan sebagian najis saja. Tidak memerintahkan penggunaan air untuk mengghilangkan semua jenis najis.
Syariat membolehkan bersuci dari najis dengan menggunakan selain air. Sepertiistijmar (istinja’ menggunakan batu), mensucikan sandal dengan menggesekkannya ke tanah, sucinya ujung bawah pakaian wanita dengan hanya bergesekan dengan tanah yang suci dan lain sebagainya.
Sebenarnya menghilangkan najis bukan termasuk perintah akan tetapi termasuk bab menghindari perkara yang membahayakan. Jika terdapat najis apapun sebabnya maka otomatis terdapat hukum. Karena itu tidak disyaratkan niat dalam menghilangkan najis. Tetapi jika najis tersebut hilang karena niat dan perbuatan seseorang, maka orang itu akan diberi pahala. Namun jika najis itu hilang hanya karena perilaku seseorang tanpa ada niat. Maka bahaya najis sudah hilang akan tetapi orang tersebut tidak mendapatkan pahala juga tidak mendapatkan dosa. Yang menguatkan pendapat ini adalah khamar jika berubah dengan sendirinya menjadi cuka maka suci menurut ulama yang mengatakan kenajisan khamar dan menurut ijma’ ulama.
Penulis kitab shahih fiqh sunnah berkata: pendapat yang kuat bahwa jika suatu najis hilang dengan suatu sebab maka sifat najisnya turut hilang dan menjadi suci.
Catatan tambahan:
Siapa yang pakaiannya atau badannya terkena najis, kemudian ia menggunakan suatu bahan pembersih yang suci selain air maka hilang sifat najis tersebut dan menjadi suci.
Tidak boleh menggunakan makanan atau minuman untuk menghilangkan najis tanpa adanya darurat karena hal itu merupakan tindakan membuang-buang uang. [Asy-Syarhu Al-Mumti’(1/362]
Menggunakan benda-benda selain air hanya boleh digunakan untuk mensucikan najishakiki saja (kasat mata). Sedangkan bersuci dari najis hukmiyah (tidak kasat mata) seperti bersuci dari hadas, Misalkan wudhu dan mandi wajib dan sebagainya maka tidak boleh menggunakan selain air.