Fatwapedia.com – Saling mewarisi sesama muslim adalah kewajiban berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
للرجال نصيب مماترك الوالدان والاقربون وللنساء نصيب مما ترك الوالدان و الاقربون مما قل منه او كثر نصيبا مفروضا
“Anak laki-laki mendapatkan bagian dari harta yang ditinggalkan oleh ibu bapaknya dan kerabatnya. Anak perempuan juga mendapat bagian dari harta yang ditinggalkan oleh bapak ibu dan kerabatnya. Masing-masing mendapat bagian sedikit atau banyak sesuai dengan bagian yang Allah tetapkan.” (An-Nisa: 7)
Dan ayat yang lainnya.
Sedang dalam hadits, Rasulullah bersabda;
الحقوا الفرائض باهلها فما بقي فللاولى رجل ذكر
“Berikanlah harta warisan kepada orang yang berhak menerimanya adapun sisanya maka berikan kepada ahli waris laki-laki yang lebih utama.” (HR Bukhari 8/187)
Dan hadits lainnya.
Selanjutnya masuk pada pembahasan tentang sebab-sebab warisan, penghalang warisan dan syarat-syarat waris.
A. Sebab-sebab Orang yang Berhak Warisan
Seseorang tidak berhak mendapatkan warisan, kecuali karena salah satu di antara sebab-sebab berikut:
1. Nasab (keturunan), yakni kerabat. Ahli warisnya adalah: bapak dari orang yang mewarisi, atau anak-anaknya atau hasyiyah nya, seperti saudara-saudaranya dan anak-anak mereka, paman-paman dari jalur bapak dan anak-anak mereka. Berdasarkan firman Allah:
ولكل جعلنا موالي مما ترك الوالدان والاقربون
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya…” (An-Nisa’ (4): 33)
2. Pernikahan. Yaitu akad yang sah yang menghalalkan hubungan dengan istri, meskipun suami belurn menggauli atau dilakukan khalwat (berduan untuk bersenang-bersenang). Berdasarkan firman Allah:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu…” (An-Nisa’ (4): 12)
Dan suami istri itu saling mewarisi pada talak raj’i, dan talak ba’in (talak tiga) jika suami mencerainya ketika dia sedang sakit yang mengantarkan pada kematiannya.
3. Wala’, yaitu seseorang yang memerdekakan budak laki-laki atau budak perempuan. Karenanya, ia berhak mendapatkan hak atas wala’nya (memerdekakan budak). Apabila budak yang dimerdekakan itu meninggal dunia dan dia tidak meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi oleh orang yang memerdekakannya. Berdasarkan sabda Nabi;
الولاء لمن اعتق
“Wala’ itu bagi orang yang memerdekakan.” (HR. Al-Bukhari: 3/200, 250, An-Nasa’i: 30, kitab Ath-Thalaq, Ibnu Majah: 2076, 2079, dan Ahmad: 1/ 281)
B. Hal-hal yang Menghalangi Menerima Harta Warisan
Dengan sebab-sebab diatas seorang mendapatkan harta warisan, akan tetapi jika terdapat penghalang, maka seseorang tidak bisa mendapatkannya.
Adapun penghalang-penghalang itu adalah:
1. Kekafiran
Seorang muslim tidak dapat mewarisi kerabatnya yang kafir, dan begitu pula seorang kafir tidak dapat mewarisi kerabatnya yang muslim. Berdasarkan sabda Nabi:
لا يرث الكافر المسلم ولا المسلم الكافر
“Orang kafir tidak dapat mewarisi orang muslim, dan orang muslim tidak dapat mewarisi orang kafir.” (HR. Ahmad: 5/202, Ad-Daruguthni: 4/69, dan Al-Hakim: 4/345)7
2. Pembunuhan
Seorang pembunuh tidak dapat menerima harta warisan dari orang yang dibunuhnya, sebagai bentuk hukuman atas kejahatannya, jika pembunuhan dengan sengaja. Berdasarkan sabda Nabi:
“Seorang pembunuh tidak berhak mendapatkan harta warisan sedikitpun dari orang yang dibunuhnya.” (HR. Ibnu Abdul Barr dan dishahihkannya)
3. Perbudakan
Seorang budak tidak menerima dan tidak pula memberi harta warisan, baik budak secara sempurna, atau budak yang berstatus kurang (tidak sempurna), seperti mub’adh (sebagian merdeka), mukatab (budak yang sedang memproses kemerdekaan dirinya dengan membayar sejumlah uang), dan ummul walad (budak perempuan yang menjadi ibu anak dari tuannya). Seluruh kategori tersebut masuk dalam wilayah perbudakan.
Sebagian ulama mengecualikan mub’adh, mereka mengatakan bahwa (mub’adh) bisa mendapatkan harta warisan dan mewarisi sesuai dengan status merdekanya. Berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas as bahwasanya Nabi &£ bersabda kepada seorang hamba yang status merdekanya baru sebagian,
يرث ويورث على قدر ما عتق عنه
“Dia berhak mewarisi dan diwarisi sesuai dengan kadar status merdekanya.” (Disebutkan oleh penulis kitab Al-Mughni (Ibnu Quddimah)
4. Perbuatan zina
Anak hasil perzinaan tidak bisa saling mewarisi dengan ayahnya, tapi dia hanya berhak untuk saling mewarisi dengan ibunya. Berdasarkan sabda Nabi:
“Anak itu dinisbatkan kepada yang memiliki tempat tidur (ibunya), dan bagi laki-laki pezina itu batu (dirajam dengan batu).” (HR. Al-Bukhari: 5/192, Abu Diud: 2273, Ibnu Majah: 2000, 2007, dan At-Tirmidzi: 1157)
5. Li’an
Anak dari pasangan suami istri yang melakukan li’an tidak dapat menerima harta waris dari ayahnya yang memungkiri dirinya (hasil dari hubungannya dengan istrinya), demikian juga ayahnya tidak dapat menerima harta waris darinya. Hal ini diqiyaskan dengan anak hasil perbuatan zina.
6. Bayi yang meninggal saat lahir
Bayi yang dilahirkan ibunya dalam keadaan mati dan tidak sempat menangis waktu lahir, dia tidak berhak mendapat harta warisan dan tidak pula mewarisi. Karena dia mati yang mana jika hidup, dia berhak mendapat harta warisan.
C. Syarat-syarat Warisan
Warisan ditetapkan menjadi sah, jika mengandung syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tidak ada penghalang untuk mendapat harta waris seperti yang disebutkan di atas. Karena dengannya menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan.
2. Orang yang mewarisi harta warisan meninggal dunia meskipun ditetapkan secara hukum. Seperti hakim memutuskan meninggalnya seseorang yang menghilang, karena secara ijma’ orang yang hidup itu tidak mati.
3, Ahli warisnya dalam keadaan hidup pada hari meninggalnya orang yang meninggalkan waris. Jika ada seorang perempuan yang mengandung, kemudian salah satu anaknya meninggal dunia, maka janin itu berhak mendapatkan harta warisan dari saudaranya jika janin itu sempat, bergerak-gerak (hidup di dalam kandungan), karena adanya kehidupan pada hari ketika saudaranya meninggal dunia. Jika ibunya mengandung setelah saudaranya meninggal dunia, maka bayi yang dikandungnya itu tidak berhak mendapat harta waris dari saudaranya yang telah meninggal, karena pada saat itu dia belum tercipta dan belum hidup.
Materi ketiga: Pembahasan Ahli Waris Laki-laki dan Perempuan
A. Ahli Waris Laki-laki
Ahli waris dari kalangan laki-laki, terdapat tiga bagian:
1. Suami. Seorang suami berhak mendapat harta waris dari istrinya apabila istrinya telah meninggal dunia, walaupun istrinya telah ditalak namun belum habis masa ‘iddahnya, jika masa ‘iddahnya telah habis, maka suami tidak berhak mendapat harta waris darinya.
2. Laki-laki yang memerdekakan budak, atau kerabatnya yang laki-laki ketika dia tidak ada.
3. Kerabat. Mereka itu terdiri tiga kelompok, yaitu pokok kerabat, cabang kerabat, dan pertalian kerabat. Adapun pokok kerabat yaitu: bapak, kakek dan jalur ke atasnya. Dan cabang kerabat yaitu: anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki terus sampai kebawah. Sedangkan pertalian kerabat adalah: saudara laki-laki dan anak-anak mereka terus sampai ke bawah, termasuk saudara laki-laki dari pihak ibu. dan pertalian yang jauh. Mereka itu adalah: para paman dari jalur bapak dan anak-anaknya, terus sampai ke bawah, baik paman yang sekandung dengan bapak atau paman yang sebapak dengan bapak.
Mereka adalah ahli waris laki-laki, keadaan mereka tidak selamanya mendapatkan harta warisan. Terkadang sebagian mereka tidak mendapatkan warisan karena terhalang oleh ahli waris yang lain. Seperti bapak menghalangi kakek dan saudara laki-laki seibu, anak laki-laki menghalangi saudara laki-laki, saudara laki-laki menghalangi paman dari jalur bapak dan seterusnya. Jika mereka semua berkumpul dalam pembagian harta warisan (dalam kasus kematian seorang istri), maka tidak ada yang berhak mendapat harta warisan kecuali tiga orang, yaitu: suami, anak laki-laki, dan ayah saja.
B. Ahli Waris Perempuan
Ahli waris dari kalangan perempuan terbagi atas tiga bagian, yaitu:
1. Istri
2. Perempuan yang memerdekakan budak.
3. Kerabat perempuan. Mereka terdiri dari tiga kelompok yaitu: pokok kerabat, mereka adalah: ibu, nenek dari ibu atau dari ayah, cabang kerabat, mereka adalah: anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki terus ke bawah, dan pertalian kerabat, yaitu: saudara perempuan secara mutlak.
Catatan:
Adapun bibi dari jalur bapak, bibi dari jalur ibu, kemudian cucu perempuan dan cucu laki-laki dari anak perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki, serta anak perempuan paman dari jalur bapak, mereka semua tidak berhak mendapat harta warisan secara mutlak.