Fiqh Puasa Madzhab Syafi’i – 03, Rukun-rukun Puasa

Fiqh Puasa Madzhab Syafi’i - 03, Rukun-rukun Puasa
Rukun-rukun puasa :

1. Orang yang berpuasa

2. Niat

3. Menahan Diri dari Hal-hal yang Membatalkan Puasa

Adapun penjelasannya sebagai berikut:

A. Niat

1. Pengertian Niat

Niat (al-Qashd) ialah kehendak atau tujuan. Niat puasa berarti tujuan puasa.

Tempat niat ada di hati, tidak cukup hanya dengan lisan dan tidak mesti disyaratkan melafazhkannya. Namun, dianjurkan melafazhkan niat dibarengi dengan hati.

2. Hukum Niat

Hukum niat adalah fardhu dan wajib. Puasa Ramadhan dan puasa lainya tidak sah tanpa berniat. Dan ketika mengkhususkan puasa saat berniat, diwajibkan pasti dan tidak ragu.

Rasulullah ﷺ bersabda :

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung dengan niatnya. Dan sesungguhnya, setiap orang akan mendapatkan (balasan) apa yang ia niatkan.” (HR. al-Bukhari, 1/3, no. 1), dan Muslim, 13/53, no. 1907).

3. Perbedaan Niat Puasa Wajib dan Puasa Sunnah 

a. Niat puasa wajib

1} Waktu niat puasa fardhu dimulai maghrib hingga terbitnya fajar (masuk waktu subuh), dan wajib dilakukan pada malam hari.

Rasulullah ﷺ bersabda :

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَا مِنْ الَّيْلِ قَبْلَ الفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ.

“Barangsiapa yang tidak berniat untuk berpuasa dimalam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Dawud 1/571, at-Tirmidzi 3/426, an-Nasa’i 4/166, Ibnu Majah 1/542, ad-Daraquthni 2/172, dan al-Baihaqi 4/213.) Lihat al-Majmu’ 6/301.

Jika berniat sebelum matahari terbenam atau setelah terbit fajar walau sesaat, maka puasanya tidak sah.

2} Wajib di-ta’yin (ditentukan) puasa yang akan dilakukan, seperti puasa ramadhan atau kaffarat atau nadzar atau qadha’ dan diulang setiap hari.

Contoh ta’yin niat puasa sehari (diucapkan dengan lisan dan menghadirkan di dalam hati) :

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِهَذِهِ السَّنَةِ الِلَّهِ تَعَالَى

“Aku berniat puasa esok hari untuk melaksanakan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Ta’ala”

Jika ia berniat dimalam pertama bulan Ramadhan untuk berpuasa satu bulan penuh, niatnya tidak sah. Niat seperti itu hanya sah untuk hari pertama. (al-Minhaj wa Mughni al-Muhtaj 1/425, al-Muhadzdzab 1/598, al-Majmu’ 6/200, Qalyubi wa al-Mahalli 2/52, al-Hawi 3/243, dan al-Anwar 1/229.)

3} Tidak diperbolehkan menjama’ (mengumpulkan) dua puasa fardhu dalam satu hari satu niat.

🟪 b. Niat puasa sunnah

1.} Waktu niat puasa sunnah dimulai maghrib hingga tergelincirnya matahari (sebelum masuk waktu Dzuhur), dan tidak wajib dilakukan dimalam hari.

Hal tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, beliau berkata, pada suatu hari Rasulullah berkata kepadanya:

يَا عَائِشَةُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ؟ فَقُلْتُ: يَا رِسُوْلَ اللَّهِ مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ. قَالَ: فَإِنِّى صَائِمٌ.

“Ya Aisyah, apakah kamu mempunyai makanan?” Aku menjawab: “Ya Rasulullah, kita tidak punya makanan apa-apa.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” (HR. Muslim 8/34, no. 1154).

Diperbolehkan melakukan puasa sunnah sesudah terbit fajar dengan dua syarat :

  • Harus berniat sebelum tergelincirnya matahari (sebelum masuk waktu Dzuhur).
  • Belum melakukan segala sesuatu yang membatalkan puasa (makan, minum, jima’ dan lainnya) sejak dari terbitnya fajar hingga waktu melaksanakan niat, kecuali ia lupa sedangkan ia memiliki kebiasaan melaksanakan puasa di hari tertentu (puasa Senin, Kamis, dan lainnya).

2} Tidak wajib di-ta’yin puasa yang akan dilakukan, kecuali puasa yang memiliki waktu tertentu, seperti puasa hari arafah menurut pendapat mu’tamad.

3} Diperbolehkan menjama’ dua puasa sunnah atau lebih dalam satu hari satu niat. 

B. Menahan Diri dari Hal-hal yang Membatalkan Puasa

Rukun puasa yang kedua adalah orang yang berpuasa menahan segala hal yang membatalkan puasa di waktu sedang berpuasa, dimulai dari terbitnya fajar kedua (fajar shadiq) hingga terbenamnya matahari.

Allah Ta’ala berfirman:

﴿ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ  ﴾

“Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah [2]: 187)

Perkara-perkara yang membatalkan puasa terbagi dua :

1. al-Muhbithat, yaitu hal-hal yang membatalkan pahala puasa.

2. al-Mufthirat, yaitu hal-hal yang membatalkan puasa sekaligus membatalkan pahalanya, kecuali ada udzur. 

1. al-Muhbithat (hal-hal yang membatalkan pahala puasa)

Rasulullah ﷺ bersabda :

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لِيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْعُ وَالْعَطَشُ.

“Betapa banyak orang yang berpuasa, namun dia tidak mendapatkan dari puasanya kecuali hanya rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ahmad 2/441 dan Ibnu Majah, no. 1689)

Diantaranya :

a. Ghibah, yaitu membicarakan aib orang lain dengan hal-hal yang tidak disukainya, meskipun itu benar adanya.

b. Namimah (adu domba), yaitu menyebarkan perkataan dengan tujuan memimbulkan fitnah (orang agar bertengkar dan putus hubungan).

c. Berbohong

d. Melihat hal-hal yang haram atau halal yang disertai syahwat (nafsu)

e. Bersumpah palsu

f. Berkata dan berbuat dusta

Rasulullah ﷺ bersabda :

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الْزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ الِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan kotor dan perbuatan keji, maka Allah tidak butuh orang itu meninggalkan makan dan minum (puasanya).” (HR. al-Bukhari, no. 1903) 

2. al-Mufthirat (hal-hal yang membatalkan puasa), yaitu :

a. Makan dan Minum

Jika orang yang berpuasa makan (atau menelan sisa makanan yang menyangkut di sela-sela gigi) atau minum dan ia sadar sedang berpuasa, mengetahui bahwa hal itu dilarang, serta tidak ada paksaan dari siapapun, maka batallah puasanya dan ia wajib mengqadha’.

Begitu juga jika ia menyangka fajar shadiq (masuk waktu subuh) belum terbit padahal sudah terbit atau menyangka maghrib sudah tiba padahal belum tiba, maka puasanya batal dan ia wajib mengqadha’nya.

Jika fajar shadiq telah terbit, dan dimulut seseorang masih ada makanan, ia wajib membuang makanan tersebut, agar puasanya sah. Jika makanan itu ia telan, puasanya batal dan ia wajib mengqadha’nya.

Adapun orang yang lupa dan tidak diarahkan, baik melalu perintah maupun larangan. Puasanya tidak batal. 

Rasulullah ﷺ bersabda : 

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ.

“Barangsiapa yang lupa, padahal ia sedang berpuasa, lalu ia makan atau minum. Maka hendaklah ia meneruskan puasanya, karena sesungguhnya Allah-lah yang memberinya makan dan minum.” (HR. al-Bukhari 2/682 no. 1831, dan Muslim 8/35 no. 1155)

Adapun jika ia muallaf atau hidup di daerah terpancil yang jauh dari dakwah, puasanya tidak batal dan tidak berdosa. Namun, jika orang yang berpuasa itu hidup di tengah masyarakat Muslim (yang umumnya mengetahui hal itu dilarang), puasanya batal karena kelalaiannya dalam bertanya dan wajib mengqadha’.

b. Masuknya sebuah benda yang terlihat oleh mata ke dalam tubuh “الْجَوْفُ” (otak, kerongkongan, lambung dan usus) atau rongga terbuka badan “الْمُنَافِذُ” (mulut, telinga, qubul dan dubur)

Permasalahan-permasalahan tentang benda yang masuk :

1] Jarum suntik

  • Apabila jarum suntik masuk kedalam saluran pembuluh darah dan berfungsi menguatkan, seperti transfusi darah, air infus. Maka puasanya batal.
  • Sedangkan disuntik pada otot-otot, tidak membatalkan puasa, seperti pada suntik vaksin dan sejenisnya.

2] Menelan dahak

– Jika dahak sudah berada di batas badan bagian luar (makhraj huruf ح dan خ ), maka hukum menelannya bisa membatalkan puasa, kecuali tidak tahu.

– Jika dahak berada di bagian dalam badan (makhraj huruf ه ), maka hukum menelannya tidak membatalkan puasa.

3.] Menelan air liur

Menelan air liur dianggap membatalkan puasa dengan kondisi :

– Apabila air liur tersebut sudah bercampur dengan benda asing, seperti darah gusi dan lainnya.

– Apabila air liur sudah berada di bagian bibirnya, lalu ia telan. Puasanya batal.

4.] Air yang masuk ke dalam tubuh saat mandi 

– Jika mandi wajib (mandi junub) atau mandi sunnah (mandi Jum’at) air masuk tanpa sengaja dengan cara menuangkan, puasanya tidak batal. Kecuali dengan cara menyelam, maka puasanya batal.

– Jika mandi mubah, walaupun air masuk tanpa sengaja dengan cara menuangkan maupun menyelam, maka puasanya batal.

5.] Air yang masuk ke dalam tubuh saat berkumur atau menghirup air ke dalam hidung

– Apabila terlalu berlebihan (keras) saat berkumur atau menghirup air ke dalam hidung pada saat mandi wajib dan wudhu’puasanya batal. Jika tidak terlalu keras, puasanya tidak batal.

– Baik masuknya berlebihan maupun tidak, puasanya batal karena tidak ada tuntunan syari’at, seperti mandi mubah, berendam untuk mendinginkan tubuh dan lainnya.

Pembatal lainnya yaitu: merokok, obat tetes telinga. Sedangkan obat tetes mata, tidak membatalkan puasa, karena mata bukanlah lubang terbuka meskipun rasa tetesan cairan tersebut terasa sampai di tenggorokan. 

c. Muntah dengan sengaja

Puasa seseorang batal apabila muntah dengan disengaja. Seperti memasukkan jari kedalam mulut, lalu muntah meskipun ia dapat memastikan bahwa tidak ada satupun yang tertelan kembali setelah muntah dikeluarkan.

Rasulullah ﷺ bersabda :

مِنْ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ، وَمَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ.

“Barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka ia wajib mengqadha’ (puasanya), dan barangsiapa yang muntah karena tidak sengaja, ia tidak wajib menqadha’ (puasanya).” (HR. Abu Dawud 1/555, at-Tirmidzi 3/409, Ibnu Majah 1/535) 

d. Berjima’ dengan sengaja

Apabila dilakukan dengan sengaja dan mengetahui akan keharamannya serta dilakukan atas kemauan sendiri, maka hukum puasanya batal.

Sedangkan jika ia lakukan pada puasa bulan Ramadhan, maka ia menanggung 5 sangsi atas perbuatannya:

1. Mendapatkan dosa.

2. Wajib menahan diri dari semua yang membatalkan puasa meskipun puasanya sudah batal.

3. Wajib dita’zir, yaitu hukuman dari hakim jika ia tidak bertaubat.

4. Wajib mengqadha’.

5. Wajib membayar kaffarah al-uzhma, yaitu salah satu dari tebusan besar yang harus dibayar dengan tertib artinya tidak boleh berpindah kecuali tidak mampu, diantaranya :

a. Memerdekakan budak beriman.

b. Berpuasa selama dua bulan berturut-turut.

c. Memberi makan 60 orang faqir dan miskin, tiap orang mendapatkan 1 mud makanan pokok. (Lihat HR. al-Bukhari 2/684 no. 1834, Muslim 7/224 no. 1111, Abu Dawud 1/557, Imam Ahmad 2/241, serta al-Majmu’ 6/365)

Kafarat ini dilimpahkan atas suami dan jumlah kafarat akan bertambah sesuai dengan jumlah hari yang dibatalkan. Sedangkan istri, hanya diwajibkan mengqadha’ puasanya.

Jika seseorang menjima’ istrinya dua kali atau lebih dalam satu hari, ia hanya diwajibkan membayar 1 kafarat untuk jima’ yang pertama, sedangkan jima’ yang kedua tidak diwajibkan apa-apa, karena jima’ tersebut terjadi ketika puasanya sudah batal.

(Lihat al-Minhaj wa Mughni al-Muhtaj 1/442, al-Muhadzdzab 2/610, al-Majmu’ 6/361, Qalyubi wa al-Mahalli 2/69, al-Hawi 3/276, dan al-Anwar 1/237)

e. Masturbasi

Membatalkan puasa : 

– Mengeluarkan sperma dengan sengaja tanpa melakukan jima’, seperti dengan tangannya, dengan tangan istrinya, dengan mencium atau dengan bersentuhan tanpa ada penghalang.

Tidak membatalkan puasa :

– Keluar bukan karena bersentuhan, seperti bermimpi disiang hari, memandang atau mengkhayal.

– Keluar dengan bersentuhan, namun ada penghalangnya.

f. Haidh dan Nifas

g. Gila dan Murtad

__________

Sumber Referensi:

 1.المعتمد في الفقه الشافعي – الشيخ د. محمد الزحيلي

 2.التقريرات السديدة – الشيخ حسن الكاف

Leave a Comment