Fiqh Puasa Madzhab Syafi’i – 04, Udzur, Qadha dan Fidyah

Fiqh Puasa Madzhab Syafi’i - 04, Udzur, Qadha dan Fidyah

Sub-Pokok Bahasan tulisan ini meliputi:

  1. Udzur-udzur yang Membolehkan Seseorang Tidak Berpuasa
  2. Qadha’
  3. Fidyah

Udzur-udzur yang Membolehkan Seseorang Tidak Berpuasa

Islam agama yang mudah dan tidak menghendaki kesulitan bagi pemeluknya. Oleh karena itu, dibolehkan berbuka pada bulan Ramadhan bagi sebagian orang apabila pada dirinya terdapat salah satu dari hal-hal berikut ini, yakni :

A. Sakit dan Tidak Mampu Berpuasa

Allah Ta’ala berfirman :

﴿ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ ﴾

“Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah [2]: 184)

Perincian sakit :

2. Seseorang yang sakit dan tidak ada harapan untuk sembuh, ia diwajibkan membayar fidyah dan tidak wajib qadha’.

Kasus yang serupa dengan ini adalah orang yang sudah tua, yang mana puasa itu membuatnya menjadi kesusahan dan kepayahan dalam menjalankannya, ia hanya diwajibkan membayar fidyah dan tidak wajib qadha’.

Fidyah yaitu memberi makan seorang miskin dengan 1 mudd makanan pokok penduduk setempat, untuk sejumlah puasa yang ia tinggalkan.

Adapun makan pokok kita beras, 1 mudd beras = 679 gr.

Kalau dibulatkan = 700 gr atau 7 ons.

Apabila orang yang sakit dan orang yang sudah tua tersebut adalah orang faqir atau miskin dan tidak mampu untuk membayarnya, kewajiban membayar fidyahnya gugur, menurut pendapat yang al-Ashah.

2. Seseorang tidak mampu berpuasa karena sakit dan khawatir sakitnya akan bertambah parah atau bisa menyebabkan tubuhnya tidak stabil, meskipun masih ada peluang untuk sembuh dari penyakitnya, ia tidak wajib berpuasa dan wajib mengqadha’ ketika sehat.

3. Adapun orang yang sakitnya ringan (tidak parah), yang mana tidak ada kesusahan dalam menjalankan puasa, maka wajib baginya meneruskan puasanya hingga tenggelam matahari.

4. Apabila di pagi harinya seseorang berpuasa dan dalam keadaan sehat, lalu sakit di siang harinya menjadi parah, seperti kehausan dan kelaparan (dehidrasi) dan khawatir membahayakan jiwanya. Maka boleh baginya berbuka karena keadaan darurat, dan ia wajib mengqadha’ dilain hari. 

Allah Ta’ala berfirman:

﴿ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا ﴾

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 29)

B. Musafir

Jika seseorang melakukan perjalanan jauh pada bulan Ramadhan yang jaraknya mencapai 85± km, ia boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala :

﴿ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ ﴾

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)

Syarat musafir yang diberikan keringanan adalah bukan dalam rangka bermaksiat; seperti perjalanan ke tempat sabung ayam, klub malam, bioskop dan lainnya. 

Disyaratkan perjalanannya dimulai dari sebelum terbit fajar (shadiq) atau dapat dipastikan bahwa ia akan melakukan perjalanannya jauh.

Jika dipagi harinya ia berpuasa dan tidak melakukan perjalanan, kemudian disiang harinya ia melakukan perjalanan jauh. Ia tidak boleh membatalkan puasanya. Karena hal ini, ia sudah masuk kedalam ibadah puasa. Hal tesebut berdasarkan firman Allah Ta’ala :

﴿ ۞ وَلَا تُبْطِلُوْٓا اَعْمَالَكُمْ ﴾

“Dan janganlah kamu merusakkan segala amalmu.” (QS. Muhammad [47]: 33)

Kecuali jika terpaksa membatalkan puasanya karena suatu udzur, ia boleh berbuka.

Perincian Keringanan musafir :

1. Puasa tidak memberatkannya

Dalam kondisi seperti ini, yang utama baginya ia berpuasa. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

﴿ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ﴾

“Dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 184)

Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu’anha, Hamzah bin Amr al-Aslami bertanya : “Ya Rasulullah, bolehkah saya berpuasa ketika melakukan perjalanan?”

Maka Rasulullah ﷺ menjawab :

إن شئت فصم، وإن شئت فأفطر

“Jika kamu mau berpuasa, maka silahkan berpuasa. Dan jika kamu tidak mau, maka kamu boleh berbuka (tidak berpuasa).” (HR. al-Bukhari 2/686 no. 1841 dan Muslim 7/237 no. 1121, dan al-Baihaqi 4/243)

2. Puasa berat baginya

Ia lebih afdhal tidak berpuasa. Hal tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu’anhu, ia berkata : “Rasulullah ﷺ berjumpa dengan seseorang laki-laki di bawah pohon, dan dicipratkan air padanya, maka beliau ﷺ bertanya : “Apa yang terjadi terhadap orang ini?” Para sahabat menjawab : “Ia sedang berpuasa.” 

Mendengar hal itu, Rasulullah ﷺ bersabda :

ليس من البر الصوم في السفر

“Bukanlah termasuk kebaikan berpuasa dalam perjalanan.” (HR. al-Bukhari 2/687 no. 1844 dan Muslim 7/233 no. 1115) 

Jika seorang musafir tidak berpuasa, kemudian tiba di daerahnya atau menetap di sebuah daerah, ia dianjurkan (bukan wajib) untuk menahan diri dari makan dan minum di hari itu untuk menghormati bulan Ramadhan. 

C. Wanita Hamil dan Menyusui

Perempuan hamil dan menyusui diberi keringanan. Mereka boleh tidak berpuasa pada bula Ramadhan demi meringankan dan menjaga kondisi mereka.

Perincian keringanan wanita hamil dan menyusui :

1. Tidak berpuasa karena khawatir akan kondisi dirinya, ia diwajibkan mengqadha’ puasa.

2. Tidak berpuasa karena khawatir terhadap dirinya dan anaknya, ia hanya diwajibkan mengqadha’ puasa.

3. Tidak berpuasa karena khawatir keguguran atau air susunya mengering dan membahayakan anaknya, ia diwajibkan mengqadha’ sebagai ganti puasa yang ditinggalkan dan diwajibkan membayar fidyah yang disebabkan oleh anaknya.

Contoh kasus yang serupa seperti ini, ialah orang yang membatalkan puasa karena menyelamatkan manusia atau hewan yang tenggelam. Ia tidak mampu menyelamatkannya kecuali dengan membatalkan puasa agar kuat, lalu ia batalkan puasanya. 

Ia diwajibkan mengqadha’ puasa dan membayar fidyah disebabkan menanggung dua jiwa, yaitu menyelamatkan diri dan orang yang diselamatkannya. (lihat al-Majmu’ 6/359, dan al-Minhaj wa Mughni al-Muhtaj 1/441.) 

Qadha’

Orang yang puasanya batal, baik karena sengaja maupun tidak sengaja, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya di sini

Ia diwajibkan mengqadha’ puasanya sebelum Ramadhan tahun depan tiba. Apabila tahun sudah berlalu dan sedangkan ia masih memungkinkan untuk mengqadha’nya, namun tidak ia qadha’ karena malas dan tanpa udzur. Ia dikenakan hukuman tambahan, yaitu membayar fidyah untuk setiap hari puasa Ramadhan yang ditinggal. Sebagaimana atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhum. Mereka berkata : “يطعم عن الأول” ia membayar fidyah untuk Ramadhan pertamanya (AR. ad-Daraquthni 2/196 dan al-Baihaqi 4/253).

Adapun menunda qadha’ Ramadhan karena udzur, seperti sakit yang terus-menerus, hamil, menyusui, atau berpergian (musafir) hingga Ramadhan datang, ia tidak wajib membayar fidyah karena penundaan tersebut, ia hanya diwajibkan mengqadha’ saja.

Qadha’ tersebut boleh dicicil perhari terpisah-pisah, namun di sunnahkan untuk menyegerakannya secara berturut-turut, sebelum Ramadhan tahun depan tiba.

Perincian masalah orang yang diwajibkan mengqadha’ puasa Ramadhan, lalu tidak mengerjakannya sampai meninggal dunia :

1. Jika penundaannya karena udzur dan udzurnya tetap ada sampai mati, seperti orang yang penyakitnya tidak sembuh-sembuh, pingsan tidak sadar-sadar dan udzur-udzur lainnya, ia tidak berdosa dan hukumannya pun gugur, sebab tidak mampu dikerjakan sampai ajalnya tiba. Dan tidak diwajibkan apa-apa terhadap harta peninggalannya, serta ahli warisnya pun juga tidak diwajibkan apa-apa.

2. Jika sempat mengqadha’nya, baik terlewat karena udzur maupun bukan, tetapi ia tidak mengqadha’nya sampai ajal datang (sebelum Ramadhan tahun depan tiba), menurut qaul qadim dan ini adalah pendapat yang rajih, bahwa wali mayit tersebut boleh menggantikannya, namun tidak wajib. 

Rasulullah ﷺ bersabda :

من مات وعليه صيام صام عنه وليه

“Barangsiapa yang meninggal dunia, dan ia memiliki kewajiban berpuasa, maka yang menggantikannya berpuasa adalah walinya.” (HR. al-Bukhari 2/690 no. 1851 dan Muslim 8/23 no. 1147)

Jika kerabatnya memerintahkan seseorang untuk berpuasa atas nama mayit, baik diberi upah ataupun tidak, hal itu dibolehkan, seperti ibadah haji. Demikian pula apabila seseorang yang bukan kerabatnya datang untuk meminta izin berpuasa atas nama mayit, itu juga sah dan dibolehkan. Sedangkan jika orang itu berpuasa tanpa izin keluarganya dan tanpa wasiat dari si mayit, puasanya tidak sah.

3. Jika keluarganya atau orang lain tidak ada yang berpuasa menggantikannya, maka dikeluarkan fidyah dari harta peninggalan si mayit, untuk membayar sejumlah hari yang ditinggalkannya. Karena itulah sebagai tebusannya.

Adapun jika si mayit tidak meninggalkan harta benda, diperbolehkan membantu bayar fidyahnya.

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :

إذا مرض الرجل في رمضان، ثم مات، ولم يصم، أطعم عنه. 

“Jika seseorang sakit di bulan Ramadhan, kemudian wafat, dan ia tidak berpuasa, maka bayarkanlah fidyahnya.” (AR. Abu Dawud 1/560)

4. Apabila seseorang yang diwajibkan berpuasa dan ia tidak melaksanakannya sampai Ramadhan berakhir, kemudian ia tidak mengqadha’nya sampai bulan Ramadhan tahun depan datang, lalu wafat. Maka wajib dibayarkan fidyahnya dua mudd dari peninggalannya.

Satu mudd sebagai ganti puasanya dan satu mudd karena menunda puasa. (al-Minhaj wa Mughni al-Muhtaj 1/441, al-Muhadzdzab 2/632, al-Majmu’ 6/413, Qalyubi wa al-Mahalli 2/66, al-Hawi 2/312, dan al-Anwar 1/237, 239.)

Fidyah

Kondisi yang diwajibkan membayar fidyah :

1. Orang yang sudah tua dan orang yang sakit tidak ada harapan sembuh.

2. Perempuan hamil dan menyusui yang tidak berpuasa karena khawatir terhadap anak mereka.

3. Orang yang menunda qadha’ puasa Ramadhan, hingga Ramadhan tahun depan tiba.

4. Orang yang sudah wafat sedangkan ia masih meninggalkan tanggungan hutang puasa (qadha’), dan kerabatnya tidak ada yang menggantikannya berpuasa. Pembayaran fidyahnya diambil dari harta si mayit.

Fidyah diserahkan kepada orang-orang faqir atau miskin. Diperbolehkan menyerahkan beberapa fidyah untuk 1 orang, dan untuk 1 bulan untuk 1 orang faqir atau miskin

Contoh :

Orang yang sudah tua tidak mampu berpuasa, selama 30 hari bulan Ramadhan ia tidak berpuasa. Maka fidyahnya 30 mudd makanan pokok untuk satu bulan.

1 mudd beras, 679 gr  x  30 hari = 20,3 kg beras yang harus dibayarkan.

Dia boleh memberikan 20,3 kg beras tersebut kepada satu orang faqir atau miskin tanpa dibagi kepada faqir-miskin yang lainya.  

Kapan waktu pembayaran fidyah?

Fidyah sah dibayar ketika bulan Ramadhan tiba, adapun melakukan pembayaran diluar bulan Ramadhan, fidyahnya tidak sah.

Sumber Referensi:

 1.المعتمد في الفقه الشافعي – الشيخ د. محمد الزحيلي

Leave a Comment