Hadits Aisyah Tentang Tata Cara Mandi Wanita Junub

Hadits Aisyah Tentang Tata Cara Mandi Junub

Fatwapedia.com – Tulisan ini akan memuat hadis riwayat Aisyah tentang mandi besar bagi wanita, baik karena junub maupun haid dan nifas. Namun sebelumnya ada sebuah pertanyaan adakah perbedaan antara Mandi junub Bagi wanita dan Laki-laki?

Mandi junub bagi wanita tidak berbeda seperti kewajiban mandi bagi laki-laki. Jika rambut mereka dikepang maka tidak harus mengurainya, yang terpenting pori-pori dan pangkal rambut kepalanya dapat disiram air. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Maimunah ketika ia bertanya kepada rasulullah:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِي، فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟ فَقَالَ: «إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِي عَلَيْهِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ مِنْ مَاءٍ، ثُمَّ تُفِيضِي عَلَيْكِ مِنَ الْمَاءِ، فَتَطْهُرِينَ

“Wahai Rasulullah aku termasuk wanita yang mengepangkan rambut, apakah aku harusmenguraikannya ketika mandi junub? Rasulullah menjawab: Tidak, cukup dengan membilas-bilasnya dengan tangan kemudian mencucinya dengan air, maka engkau telahsuci.”[1]

Begitu juga hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha :

كُنَّا نَغْتَسِلُ وَعَلَيْنَا الضِّمَادُ، وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحِلَّاتٌ وَمُحْرِمَاتٌ

“Dahulu kami mandi dalam keadaan mengenakan dhomad (sejenis pengikat rambut)sedangkan kami bersama rasulullah, baik dalam keadaan berihram atau tidak.”[2]

Berkaitan dengan ini Aisyah menolak pendapat Abdullah Bin ‘Amr tentang harusnya menguraikan rambut bagi wanita ketika mandi junub.[3]

Mandi setelah Haid dan Nifas

Mandi dari haid dan nifas tidak berbeda seperti mandi karena junub. Namun, ada beberapa hal yang harus dilakukan:

Memakai sabun dan pembersih lainnya selaian air. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah bahwa Asma’ bertanya kepada Rasulullah tentang mandi wajib seorang wanita haid. Beliau bersabda:

تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ، فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتُدَلِّكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى يَبْلُغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ، ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا ” قَالَتْ أَسْمَاءُ: وَكَيْفَ تَطَهَّرُ بِهَا؟ قَالَ: ” سُبْحَانَ اللهِ، تَطَهَّرِي بِهَا ” فَقَالَتْ عَائِشَةُ كَأَنَّهَا تُخْفِي ذَلِكَ: تَتَبَّعِي أَثَرَ الدَّمِ

“Hendaklah seorang diantara kalian mengambil air dan perasan daun bidara lalubersucilah dengannya secara sempurna. Dan basuhlah kepalanya dengan menggosoknya dengan kuat lalu membasuhnya dengan air sampai ke pangkal rambut. Kemudian mengambil kapas yang diberi minyak wangi dan bersihkanlah dengannya. Asma kemudian ’ bertanya: bagaimana cara bersucinya ya Rasulullah. Rasulullah menjawab: Subhanallah, bersucilah kalian dengannya. ‘Aisyah berkata: dengan kapas itu kalian membersihkan bercak-bercak darah.”[1]

Menguraikan rambut yang dikepang agar air dapat menembus akar-akarnya. Ini berdasarkan hadits yang telah disebutkan sebelumnya; Dan basuhlah kepalanya kemudian menggosok-gosok kepalanya dan membasuhnya dengan air sampai ke akar-akar rambutnya. Hadits ini menjadi alasan tidak cukupnya mandi karena haid atau nifas dengan hanya meratakan air pada badan seperti mandi junub. Terlebih dalam hadits berikut sahabat Maimunah bertanya juga pada Rasulullah tentang mandi junub dan Rasulullah pun menjawab; Dan basuhlah kepalanya kemudian menggosok-gosok kepalanya dan mencucinya dengan air sampai ke akar-akar rambutnya. Dalam hadits ini, Rasulullah tidak menyebutkan dengan redaksi “menggosok dengan keras” disini terlihat perbedaan antara mandi junub biasa dengan mandi karena haid.

Para ulama berbeda pendapat tentang penguraian rambut yang dikepang saat mandi karena haid. Imam Syafi’I, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa penguraian disini hukumnya dianjurkan[2], mereka berdalil dengan:

Hadits tersebut tidak menegaskan perintah menguraikan rambut yang dikepang.

Hadits ‘Aisyah ketika Rasulullah berhaji

فَأَدْرَكَنِي يَوْمُ عَرَفَةَ، وَأَنَا حَائِضٌ، لَمْ أَحِلَّ مِنْ عُمْرَتِي، فَشَكَوْتُ ذَلِكَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «دَعِي عُمْرَتَكِ، وَانْقُضِي رَأْسَكِ، وَامْتَشِطِي، وَأَهِلِّي بِالْحَجِّ

“Tibalah hari Arafah sementara aku sedang haid, kemudian aku bertanya pada Rasulullah dan beliau pun menjawab: tinggalkan ibadah umrahmu, uraikanlah rambutmu (ketika mandi) dan bersiap-siaplah melaksanakan ibadah haji.”[3]

Dalam pandangan mereka, mandi dalam hadits ini adalah mandi untuk ihram bukan dari haid, sehingga tidak dapat menjadi dalil wajib penguraian rambut.

Hadits ‘Aisyah ketika Rasulullah berkata kepadanya dan ia sedang haid

انْقُضِي شَعْرَكِ، وَاغْتَسِلِي

“Uraikanlah kepangan rambutmu dan mandilah.”[4]

Dalam Pandangan mereka, hadits ini tak lain adalah pelengkap dari hadits sebelumnya dan sebenarnya hadits yang sama. Mereka menilai kata واغتسلى adalah cacat dan memahaminya sebagai mandi untuk ihram.

Penolakan ‘Aisyah terhadap pendapat sahabat Abdullah Bin ‘Amr tentang harusnya menguraikan rambut bagi wanita ketika bermandi besar.

Sedangkan Imam Ahmad, Hasan, Thawus berpendapat bahwa mengurai rambut yang dikepang saat mandi selesai haid hukumnya wajib berdasarkan hadits yang telah lalu, dan ini pendapat yang rajih seperti yang telah ditahqiq oleh Ibnu Qayyim.[1] Mereka membantah pendapat mayoritas ulama dengan dalil-dalil berikut:

Pendapat jumhur ulama tentang mandi yang tertera dalam hadits dari Aisyah ketika haji dikarenakan ihram memang benar. Namun, sebenarnya mandi karena haid lebih ditekankan. Karena Rasul telah memerintahkan saat mandi tersebut apa yang tidak ditekankan pada selainnya seperti penekanan bersuci di dalamnya. Karenanya diperintahkan penguraian rambut supaya membantu menghilangkan hadas.

Hadits dari Aisyah yang kedua yaitu: “uraikanlah kepangan rambutmu dan mandilah”. Bukanlah hadits ketika Rasulullah haji. Dan ini banyak diriwayatkan oleh para perawinya.

Penolakan Aisyah terhadap Abdullah bin Amr adalah karena ia memerintahkan para wanita untuk menguraikan rambutnya ketika mandi junub. Aisyah berkata:

يَا عَجَبًا لِابْنِ عَمْرٍو هَذَا يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُءُوسَهُنَّ. أَفَلَا يَأْمُرُهُنَّ أَنْ يَحْلِقْنَ رُءُوسَهُنَّ، «لَقَدْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ.

“Aku heran dengan Abdullah bin ‘Amr, ia memerintahkan para wanita untuk menguraikan rambutnya. Tidakah lebih baik jika memerintahkan mereka untuk mencukurnya?! Kami dulu bersama Rasulullah mandi dalam satu bejana.”[2]

Hadits ‘Aisyah di atas yang menyebutkan bahwa beliau mandi bersama Rasulullah adalah mandi yang disebabkan junub bukan haid. Karenanya, wajib bagi wanita menguraikan rambutnya saat mandi yang disebabkan haid dan nifas. Ini yang lebih selamat di amalkan.Wallahu A’lam.

Membersihkan bercak darah dengan sepotong kapas yang dibubuhi minyak wangi setelah mandi junub. Disunahkan pula membersihkan anggota badan yang terkena bercak darah dan menggunakan wewangian supaya tidak meninggalkan bau yang tidak sedap. Hal ini telah disebutkan secara shahih dalam hadits ‘Aisyah yang telah lalu.

Boleh bagi wanita yang dalam masa berkabung atas kematian suaminya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Atiyyah.

وَلاَ نَتَطَيَّبَ وَلاَ نَلْبَسَ ثَوْبًا مَصْبُوغًا، إِلَّا ثَوْبَ عَصْبٍ، وَقَدْ رُخِّصَ لَنَا عِنْدَ الطُّهْرِ إِذَا اغْتَسَلَتْ إِحْدَانَا مِنْ مَحِيضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ أَظْفَارٍ

“Kami tidak boleh memakai minyak wangi, tidak boleh memakai pakaian yang berwarna kecuali pakaian yang biasa di pakai untuk bekerja. Namun kami diberi keringanan jika salah seorang diantara kami mandi setelah ia suci dari haidnya untuk menggunakan sepotong kapas yang dibubui minyak wangi”.[1]

Bolehkah Menyeka Badan Setelah Mandi?

Telah disebutkan sebelumnya dalam hadits yang diriwayatkan oleh Maimunah mengenai tata cara mandi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; aku memberinya kain (sejenis handuk, dalam riwayat lain disebutkan sejenis sapu tangan) namun tidak mengambilnya dan menyeka air di badannya dengan kedua tangannya.

Hadits ini dijadikan dalil menyeka badan setelah mandi adalah makruh. Namun, kurang tepat karena beberapa alasan[2]:

Sikap nabi dengan tidak mengambil kain yang disodorkan oleh Maimunah ada berbagai keumungkinan, tidak hanya berarti hukumnya makruh menyeka badan. Mungkin karena keadaan beliau yang sedang terburu-buru atau karena sebab lain.

Hadits diatas menunjukan bahwa Rasul memang terbiasa menyeka badan setelah mandi. Jika saja tidak demikian, maka tidak mungkin Maimunah menyodorkannya handuk.

Menyeka badan dengan tangan menunjukan bolehnya menyeka setelah mandi. Karena menyeka, baik dengan tangan atau dengan handuk, fungsinya sama-sama meratakan dan mengeringkan badan. Kesimpulannya, boleh menyeka badan setelah selesai mandi. Wallahu a’lam.

Leave a Comment