Fatwapedia.com – Hak istri artinya segala sesuatu yang berhak diberikan oleh suami kepada istrinya. Adapun hak yang dimaksud meliputi materi, seperti mahar dan nafkah, dan hak non-materi seperti perhatian dan kasih sayang. Berikut ini 16 hak istri yang dikutip dari kitab Shahih Fiqh Sunnah akrya Abu Kamal.
1. Hak Mendapat Pergaulan Yang Baik Dari Suami.
Maksudnya adalah seorang suami berkewajiban mempergauli istrinya dengan baik, tidak menyakitinya, dan tidak menunda-nunda memberi haknya padahal mampu, serta berkewajiban menampakkan kegembiraan, keceriaan, dan ketertarikan di hadapannya.
Landasan utama hak ini adalah firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚۚ
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” [An Nisa: 19]
Demikian pula, firman-Nya:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚۚ
“Dan para istri itu mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.” [Surat al-Baqarah:228]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Orang terbaik dari kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah orang terbaik di antara kalian dalam berbuat baik kepada keluarga.” [At-Tirmidzi (3892) dan Ibnu Hibban (1312). Hadits ini shahih]
Perlakuan dan pergaulan yang baik adalah istilah yang universal yang menjadi pangkal seluruh hak-istri yang lain. Hak-hak istri yang akan kami sebutkan sesudahnya hanyalah bagian dari perlakuan dan pergaulan yang baik ini. Kami menyebutkannya secara terpisah di sini agar lebih diperhatikan. Di antara pergaulan yang baik tersebut adalah sebagai berikut.
2. Mendapat Nafkah Dengan Cara Yang Ma’ruf.
Maksud nafkah di sini adalah apa saja yang dinafkahkan oleh suami untuk istri dan anak-anaknya, berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya. Seorang suami wajib menafkahi istrinya berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, dan logika. [Ibnu ‘Abidin (III/886), al-Badai‘ (IV/15), Bidayah al-Mujtahid (II/94), Mughni al-Muhtaj (III/426), al-Mughni (VII/563), dan Raudhah ath-Thalibin (IX/40).]
Dasarnya Dari Al-Qur’an, Antara Lain:
1. Firman Allah Subhanahu wata’ala:
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا
“Hendaklah orang yang memiliki kelapangan harta memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar yang Allah berikan kepadanya.” [Surat ath-Thalaq: 7]
2. Firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” [Surat al-Baqarah:233]
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata, “Artinya, wajib bagi ayah si anak untuk memberi nafkah dan pakaian kepada ibu si anak dengan cara yang ma’ruf, sebagaimana yang biasa berlaku di kalangan mereka, tanpa bersikap berlebih-lebihan maupun menyepelekan, sesuai dengan kemampuannya saat memiliki harta yang banyak, sedang, atau pun sedikit.”
Dasarnya Dari as-Sunnah:
Hadits Jabir radhiallahu ‘anhu mengenai tata cara haji Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di dalamnya disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اتَّقُوا اللهَ فِي النِّسَاءِ، فَإِنَّهُنَّ عَوَانٌ عَنْدَكُمْ، أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانَةِ اللهِ، وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Bertakwalah kalian dalam masalah perempuan. Sebab, mereka itu ibarat tawanan di sisi kalian. Kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah. Kalian halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Oleh karena itu, mereka memiliki hak atas kalian untuk mendapat nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.” [Shahih. Hadits Riwayat: Muslim (1218)]
3. Hadits Mu‘awiyah al-Qusyairi radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Wahai Rasulullah, apa hak istri atas suaminya?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
تُطْعِمُهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
‘Kamu memberinya makan jika kamu makan, kamu memberinya pakaian jika kamu berpakaian, kamu jangan memukul wajahnya, jangan mencaci makinya, dan jangan meninggalkannya kecuali di dalam rumah.” [Hasan. Hadits Riwayat: Abu Daud (2142), Ibnu Majah (1850), Ahmad (IV/447), dan an-Nasa’i di dalam al-Isyrah (269)]
4. Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Hindun binti ‘Utbah radhiallahu ‘anha berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan laki-laki yang pelit. Dia tidak memberi nafkah kepadaku dan anakku kecuali jika aku mengambilnya sendiri tanpa sepengetahuannya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda,
خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah dari hartanya sekadar apa yang mencukupi dirimu dan anakmu.” [Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (5364) dan Muslim (1714)]
Berdasarkan ijma’, maka banyak ulama yang menyebutkan kesepakatan mereka tentang wajibnya suami –jika dia telah balig– memberi nafkah kepada istrinya, kecuali istri yang melakukan nusyuz.
Berdasarkan Logika, adalah mengingat bahwa seorang istri terikat dengan suaminya sehingga dia tidak bisa beraktifitas dan bekerja untuk mencari harta bagi dirinya sendiri karena harus fokus melaksanakan kewajibannya kepada suami, maka adalah logis jika suami berkewajiban memberi nafkah kepada istri.
Mengapa Suami Wajib Memberi Nafkah pada Istri?
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa faktor yang menyebabkan suami wajib memberi nafkah kepada istri adalah karena istri terikat dengan suami. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa sebabnya adalah karena statusnya sebagai seorang istri. [Al-Badai‘ (IV/16), Mughni al-Muhtaj (III/425), dan al-Mughni (VII/564)]
Syarat-Syarat Wajib Memberi Nafkah
Jumhur ulama telah menentukan sejumlah syarat agar kewajiban memberi nafkah berlaku pada diri suami, baik sebelum terjadinya persetubuhan dengan istri maupun sesudahnya. [Al-Badai‘ (IV/18), Mughni al-Muhtaj (III/435), al-Mughni (VII/601), dan Bidayah al-Mujtahid (II/94)]
Syarat-Syarat Wajib Nafkah Sebelum Terjadi Persetubuhan
1. Hendaknya istri memberi suami kesempatan untuk bersetubuh dengannya, yaitu setelah terjadi akad nikah, istri mengajak suami untuk bersetubuh dengannya. Jika istri tidak melakukan hal itu atau malah menolaknya tanpa alasan yang dibenarkan, maka suami tidak berkewajiban memberinya nafkah.
2. Hendaknya istri mampu berhubungan seksual, yaitu hendaknya dia bukan anak kecil, atau ada sesuatu pada dirinya yang membuatnya tidak bisa berhubungan seksual.
3. Hendaknya pernikahan mereka adalah pernikahan yang sah. Jika pernikahan mereka pernikahan yang fasid (rusak), maka suami tidak berkewajiban memberi nafkah kepada istri, dan tidak mungkin pula menganggap istri telah terikat dengan suami karena dengan rusaknya pernikahan tersebut tamkin istri (kesempatan yang diberikan istri kepada suami untuk bersetubuh dengannya) menjadi tidak sah, dan suami tidak berhak mendapatkan apa yang menjadi imbalan dari tamkin tersebut menurut kesepakatan ulama.
Syarat-Syarat Wajib Nafkah Sesudah Terjadi Persetubuhan
1. Hendaknya suami memiliki kelapangan harta. Jika suami tidak punya banyak harta sehingga tidak mampu memberi nafkah, maka tidak ada kewajiban baginya memberi nafkah selama belum punya harta. Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala:
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚۚ
“Hendaklah orang yang memiliki kelapangan harta memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar yang Allah berikan kepadanya.” [Surat ath-Thalaq:7]
2. Hendaknya istri terikat dengan suami (bukan istri yang berbuat nusyuz). Jika istri tidak mau menaati suami, maka tidak ada nafkah untuknya.
Catatan tambahan: Apakah Istri Yang Bekerja Atau Berkarir Berhak Mendapat Nafkah?
Jika istri bekerja di luar rumah, dengan pekerjaan yang mubah, atas persetujuan dan kerelaan suami, maka dia berhak mendapat nafkah karena keterikatan istri kepada suami adalah hak suami dan suami berhak melepaskan hak tersebut.
Sebaliknya, jika istri tetap memilih keluar rumah untuk bekerja padahal suami tidak rela dan melarangnya keluar rumah, maka haknya untuk mendapat nafkah gugur karena keterikatannya (pengabdiannya) kepada suami tidak sempurna. [Ibnu ‘Abidin (II/891)]
Berapa Kadar Nafkah yang Wajib diberikan?
Landasan utama dalam masalah ini adalah firman Allah Subhanahu wata’ala:
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ ۖۖ
“Hendaklah orang yang memiliki kelapangan harta memberi nafkah menurut kemampuannya.” [Surat ath-Thalaq: 7]
Dan firmannya:
عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ
“Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula).” [Surat al-Baqarah: 236]
Serta sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Hindun:
خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah dari hartanya sekadar apa yang mencukupi dirimu dan anakmu.”
Dengan demikian, yang jadi ukuran adalah:
1. Pemberian yang memadai bagi istri dan anak. Ini tentunya berbeda-beda berdasarkan perbedaan kondisi, tempat, dan waktu.
2. Kemampuan dan kelapangan suami.
Para ahli fiqih rahimahumullah telah membahas secara panjang lebar tentang penentuan kadar yang wajib dalam nafkah, dan mereka merinci hal itu dengan pendapat-pendapat yang menurut kami dibangun dengan mengacu pada kebiasaan yang berlaku pada masa mereka. [Lihat: al-Badai‘ (IV/23), Ibnu ‘Abidin (II/886), al-Qawanin al-Fiqhiyyah (halaman 221), Bidayah al-Mujtahid (II/95), Mughni al-Muhtaj (III/426), dan al-Mughni (VII/564-571)]
Demikian pula halnya, mereka bersilang pendapat dalam masalah nafkah: apakah yang jadi ukuran dalam masalah itu kondisi suami, kondisi istri atau kondisi keduanya? Pendapat yang shahih yang didukung oleh dalil-dalil al-Qur’an yang telah disebutkan di atas adalah pendapat yang menyatakan bahwa ukuran dalam menentukan status lapang atau sempit harta adalah kondisi suami. Dan ini adalah pendapat Malikiyah dan Syafi‘iyah. [Syarh ash-Shaghir (II/731 dan sesudahnya) dan al-Mughni (VII/564-571)]
Apakah Suami Berkewajiban Menanggung Biaya Pengobatan dan Perawatan Istri?
Imam yang Empat berpendapat bahwa suami tidak berkewajiban menanggung biaya pengobatan dan perawatan istri! [Ibnu ‘Abidin (II/889), ad-Dasuqi (II/511), Mughni al-Muhtaj (III/431), dan Kasyf al-Qana‘ (V/536)] Hanya saja, tampaknya dasar dari pendapat tersebut adalah karena pengobatan pada masa lalu bukan termasuk kebutuhan primer dan tidak banyak dibutuhkan. “Adapun masa sekarang, kebutuhan kepada pengobatan sudah seperti kebutuhan kepada makanan, bahkan lebih penting. Sebab, orang yang sakit biasanya akan lebih mengutamakan pengobatan penyakitnya (kesehatan) dari apapun juga. Bagaimana mungkin orang yang sakit bisa menikmati makanannya sementara dia terus-menerus mengeluh dan merasakan kesakitan karena penyakit yang menderanya bahkan mengancam nyawanya?
Oleh karena itu, kami memandang seorang suami tetap berkewajiban menanggung biaya pengobatan istrinya sebagaimana biaya-biaya penting tak terduga lainnya dan sebagaimana wajibnya seorang ayah menanggung biaya pengobatan anaknya menurut kesepakatan para ulama. Bagaimana mungkin dikatakan termasuk pergaulan yang baik jika suami menikmati istrinya saat sehat tetapi mengembalikannya kepada keluarganya untuk diobati saat sakit!? [Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah az-Zuhaili (VII/794-795)]
3. Memberi Pakaian Dengan Cara Yang Ma’ruf.
Para ulama telah berijma’ bahwa suami berkewajiban memberi pakaian kepada istri jika istri telah mengabdikan dirinya kepada suami dengan cara yang diwajibkan kepadanya. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚۚ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.” [Surat al-Baqarah:233]
Dan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Jabir yang lalu:
وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Mereka (para istri) memiliki hak atas kalian untuk mendapat nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.” [Shahih. Hadits Riwayat: Muslim (1218)
Alasan lainnya adalah karena pakaian terus-menerus dibutuhkan, maka suami pun tetap harus memberikannya sebagaimana halnya nafkah.
Kemudian, para ulama tersebut juga berijma’ bahwa pakaian yang diberikan haruslah memenuhi kebutuhan istri di mana kebutuhan tersebut berbeda-beda berdasarkan perbedaan panjang-pendek dan gemuk-kurusnya tubuh istri, dan berdasarkan perbedaan iklim negara di mana istri menetap dalam hal panas dan dinginnya. [Al-Badai‘ (IV/24), Ibnu ‘Abidin (II/645-654), Jawahir al-Iklil (I/403), dan Raudhah ath-Thalibin(IX/47)]
Catatan tambahan: Jika Seorang Suami Memberi Pakaian Kepada Istrinya, Lalu Mentalaknya, Atau Dia Atau Istri Meninggal Sebelum Pakaian Itu Rusak, Maka Bolehkah Suami Memintanya Kembali?
Jika istri menerima nafkah yang wajib diberikan suami kepadanya, kemudian suami mentalaknya, atau suami meninggal, atau dia sendiri meninggal, maka suami atau ahli warisnya tidak boleh meminta kembali nafkah tersebut menurut pendapat yang paling shahih dari dua pendapat di kalangan ulama. Ini adalah pendapat Hanafiyah dan Malikiyah, serta yang paling shahih di kalangan Syafi‘iyah dan salah satu pendapat di kalangan Hanabilah. [Ibnu ‘Abidin (II/660), Jauhar al-Iklil (I/404), Raudhah ath-Thalibin (IX/55), dan al-Mughni (VII/572)]
Alasannya karena suami memberi pakaian itu untuk memenuhi kewajibannya kepada istri, dan dia menyerahkan pakaian itu kepada istri setelah kewajiban memberi pakaian itu berlaku pada dirinya. Karena itu, suami tidak memiliki hak untuk memintanya kembali.
Selain itu, pakaian adalah sarana sehingga menyerupai hibah, dan hibah tidak boleh diminta kembali setelah kematian pemberi atau penerima hibah.
4. Memberi Tempat Tinggal Dengan Cara Yang Ma’ruf.
Ini adalah kewajiban suami kepada istri menurut kesepakatan ulama. Alasannya:
a. Karena Allah Subhanahu wata’ala telah memberi kepada istri yang tertalak raj‘ihak untuk mendapat tempat tinggal dari suaminya, maka kewajiban memberi tempat tinggal kepada istri yang masih terikat pernikahan tentulah jauh lebih utama.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian.” [Surat ath-Thalaq:6]
b. Karena Allah Subhanahu wata’ala telah mewajibkan suami dan istri untuk saling bergaul dengan baik lewat firman-Nya:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚۚ
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.”[Surat an-Nisa’:19]
Di antara bentuk pergaulan secara patut yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala adalah menempatkan istri di tempat tinggal yang aman bagi istri dan hartanya.
c. Karena istri membutuhkan tempat tinggal untuk menutupi dirinya dari pandangan orang lain, dan sebagai tempat bersenang-senang dan tempat menyimpan hartanya, maka tempat tinggal menjadi hak istri atas suaminya. [Al-Badai‘ (IV/15), Tuhfah al-Muhtaj (VII/443), dan al-Furu‘ karya Ibnu Muflih (V/577)]
Kriteria Tempat Tinggal Yang Syar‘i
Ukuran bagi tempat tinggal yang syar‘i untuk istri adalah kondisi keuangan suami dan kondisi istri, sebagai kias kepada nafkah dengan pertimbangan bahwa tempat tinggal dan nafkah adalah dua hak istri yang menjadi konsekuensi dari akad nikah.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian.”
Dan firman-Nya:
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا
“Hendaklah orang yang memiliki kelapangan harta memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar yang Allah berikan kepadanya.” [Surat ath-Thalaq:7]
Karena nafkah yang wajib adalah yang sesuai dengan kadar kondisi keuangan pemberi nafkah dalam hal banyak, sedang, dan sedikitnya harta yang dia miliki, maka demikian pula halnya dengan tempat tinggal. Ini adalah pendapat jumhur ulama.
Sedangkan Syafi‘iyah berpendapat bahwa patokan dalam hal tempat tinggal yang syar‘i adalah kondisi istri saja, terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan mereka tentang nafkah.
Mereka berargumen bahwa karena istri diharuskan untuk selalu tetap tinggal di dalam rumah, maka tidak mungkin istri menggantinya. Jika kondisi istri tidak jadi pertimbangan, maka itu akan membahayakan dirinya, sementara bahaya terlarang dalam syari‘at. Adapun nafkah, maka istri masih mungkin menggantinya. [Al-Bujairimi ‘ala al-Manhaj (II/102) dan Mughni al-Muhtaj (III/432)]
Penulis berkata: Pendapat jumhur ulama lebih utama untuk diterima berdasarkan ayat-ayat di atas. Wallahu a‘lam.
Beberapa Catatan tambahan:
1. Menempatkan Istri Bersama Keluarga Suami Dalam Satu Tempat Tinggal.
Maksud keluarga suami di sini adalah kedua orang tua suami dan anak-anaknya dari istri yang lain. Lihat Al-Badai‘ (IV/24), Hasyiyah ad-Dasuqi (II/474), dan Mughni al-Muhtaj (III/430)
Jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi‘iyah, dan Hanabilah berpendapat tidak boleh menempatkan kedua orang tua –atau kerabat suami yang lain– dan istri dalam satu tempat tinggal yang sama. Istri berhak menolak untuk tinggal di tempat tinggal yang sama dengan orang tua suami, kecuali jika dia sendiri yang menghendakinya. Sebab, tempat tinggal termasuk di antara hak-hak istri. Suami tidak berhak menempatkan orang lain bersama istri di dalamnya. Di samping itu, menempatkan mereka bersama istri bisa membuat istri merasa kesusahan.
Adapun ulama Malikiyah, mereka membedakan antara istri yang berasal dari keluarga terpandang (syarifah) dengan yang berasal dari keluarga biasa (wadhi‘ah). Mereka melarang menyatukan istri dari keluarga terpandang dengan kedua orang tua dalam satu tempat tinggal, dan membolehkannya untuk istri dari keluarga biasa selama tidak membuat susah si istri.
Adapun menempatkan istri dalam satu tempat tinggal bersama anak-anak tirinya, maka jika anak-anak tersebut telah besar dan telah paham arti persetubuhan, maka ulama sepakat tidak membolehkannya karena dapat menyebabkan kesusahan bagi istri, kecuali jika istri membolehkannya karena tempat tinggal adalah haknya dan dia boleh melepaskan hak tersebut.
Sedangkan jika si anak masih kecil dan belum paham arti persetubuhan, maka boleh menempatkannya bersama istri. Dia tidak berhak menolak untuk tinggal bersama anak tirinya tersebut.
2. Keluarga Istri Ikut Tinggal Bersama Suami.
Istri tidak berhak mengajak seorang pun dari mahramnya untuk tinggal bersamanya di rumah suaminya. Suami berhak melarang istri melakukan hal itu. Lain halnya jika suami rela, maka tidak masalah. (Al-Bahr ar-Raiq (IV/210), Nihayah al-Muhtaj (VII/597), dan Kasyf al-Qana‘ (III/117).
Adapun anak bawaan istri dari bekas suaminya, maka menurut jumhur ulama, istri tidak boleh mengajaknya tinggal bersama tanpa kerelaan suami. Ulama Malikiyah membatasi larangan tersebut dengan ketentuan jika saat menikah, suami mengetahui keberadaan anak tersebut. Jika suami mengetahuinya, sementara si anak tidak ada yang mengasuh, maka menurut Malikiyah, suami tidak berhak melarang istri mengajaknya tinggal bersama.
3. Bolehkah Menempatkan Istri-Istri Dalam Satu Rumah?
Para ahli fiqih bersepakat bahwa suami tidak boleh menempatkan istri-istrinya dalam satu rumah yang sama karena hal itu bukan termasuk bentuk pergaulan yang baik dan bisa memicu permusuhan yang dilarang oleh syariat. Selain itu, persetubuhan suami dengan istri yang lain bisa saja terdengar atau terlihat oleh istri-istrinya yang lain sehingga bisa menimbulkan rasa permusuhan dan kecemburuan di antara istri-istri tersebut. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, karena larangan menempatkan dua istri (atau lebih) dalam satu rumah itu merupakan murni hak mereka, maka bisa saja larangan itu tidak berlaku jika keduanya rela. [Fath al-Qadir (IV/207), Mawahib al-Jalil (IV/13), Nihayah al-Muhtaj (VII/186), Kasyf al-Qana‘(V/196), dan al-Furu‘ (V/324)]
Penulis berkata: Pada asalnya, yang seharusnya dilakukan adalah memberikan rumah kepada masing-masing istri sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَن يُؤْذَنَ لَكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kalian diizinkan.” [Surat al-Ahzab:53]
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wata’ala menyebut buyut (rumah-rumah) dan bukanbait (satu rumah). Akan tetapi, jika para istri tersebut rela ditempatkan dalam satu rumah, maka suami boleh melakukannya karena itu adalah hak para istri dan mereka boleh mengabaikannya. Wallahu a‘lam. [Lihat kitab saya, Fiqh as-Sunnah li an-Nisa’, (halaman 440) terbitan at-Taufiqiyah]
Catatan Penting: Insya Allah, akan datang nanti penjelasan lebih lanjut mengenai nafkah dan tempat tinggal dalam bab-bab tentang masa ‘iddah istri yang tertalak.
4. Bersikap Lembut Kepada Istri, Mencandainya, Dan Memaklumi Usia Mudanya.
Para suami telah memiliki teladan dalam hal ini pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata, “Orang-orang Habasyah pernah berlatih (dengan tombak-tombak kecil mereka). Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menutupiku, sementara aku menonton mereka. Aku terus menonton mereka hingga aku sendiri yang berpaling (karena bosan). Maka, kalian harusnya bisa memaklumi gadis kecil masih belia yang masih senang bermain.” [Al-Bukhari (5190) dan Muslim (892)]
Begitu pula, dengan kisah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajak Aisyah radhiallahu ‘anha berlomba lari. Beliau berkata kepadanya, “Ayo kita berlomba.”Ternyata Aisyah bisa mengalahkan beliau. Kemudian beliau kembali mengajak Aisyah berlomba setelah tubuhnya mulai gemuk. Beliau pun mengalahkannya lalu tertawa seraya berkata, “Kemenanganku kali ini untuk menebus kekalahanku dahulu.” [Musnad Ahmad (VI/264) dengan sanad yang shahih]
Aisyah radhiallahu ‘anha juga berkata, “Dahulu aku biasa bermain boneka [dari kain katun] di dekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku punya teman-teman perempuan yang ikut main bersamaku. Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam masuk, mereka biasanya langsung bersembunyi (di balik tirai) dari beliau. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil mereka untuk bergabung dan bermain bersamaku.” [Al-Bukhari (6130) dan Muslim (2440)]
Kelembutan seperti apa lagi yang bisa mengalahkan kelembutan beliau kepada istrinya? [Fiqh at-Ta‘amul bain az-Zaujain karya syaikh kami, Musthafa al-‘Adawi, semoga Allah Subhanahu wata’ala membalas kebaikannya, (halaman 41)]
5. Mengobrol Bersama Istri, Bercakap-Cakap Dengannya Dan Mendengarkan Ceritanya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah duduk mendengarkan cerita istrinya, Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha, tentang percakapan sejumlah perempuan yang sedang duduk mengobrol dan saling berjanji untuk tidak menyembunyikan cerita apapun tentang diri suami-suami mereka. Ini adalah cerita tentang Ummu Zara‘, suatu cerita yang panjang, akan tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bosan mendengarkan Aisyah mengisahkannya.
Berikut ini penulis sebutkan hadits tentang cerita itu dengan beberapa pelajaran di dalamnya.[ Fiqh at-Ta‘amul bain az-Zaujain (halaman 53-55). Sedangkan haditsnya adalah riwayat al-Bukhari (5189) dan Muslim (2448)]
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: جَلَسَ إِحْدَى عَشْرَةَ امْرَأَةً، فَتَعَاهَدْنَ وَتَعَاقَدْنَ أَنْ لاَ يَكْتُمْنَ مِنْ أَخْبَارِ أَزْوَاجِهِنَّ شَيْئًا، قَالَتِ الأُولَى: زَوْجِي لَحْمُ جَمَلٍ غَثٍّ، عَلَى رَأْسِ جَبَلٍ: لاَ سَهْلٍ فَيُرْتَقَى وَلاَ سَمِينٍ فَيُنْتَقَلُ، قَالَتِ الثَّانِيَةُ: زَوْجِي لاَ أَبُثُّ خَبَرَهُ، إِنِّي أَخَافُ أَنْ لاَ أَذَرَهُ، إِنْ أَذْكُرْهُ أَذْكُرْ عُجَرَهُ وَبُجَرَهُ، قَالَتِ الثَّالِثَةُ: زَوْجِيَ العَشَنَّقُ، إِنْ أَنْطِقْ أُطَلَّقْ وَإِنْ أَسْكُتْ أُعَلَّقْ، قَالَتِ الرَّابِعَةُ: زَوْجِي كَلَيْلِ تِهَامَةَ، لاَ حَرٌّ وَلاَ قُرٌّ، وَلاَ مَخَافَةَ وَلاَ سَآمَةَ، قَالَتِ الخَامِسَةُ: زَوْجِي إِنْ دَخَلَ فَهِدَ، وَإِنْ خَرَجَ أَسِدَ، وَلاَ يَسْأَلُ عَمَّا عَهِدَ، قَالَتِ السَّادِسَةُ: زَوْجِي إِنْ أَكَلَ لَفَّ، وَإِنْ شَرِبَ اشْتَفَّ، وَإِنِ اضْطَجَعَ التَفَّ، وَلاَ يُولِجُ الكَفَّ لِيَعْلَمَ البَثَّ. قَالَتِ السَّابِعَةُ: زَوْجِي غَيَايَاءُ – أَوْ عَيَايَاءُ – طَبَاقَاءُ، كُلُّ دَاءٍ لَهُ دَاءٌ، شَجَّكِ أَوْ فَلَّكِ أَوْ جَمَعَ كُلًّا لَكِ، قَالَتِ الثَّامِنَةُ: زَوْجِي المَسُّ مَسُّ أَرْنَبٍ، وَالرِّيحُ رِيحُ زَرْنَبٍ، قَالَتِ التَّاسِعَةُ: زَوْجِي رَفِيعُ العِمَادِ، طَوِيلُ النِّجَادِ، عَظِيمُ الرَّمَادِ، قَرِيبُ البَيْتِ مِنَ النَّادِ، قَالَتِ العَاشِرَةُ: زَوْجِي مَالِكٌ وَمَا مَالِكٌ، مَالِكٌ خَيْرٌ مِنْ ذَلِكِ، لَهُ إِبِلٌ كَثِيرَاتُ المَبَارِكِ، قَلِيلاَتُ المَسَارِحِ، وَإِذَا سَمِعْنَ صَوْتَ المِزْهَرِ، أَيْقَنَّ أَنَّهُنَّ هَوَالِكُ، قَالَتِ الحَادِيَةَ عَشْرَةَ: زَوْجِي أَبُو زَرْعٍ، وَمَا أَبُو زَرْعٍ، أَنَاسَ مِنْ حُلِيٍّ أُذُنَيَّ، وَمَلَأَ مِنْ شَحْمٍ عَضُدَيَّ، وَبَجَّحَنِي فَبَجِحَتْ إِلَيَّ نَفْسِي، وَجَدَنِي فِي أَهْلِ غُنَيْمَةٍ بِشِقٍّ، فَجَعَلَنِي فِي أَهْلِ صَهِيلٍ وَأَطِيطٍ، وَدَائِسٍ وَمُنَقٍّ، فَعِنْدَهُ أَقُولُ فَلاَ أُقَبَّحُ، وَأَرْقُدُ فَأَتَصَبَّحُ، وَأَشْرَبُ فَأَتَقَنَّحُ، أُمُّ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا أُمُّ أَبِي زَرْعٍ، عُكُومُهَا رَدَاحٌ، وَبَيْتُهَا فَسَاحٌ، ابْنُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا ابْنُ أَبِي زَرْعٍ، مَضْجَعُهُ كَمَسَلِّ شَطْبَةٍ، وَيُشْبِعُهُ ذِرَاعُ الجَفْرَةِ، بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ، طَوْعُ أَبِيهَا، وَطَوْعُ أُمِّهَا، وَمِلْءُ كِسَائِهَا، وَغَيْظُ جَارَتِهَا، جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ، لاَ تَبُثُّ حَدِيثَنَا تَبْثِيثًا، وَلاَ تُنَقِّثُ مِيرَتَنَا تَنْقِيثًا، وَلاَ تَمْلَأُ بَيْتَنَا تَعْشِيشًا، قَالَتْ: خَرَجَ أَبُو زَرْعٍ وَالأَوْطَابُ تُمْخَضُ، فَلَقِيَ امْرَأَةً مَعَهَا وَلَدَانِ لَهَا كَالفَهْدَيْنِ ، يَلْعَبَانِ مِنْ تَحْتِ خَصْرِهَا بِرُمَّانَتَيْنِ، فَطَلَّقَنِي وَنَكَحَهَا، فَنَكَحْتُ بَعْدَهُ رَجُلًا سَرِيًّا، رَكِبَ شَرِيًّا، وَأَخَذَ خَطِّيًّا، وَأَرَاحَ عَلَيَّ نَعَمًا ثَرِيًّا، وَأَعْطَانِي مِنْ كُلِّ رَائِحَةٍ زَوْجًا، وَقَالَ: كُلِي أُمَّ زَرْعٍ وَمِيرِي أَهْلَكِ، قَالَتْ: فَلَوْ جَمَعْتُ كُلَّ شَيْءٍ أَعْطَانِيهِ، مَا بَلَغَ أَصْغَرَ آنِيَةِ أَبِي زَرْعٍ، قَالَتْ عَائِشَةُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُنْتُ لَكِ كَأَبِي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ»
Aisyah radhiallahu ‘anha bercerita: “Ada sebelas orang perempuan yang duduk-duduk mengobrol lalu saling berjanji sesama mereka untuk tidak menyembunyikan sedikit pun cerita tentang (suami-suami) mereka.
Perempuan pertama berkata, “Suamiku adalah seperti daging unta yang kurus kering di atas puncak suatu gunung[1] yang tidak mudah[2] untuk didaki, sementara daging itu tidak gemuk sehingga layak dipindahkan.[3]
Perempuan kedua berkata, “Suamiku? Aku tidak akan menyebarluaskan seluk-beluk dirinya karena aku khawatir tidak akan bisa berhenti menceritakannya. Jika pun aku harus menyebutkannya, aku akan menyebut ‘ujar dan bujar-nya[4] sekaligus.”
Perempuan ketiga berkata, “Suamiku laki-laki yang jangkung.[5] Jika aku berbicara, aku akan diceraikannya. Tetapi jika aku diam saja, aku digantungnya.[6]”
Perempuan keempat berkata, “Suamiku itu bagaikan waktu malam di Tihamah.[1]Tidak panas, tidak pula dingin. Tidak menakutkan dan tidak membosankan.[2]”
Perempuan kelima berkata, “Suamiku jika masuk rumah, bertingkah seperti fahd(macan)[3], tetapi jika keluar, seperti asad (singa)[4]. Tidak pernah menanyakan apa yang dia ketahui.[5]”
Perempuan keenam berkata, “Suamiku jika makan, maka akan memakan semuanya.[6] Jika dia minum, maka akan menghabiskan seluruhnya.[7] Tetapi jika tidur, maka akan berselimut sendirian,[1] dan tidak mau memasukkan tangannya untuk mengetahui kesedihanku.[2]”
Perempuan ketujuh berkata, “Suamiku seorang yang ghayaya’ –atau: ‘ayaya’–[3] lagithabaqa’[4]. Semua penyakit/keburukan ada padanya. Dia akan memukul kepalamu hingga pecah[5] atau memukul tubuhmu hingga memar[6] atau melakukan kedua-duanya kepadamu.”
Perempuan kedelapan berkata, “Suamiku itu menyentuhnya seperti menyentuh kelinci[7], dan baunya seperti bau zarnab[8].”
Perempuan kesembilan berkata, “Suamiku orang yang tinggi tiang-tiang rumahnya[9], panjang sarung pedangnya[10], banyak abu tungkunya[11], dan rumahnya dekat dengan balai pertemuan[12].”
Perempuan kesepuluh berkata, “Suamiku Malik[13]. Dan siapakah Malik? Malik lebih baik dari semua itu.[14] Dia memiliki unta-unta. Banyak yang tetap di tempat menderumnya dan sedikit yang dilepas ke padang rumput.[1] Jika unta-unta itu mendengar suara miz-har[2], maka mereka yakin bahwa mereka akan binasa.”
Perempuan kesebelas berkata, “Suamiku adalah Abu Zara‘. Siapakah Abu Zara‘? Dia membuat kedua telingaku bergoyang-goyang karena perhiasan yang banyak[3], memenuhi kedua lengan atasku dengan lemak[4], dan membuatku gembira maka jiwaku pun gembira[5]. Dia menemukanku di tengah-tengah keluarga penggembala kambing-kambing kurus di suatu syaq[6], lalu dia jadikan aku berada di tengah-tengah keluarga pemilik ringkikan[7], lenguhan[8], tebahan[9], dan kicauan[10].
Di sisinya aku bisa bebas bicara tanpa dicela[11], bisa tidur hingga pagi[12], dan minum hingga puas[13].
Ibu Abu Zara‘. Siapakah ibu Abu Zara‘? Tempat perabotannya[14] sangat besar[15] dan rumahnya sangat luas.
Anak laki-laki Abu Zara‘. Siapakah anak laki-laki Abu Zara‘? Tempat tidurnya seperti kayu yang dilepas dari anyaman tikar[1], dan dia bisa dikenyangkan hanya dengan sepotong lengan anak kambing[2].
Anak perempuan Abu Zara‘. Siapakah anak perempuan Abu Zara‘? Dia perempuan yang patuh kepada ayah bundanya, montok tubuhnya[3], dan membuat marah jarah-nya[4].
Budak perempuan Abu Zara‘. Siapakah budak perempuan Abu Zara‘? Dia tidak akan pernah tega menyebarkan[5] rahasia kami, tidak mengeluarkan[6] warisan kami[7], dan tidak memenuhi rumah kami dengan kotoran[8].”
Selanjutnya dia berkata, “Suatu ketika Abu Zara‘ keluar rumah saat bejana-bejana berisi susu diaduk.[9] Kemudian dia bertemu dengan seorang perempuan yang sedang bersama dua orang anak laki-lakinya yang seperti dua ekor harimau[10]. Kedua anak itu sedang bermain-main di bawah pinggang ibunya dengan dua buah delima[11]. Maka Abu Zara‘ pun menceraikanku dan menikahi perempuan itu. Kemudian setelah bercerai dengannya, aku menikah dengan seorang laki-laki yang mulia[12] yang menunggang kuda balap pilihan[1]. Dengan membawa suatu Khaththi[2], dia pergi ke kandang ternak[3] lalu kembali kepadaku dengan membawa banyak sekali hewan ternak[4] dan memberiku untuk setiap kali pergi[5] sepasang hewan yang disembelih. Dia berkata, “Makanlah, Ummu Zara‘, dan beri makanlah[6] keluargamu.” Ummu Zara‘ berkata, “Kalau aku kumpulkan semua yang pernah dia berikan kepadaku, maka itu tidak akan menyamai bejana terkecil yang diberikan Abu Zara‘. [Hadits Muslim Nomor 4481]”
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُنْتُ لَكِ كَأَبِي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ
“Aku ini bagimu seperti Abu Zara‘ bagi Ummu Zara‘.”[HR Tabrani: 23/173)]
Penjelasan hadits ini bisa disimak pada artikel ini;
Klik disini
Baca juga: Hak-Hak Istri Atas Suami Dalam Islam (Bag. 2)