Hak-Hak Istri Atas Suami Dalam Islam (Bag. 2)


Fatwapedia.com – Berikut ini lanjutan hak-hak istri atas suami bagian kedua. Untuk bagian pertama bisa dibaca pada artikel ini Hak-hak Istri Atas Suami. Selamat menyimak.

7. Mengajarkan Ilmu Agama Kepada Istri Dan Menganjurkannya Untuk Selalu Taat Kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Sebagaimana halnya suami dituntut untuk mempergauli istri dengan baik –yang berarti dia harus bersikap lembut kepada istri dengan cara-cara yang telah disebutkan di atas–, maka dia pun dituntut untuk tidak ragu-ragu dan bosan mengajari istri perkara-perkara agama dan mendorongnya untuk selalu taat kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Surat at-Tahrim 6)
Dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, dia berkata, “Pada suatu malam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terbangun lalu bersabda,
سُبْحَانَ اللَّهِ، مَاذَا أُنْزِلَ اللَّيْلَةَ مِنْ الْفِتَنِ، وَمَاذَا فُتِحَ مِنْ الْخَزَائِنِ، أَيْقِظُوا صَوَاحِبَاتِ الْحُجَرِ، فَرُبَّ كَاسِيَةٍ فِي الدُّنْيَا عَارِيَةٍ فِي الْآخِرَةِ
“Subhanallah, fitnah apakah yang telah diturunkan pada malam ini? Perbendaharaan apakah yang telah dibuka? Bangunlah, wahai orang-orang yang ada di balik dinding (kamar-kamar)[2], karena betapa banyak orang hidup menikmati nikmat-nikmat dari Allah di dunia ini namun akan telanjang nanti di akhirat (tidak mendapatkan kebaikan).” [Shahih al-Bukhari (115)]
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى، وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ، وَرَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ، وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَصَلَّى، فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ
“Semoga Allah merahmati laki-laki yang bangun malam lalu shalat, kemudian membangunkan istrinya untuk shalat, dan bila istrinya menolak, dia percikkan air pada wajahnya. Dan semoga Allah juga merahmati perempuan yang bangun malam lalu shalat, kemudian membangunkan suaminya untuk shalat, dan bila suaminya menolak, dia percikkan air pada wajahnya.” [Musnad Ahmad (II/250) dengan sanad yang hasan]

8. Memaklumi Beberapa Kesalahan Istri Selama Bukan Pelanggaran Terhadap Syariat Allah Subhanahu Wata’ala.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan hal ini dengan sabdanya:
 لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika dia membenci salah satu akhlaknya, pastilah dia akan menyukai akhlaknya yang lain.” [Shahih Muslim (1469)]

9. Tidak Menyakitinya Dengan Memukul Wajahnya Atau Mencaci Makinya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
 … وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ …
“… dan janganlah kamu memukul wajahnya, dan jangan pula mencaci makinya …” [Abu Daud (2142), Ibnu Majah (1850), dan Ahmad (IV/447)]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
 لَا يَجْلِدُ أَحَدُكُمْ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ الْيَوْمِ
“Janganlah salah seorang dari kalian mencambuk istrinya seperti mencambuk budaknya lalu dia menggaulinya pada malam harinya.” [Al-Bukhari (4942) dan Muslim (2855)]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri bukan orang yang suka memukul istri-istrinya. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata, “Aku tidak pernah melihat sekalipun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memukul pembantunya dan tidak pula seorang perempuan. Beliau juga tidak pernah sekali pun memukul sesuatu dengan tangannya, kecuali saat berjihad di jalan Allah.” [Muslim (2328), at-Tirmidzi di dalam asy-Syamail (331), an-Nasa’i di dalam al-‘Isyrah (281), dan Ibnu Majah (1984)]
Catatan tambahan: Memukul istri disyariatkan jika dia nyata-nyata berbuat nusyuzdan tidak mau menaati suami. Tentunya dengan cara yang telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam firman-Nya:
 وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Perempuan-perempuan yang kalian khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka, dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka kembali menaatimu, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” [Surat an-Nisa’:34]
Ada tiga ketentuan di dalam bolehnya memukul istri, yaitu:
a. Hendaknya dilakukan setelah cara menasihati dan memisahkan di tempat tidur tidak lagi mempan bagi mereka.
b. Hendaknya pukulan yang dilakukan adalah pukulan yang mendidik, bukan pukulan yang melukai yang bisa melukai perasaan dan mematahkan tulang.
c. Hendaknya pukulan dihentikan jika istri telah melaksanakan ketaatan kepada suami.

10. Jika Pun Sampai Harus Melakukan Hajr (Memisahkan Di Tempat Tidur) Terhadap Dirinya, Hendaknya Hal Itu Hanya Dilakukan Di Dalam Rumah.

Di dalam hadits yang telah lalu disebutkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
 وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
“Dan janganlah kamu memukul wajahnya, jangan mencaci makinya, dan jangan meng-hajr (meninggalkan) dirinya kecuali di dalam rumah.”
Akan tetapi, jika memang ada kemaslahatan yang sesuai syariat dalam meng-hajr istri di luar rumah, maka tidak mengapa melakukannya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap istri-istrinya. Beliau pernah meng-hajr mereka di luar rumah selama sebulan. Akan datang penjelasannya nanti di pembahasan masalah Ila‘.

11. Menjaga Kesucian Dirinya.

Hendaknya suami memenuhi kebutuhan batiniah istri untuk menghindarkannya dari hal-hal yang haram. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing Utsman bin Mazh‘un untuk memenuhi hak istrinya saat melihatnya fokus menjalankan ibadah hingga meninggalkan hak batiniah istrinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya,
 وَإِنَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقّاً
“Dan sesungguhnya istrimu memiliki hak atas dirimu.” [Al-Bukhari (1977) dan Muslim (1159)]
Seorang suami berkewajiban menyetubuhi istrinya menurut pendapat yang paling kuat dari dua pendapat yang ada di kalangan ulama. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad. Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah memilih pendapat ini dan membatasi kewajiban tersebut sesuai dengan kebutuhan dan keperluan istri, serta sesuai dengan kemampuan suami. Jangan sampai persetubuhan tersebut merusak kesehatan badan suami dan membuatnya sibuk sehingga lalai dari mencari penghidupan. Adapun ketentuan-ketentuan lain berkaitan masalah tersebut yang disampaikan oleh sejumlah ahli fiqih, maka tidak bisa dijadikan patokan, seperti mengatakan bahwa persetubuhan yang wajib adalah sekali dalam empat bulan. Batasan yang benar adalah menurut kemampuan suami dan kebutuhan istri. (Ibnu ‘Abidin (III/202), al-Inshaf (VIII/354), Majmu‘ al-Fatawa (XXXII/271), dan al-Jami‘ li Ikhtiyarat Ibni Taimiyyah (II/643)

12. Memberikan Izin untuk Keperluan Ibadah dan yang Selain maksiat. 

Seorang suami hendaknya mengizinkan istri jika istri meminta izin keluar menghadiri shalat jamaah atau mengunjungi kerabat selama keadaan istri aman dari fitnah. Hal ini sudah dijelaskan di dalam Bab tentang Shalat.

13. Tidak Menyebarkan Rahasianya Dan Mengungkap Aibnya. 

Hendaknya suami menjaga rahasia istrinya dengan tidak menyebarkannya kepada orang lain. Poin ini telah disebutkan pula dalam pembahasan tentang hak-hak suami.

14. Berhias Untuk Istri Sebagaimana Istri Berhias Untuknya.

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Aku sangat senang jika berhias untuk istriku sebagaimana dia berhias untukku karena Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
 وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚۚ
‘Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” [Surat al-Baqarah: 228] [Isnadnya shahih. Hadits Riwayat: ath-Thabari di dalam tafsirnya (II/453), Ibnu Abi Syaibah (IV/196), dan al-Baihaqi (VII/295)]

15. Berbaik Sangka Kepada Istri.

(Lihat Fiqh at-Ta‘amul baina az-Zaujain (halaman 78-79)
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala:
 لَّوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنفُسِهِمْ خَيْرًا
“Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu, kaum mukminin dan mukminat tidak bersangka baik kepada diri mereka sendiri.” [Surat an-Nur:12]
Begitu pula, firman-Nya:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang.” [Surat al-Hujurat:12]
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
 إِذَا أَطَالَ أَحَدُكُمْ الْغَيْبَةَ فَلَا يَطْرُقْ أَهْلَهُ لَيْلًا
“Jika salah seorang dari kalian pergi agak lama, maka janganlah dia mendatangi istrinya secara mendadak di malam hari.” [Shahih. Al-Bukhari (5244). Telah berlalu takhrij-nya]
Pada saat yang bersamaan, di samping bersangka baik, suami hendaknya juga menjaga diri, berhati-hati dan menjauhkan diri dari faktor-faktor yang dapat menimbulkan kerusakan dan pelanggaran terhadap syariat.
Diceritakan bahwa tatkala sejumlah laki-laki dari Bani Hasyim masuk menemui Asma’ binti ‘Umais radhiallahu ‘anha –istri Abu Bakar radhiallahu ‘anhu–, Abu Bakar pun masuk (dan mendapati mereka), maka dia merasa kurang senang dengan hal itu. (Dia lalu melaporkan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) dan berkata, “Aku tidak melihat kecuali yang baik.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
 إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَرَّأَهَا مِنْ ذَلِكَ
“Sesungguhnya Allah telah menyatakan dirinya bersih dari hal-hal yang demikian.”
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam naik ke atas mimbar lalu bersabda,
 لَا يَدْخُلَنَّ رَجُلٌ بَعْدَ يَوْمِي هَذَا عَلَى مُغِيبَةٍ إِلَّا وَمَعَهُ رَجُلٌ أَوْ اثْنَانِ
“Sesudah hari ini, jangan lagi ada seorang laki-laki masuk ke rumah seorang perempuan yang sedang ditinggal pergi suaminya, kecuali bila laki-laki itu disertai seorang atau dua orang bersamanya.” [Shahih. Muslim (2173). Sudah pernah disebutkan sebelum ini]
Sisi pendalilan dari hadits ini adalah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menafikan adanya keburukan dari diri Asma’ binti ‘Umais dan bersangka baik kepadanya, akan tetapi di saat yang bersamaan beliau juga melarang laki-laki masuk menemui perempuan yang ditinggal pergi suaminya agar tidak memberi peluang kepada syaithan untuk menebar waswas dan keragu-raguan.

16. Bersikap Adil  Terhadap Semua Istri-istrinya

Jika seorang suami memiliki istri lebih dari satu, hendaknya bersikap adil dan tidak berat sebelah terhadap istri dengan madu-madunya dalam hal makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Akan datang pembahasannya setelah ini.
Demikian penjelasan tentang hak-hak istri atas suami. Semoga bermanfaat untuk kita semua. Aamin.

Leave a Comment