Fatwapedia.com – Kadang ada bahasan akademik yang tidak layak dibaca orang awam sebab mereka bisa menyalahgunakannya. Yang bisa dijadikan contoh adalah soal miras yang didiskusikan secara akademik di sebagian kalangan Hanafiyah versus hampir seluruh ulama lain. Singkatnya begini:
Nyaris seluruh ulama islam dari semua mazhab mendefinisikan istilah khamer sebagai seluruh jenis minuman memabukkan. Meskipun secara bahasa, pada awalnya istilah khamer hanya ditujukan pada perasan anggur saja (wine). Adapun miras yang dibuat dari selain anggur, maka orang Arab menyebutnya nabidz. Namun demikian, setelah Nabi Muhammad datang membawa syariat Pengharaman khamer, beliau juga membawa definisi baru terhadap khamer, yakni: كل مسكر خمر (semua yang memabukkan dialah khamer).
Definisi baru ini adalah definisi syariat yang mengubah definisi lama secara bahasa. Sama seperti istilah shalat pada awalnya adalah doa, namun oleh Nabi Muhammad diperkenalkan definisi baru yang bukan sekedar doa tetapi mencakup gerakan shalat yang kita kenal. Karena semua miras disebut khamer, maka otomatis semua jenis miras haram secara mutlak, baik banyak atau pun sedikit. Ini adalah pendapat nyaris seluruh ulama dari berbagai mazhab.
Namun demikian dalam ruang diskusi akademik, Imam Abu Hanifah dan sebagian Hanafiyah punya pendapat berbeda. Bagi mereka, yang disebut khamer tetaplah perasan anggur saja (wine), selain itu tetap dianggap nabidz sesuai definisi lama. Ada implikasi yang serius dari pilihan mereka ini, yakni: Nabidz hanya haram ketika sampai memabukkan (muskir), tetapi kalau sedikit tidak sampai mabuk berarti boleh. Dengan kata lain, miras selain wine baru berstatus khamer apabila ia diminum banyak sehingga membuat orang mabuk. Apabila hanya diminum sedikit saja, karena bukan khamer maka seharusnya tidak masalah.
Yang perlu dicatat dengan tinta tebal adalah: Perdebatan di atas terjadi dalam ruang diskusi akademik saja, bukan untuk dikonsumsi publik. Adapun dalam ranah fatwa yang bisa dipakai sebagai rujukan umum, maka ulama Hanafiyah menyatakan semua jenis miras haram baik sedikit atau banyak, sama seperti fatwa semua ulama lainnya.
Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah dan sekaligus gurunya Imam Syafi’i, dengan jelas memfatwakan hal tersebut dan menjadi fatwa resmi mazhab Hanafiyah belakangan. Dalam salah satu rujukan primer mazhab Hanafi disebutkan:
وحرمها محمد أي الأشربة المتخذة من العسل والتين ونحوهما، قاله المصنف مطلقا قليلها وكثيرها، وبه يفتى، ذكره الزيلعي وغيره واختاره شارح الوهبانية وذكر أنه مروي عن الكل
“Muhammad asy-Syaibani mengharamkan minuman keras yang dibuat dari madu, tin dan lainnya. Pengarang kitab berkata, haram secara mutlak baik sedikit atau banyak dan pendapat inilah yang difatwakan Hanafiyah. Yang menyatakan demikian adalah az-Zaila’i dan lain-lain. Fatwa ini juga dipilih oleh Komentator Kitab al-Wahbaniyah dan dia menyebut bahwa fatwa keharaman itu diriwayatkan dari semua tokoh. (ad-Durr al-Mukhtar)
Keterangan serupa juga dapat ditemui dalam kitab-kitab Hanafiyah lainnya. Lalu bagaimana dengan pendapat Abu Hanifah sendiri? Otomatis tidak dipakai sebagai fatwa tetapi hanya disimpan dalam ruang diskusi akademik yang sangat terbatas.
Lalu bagaimana bila ada yang memakai pendapat Imam Abu Hanifah itu, terutama di masa ini di mana sudah nyaris tak ada informasi yang bisa ditutupi dari publik, masak gak boleh? Eiitt…. Tak sesederhana itu, Bambang. Imam Abu Hanifah dan beberapa muridnya yang berpendapat boleh minum nabidz (miras selain wine) asalkan sedikit memberi syarat atas kebolehannya, yaitu tidak boleh diminum untuk berenang-senang atau dalam rangka ikut pesta yang diiringi musik. Dalam Mausu’ah dijelaskan:
واما نبيذ العسل والتين والبر والشعير ونحو ذلك فمباح عند ابي حنيفة وابي يوسف، بشرط الا يشرب للهو او طرب، وخالفهما محمد، ورايه هو المفتى به عند الحنفية.
“Adapun miras dari madu, buah tin, gandum dan lain sebagainya maka mubah (asalkan sedikit) menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf dengan syarat tidak diminum untuk bersenang-senang atau pesta musik. Muhammad Asy-Syaibani menyelisihi mereka berdua dan pendapat Muhammad ini yang difatwakan di kalangan Hanafiyah.” (Mausu’ah al-Fiqhiyah)
Jadi, bila ada yang membahas miras lokal Indonesia yang semuanya bukan terbuat dari anggur kemudian membawa-bawa Hanafiyah, maka betapa salahnya orang itu. Dia harus diperingatkan dengan keras agar belajar yang baik sebelum membawa-bawa nama ulama Hanafiyah seolah mereka menghalalkan miras. Apalagi kalau bahasannya hanya dibuat untuk mendukung kebijakan pemerintah yang hendak membuka kran investasi miras di daerah-daerah tertentu di Indonesia. Ini sudah bukan salah lagi tetapi menyesatkan. Semoga bermanfaat.
Oleh: Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Dai dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur