Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Fatwapedia.com – Salah satu ujian saat bertemu kerabat dan bersilaturahmi adalah gibah/menggunjing. Entah kita yang tidak sadar menggunjing, atau kita mendengar gunjingan dari kerabat.
Makna gibah/menggunjing adalah menyebut aib orang lain yang sesuai dengan fakta. Misalnya kita pernah duduk dekat dengan seseorang, lalu mencium bau yang tidak sedap yang mengesankan dia tidak mandi beberapa hari. Kemudian saat kita bertemu orang lain, kita membicarakan soal bau yang tidak sedap tadi dengan mengatakan,
“Eh tahu nggak si fulan. Tadi waktu aku dekat-dekat dengannya, ih amit-amit baunya kayak bangkai tikus. Gak mandi seminggu kayaknya orang itu”
Nah ucapan seperti itu dinamakan menggibah alias menggunjing.
Ciri gibah adalah ucapan tentang kekurangan seseorang yang seandainya orang tersebut mendengar maka dia tidak suka, padahal kekurangan tersebut sesuai dengan fakta. itupun sudah dihitung dosa besar. Adapun jika kekurangan yang dibicarakan itu tidak sesuai fakta, maka itu tidak dinamakan gibah lagi tapi sudah disebut fitnah/buhtān dan dosanya lebih besar lagi.
Allah melarang kita saling menggunjing. Allah berfirman,
﴿وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ﴾ [الحجرات: 12]
Artinya, “Janganlah kalian saling menggunjing” (Q.S. al-Ḥujurāt: 12)
Ghibah juga tergolong dosa, bahkan dosa besar. Al-Qurṭubī menegaskan bahwa sudah tidak ada perselisihan bahwa gibah itu memang termasuk dosa besar. Al-Qurṭubī berkata,
«لَا خِلَافَ أَنَّ الْغِيبَةَ مِنَ الْكَبَائِرِ». «تفسير القرطبي = الجامع لأحكام القرآن» (16/ 337)
Artinya, “Tidak ada perselelisihan bahwa gibah/menggunjing itu termasuk dosa besar” (Tafsir al-Qurṭubī, juz 16 hlm 337)
Jika seperti ini buruknya posisi gibah, maka seharusnya kemungkaran ini tidak boleh muncul saat silaturahmi. Sebab, disamping itu dosa besar, gibah juga bertentangan dengan semangat silaturahmi yang ingin merekatkan saudara. Jika secara tidak sadar kita menggunjing kerabat atau orang lain, segeralah beristigfar, mintakan ampun untuk diri dan orang yang kita gunjing itu, lalu perbaiki citra orang yang kita gunjing tersebut.
Lalu bagaimana jika posisi kita sebagai pendengar?
Jika kita berhasil menahan diri untuk tidak menggunjing, tetapi ada kerabat yang melakukan gunjingan, maka agar terlepas dari dosa, lakukan amar makruf nahi mungkar dengan cara satu dari 5 hal berikut ini.
Pertama, pergi menjauhi mejelis gibah
Kedua, cegah dengan tegas
Ketiga, bela yang digunjing
Keempat, ajak husnuzan
Kelima, ingkari dalam hati
Untuk cara pertama, yakni langsung pergi menjauhi majelis gibah, ini hanya cocok jika status kita lebih ditinggi, ditaati, dijadikan teladan, disungkani dan dihormati. Misalnya kita menjadi orang tua, sesepuh, guru, pejabat dan semisalnya. Yakni kita berhadapan dengan orang yang seandainya kita langsung pergi dari tempat itu, mereka akan segera tersadar kesalahannya dan bertekad tidak akan melakukan kesalahan serupa selamanya, minimal saat bertemu dengan kita. Adapun jika posisi kita sebaliknya, misalnya kita sebagai anak, sebagai kerabat muda dan semisalnya, maka cara ini kurang cocok dipakai. Karena bisa jadi malah menjadi fitnah dan memberi kesan kita tidak sopan dan tidak punya “unggah-ungguh”.
Untuk cara kedua, yakni mencegah dengan tegas maka ini juga cocok diterapkan dalam kasus posisi kita lebih tinggi. Termasuk juga kepada mereka yang setara dengan kita semisal saudara, teman, sesama santri dan semisalnya. Cara ini mungkin juga dilakukan pada yang posisinya lebih tinggi dari kita, tapi hanya orang-orang tertentu. Yakni orang-orang yang terkenal tawaduk, senang diingatkan dan yang sangat menjaga diri dari dosa. Adapun kepada orang-orang yang jika diingatkan langsung malah timbul ketersinggungan, sebaiknya tidak memakai cara ini.
Untuk cara yang ketiga, yakni membela kerabat yang digunjing berdasarkan apa yang kita tahu, maka cara ini cocok diterapkan kepada orang yang setara dengan kita atau lebih tinggi daripada kita. Misalnya diajak menggunjing begini,
“Itu si fulan sombong sekali. Masa aku datangi rumahnya, eh gak mau keluar dia. Sok kaya dia. Orang kok sombongnya kayak begitu. Apa ndak merasa ya kalau aku ini lebih tua. Kok nggak ada sungkan-sungkannya begitu didatangi yang lebih tua.”
Begitu kita mendengar gunjingan seperti ini, segera saja kita membela,
“Oh mungkin beliau punya kelemahan psikis. Memang ada kok orang-orang yang punya kelemahan psikis sehingga lebih senang menyendiri dan terasa sangat canggung bin kikuk kalau berkumpul dengan orang atau bertemu dengan mereka. Dia tidak sombong, hanya saja sangat pemalu untuk bertemu orang dan merasa sangat nyaman dengan kesendiriannya. Kadang-kadang orang seperti ini harus kita “seret” dari kamar untuk dipertemukan dengan tamu atau kerabat yang ada di luar. Jadi bukan sombong sebenarnya. Tapi kelemahan psiskis. Kasihan sebenarnya. Perlu latihan, sugesti dan perlakuan khusus menyembuhkannya. Bisa jadi dia perlu perjuangan keras untuk menghilangkannya. Bisa jadi dia sendiri sebal dengan kondisi dirinya, tapi masalahnya dia juga tidak tahu bagaimana cara menghilangkannya. Jadi kita saja yang harus ngerti ”
Contoh lagi, kita diajak menggunjing begini,
“Itu fulan sombong banget ya. Wong ketemu di jalan kok aku ya ga di sapa. Ya tidak dimampirkan ke rumahnya. Apa mentang-mentang rumahnya bagus terus gak sudi mempersilahkan saudaranya singgah ya?”
Begitu kita mendengar gunjingan seperti ini, segera saja kita membela,
“Oh saya tahu persis orangnya itu pendiam. Gak banyak bicara. Jadi kadang saking pendiamnya sampai gak sadar dengan lingkungan dan gak tahu ada saudara. Kadang juga tahu ada saudara tapi mulut terasa kaku dan kelu gak tahu bagaimana cara meramahi. Hatinya ingin, tapi lisan dan otaknya tidak mendukungnya. Kita saja yang perlu menyadari, sabar dan tetap membaiki”
Untuk cara keempat yakni mengajak husnuzan, maka ini cocok diterapkan kepada orang yang posisinya lebih tinggi daripada kita seperti orang tua, sesepuh dan semisalnya. Hanya saja harus digarisbawahi, nada bicara saat mengajak suuzan itu sekali-kali jangan dengan suasana menggurui. Sebaliknya ajak husnuzan dengan lembut, halus, tidak menyinggung, penuh kasih sayang dan logis. Misalnya kita diajak menggunjing begini,
“Itu lho kerabat kita yang itu, apa sih maunya. Aku itu pernah kirim WA kepadanya. Eh cuma dibaca thok. Gak dibalas. Tersinggung aku. Marah aku. Akhirnya kuhapus saja nomornya. Buat apa nyimpen nomor saudara tapi sombong begitu.”
Begitu kita mendengar gunjingan seperti ini, segera saja kita mengajak husnuzan,
“Oh mungkin yang buka WA anaknya, bukan beliau. Sering seperti itu. Dibuat main game sama anaknya, lalu mungkin tidak tahu kalau ada pesan, kemudian akhirnya tertumpuk oleh pesan yang lain”
Bisa juga diajak husnuzan begini,
“oh kayaknya beliau pas sibuk ngurus walimah itu. Kebetulan saya tahu persis di hari itu beliau ada acara. Jadi mungkin tidak sempat buka-buka HP dan ngetik dalam waktu lama. Mungkin sempat melihat, berniat membalas, tapi teralihkan dengan menyambut tamu atau aktivitas lainnya. Akhirnya kelupaan. Bisa juga pas HP-nya dibawa entah anaknya, cucunya, keponakannya atau yang lainnya. Coba saja ditelpon langsung. Semoga bisa merespon dengan baik.”
Jika semua hal tadi tidak mungkin dilakukan atau berat di lakukan atau tidak mampu melakukan, atau kuatir timbul kerusakan yang lebih parah maka minimal ingkarilah dalam hati. Sebab mengingkari dengan hati disebut Rasulullah ﷺ sebagai salah satu bentuk amar makruf nahi mungkar, walaupun itu dihitung sebagai selemah-lemah iman.