Fikroh.com – Penurunan Al-Qur’an tahap yang kedua adalah dari langit pertama kedalam lubuk hati Nabi Muhammad s a.w. dengan cara berangsur-angsur yang memakan waktu selama 23 tahun yaitu sejak kebangkitannya sebagai Rasul sampai beliau wafat.
Turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur itu mengandung hikmah yang nyata serta rahasia yang cukup banyak, dimana yang mengetahuinya hanyalah orang-orang yang alim/pandai, sedangkan orang awam sedikit sekali yang memahaminya. Di sini kami simpulkan garis besarnya sebagai berikut:
- Meneguhkan hati Nabi Muhammad s.a.w. dalam menghadapi celaan dari orang-orang musyrik.
- Meringankan Nabi Muhammad dalam menerima wahyu.
- Tadarruj (selangkah demi selangkah) dalam menetapkan hukum samawy (langit)
- Mempermudah dalam menghafal Al-Qur’an dan memberi pemahaman bagi kaum muslimin.
- Sejalan dengan kisah-kisah yang terjadi dan mengingatkan atas kejadian itu.
- Petunjuk terhadap asal (sumber) Al-Qur’an bahwasanya Al-Qur’an diturunkan dari Dzat yang Maha Bijaksana lagi Terpuji.
Sebelum kami memulai dalam menjelaskan secara terperinci tentang beberapa hikmah yang telah kami sebutkan secara global seperti di atas, terlebih dahulu kami mohon bantuan dan pertolongan dari Allah.
1. Penjelasan Hikmah Pertama
Hikmah yang pertama adalah meneguhkan hati/tanggapan Nabi Saw. Hal ini telah dikemukakan dalam ayat Al-Qur’an yang menyangkut pembahasan bantuan terhadap orang-orang musyrik yaitu ketika mereka menganjurkan agar Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus sebagaimana kitab-kitab samawiyah terdahulu, kemudian Allah menjawab dengan firman-Nya:
Yang dimaksud dengan meneguhkan hati Nabi hanyalah sekedar pemeliharaan Allah serta penguat bagi seorang Rasul Allah di hadapan penantang utamanya dalam menghadapi penganiayaan terhadap dirinya dan pengikutnya.
Ayat-ayat Al-Qur’an itu diturunkan kepada Rasul saw. sebagai pelepas derita dan pembangkit ketenangan dari penderitaan yang telah dilaluinya dalam melaksanakan dawah dimana beliau menghadapinya dengan penuh duka dan nestapa. Allah berjanji akan melepaskan dan meringankan derita dari belenggu ancaman dan cobaan yang menimpanya. Karena itu ketika penderitaan dan cobaan begitu dahsyat maka turunlah ayat sebagai penenang baginya dan sebagai obat peringan beban yang dipikulnya. Ayat yang bersifat tasliah (penenang) tersebut kadang-kadang berupa sejarah para Nabi terdahuta agar ia bisa mencontoh mereka dalam ketabahan serta kesungguhannya sebagaimana Allah berfirman: Surat Al-an’am: 34
Selain dari itu bentuk tasliah (hiburan) terkadang berupa penjelasan bahwa Rasulullah akan menguasai dan mengalahkan lawannya, sebagaimana firman Alloh.
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir: ”Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka jahanmam dan itulah tempat yang seburuk-buruknya. (Ali Imran ayat 12).
Dan bentuk-bentuk lain yang berhubungan dengan sesuatu hal yang dapat meringankan beban yang terhunjam dalam hati sanubari Nabi SAW., Juga merupakan obat ketenteraman batin baginya.
Jelaslah kiranya bahwa diperbaharuinya atau diulangnya turun wahyu dan sering datangnya Malaikat Jibril dengan membawa ayat-ayat berupa keterangan-keterangan yang berfungsi sebagai pelepas derita Nabi dan berisi janji akan pertolongan Allah serta akan terpeliharanya lagi pula sebagai penguat kerasulannya, hal tersebut juga mempunyai pengaruh yang amat besar dalam memantapkan hati sanubari Nabi sehubungan dengan menyampaikan da’wah dan risalah ilahiyah, karena Allah senantiasa bersamanya.
Apakah akan merasa hina orang yang selalu dilindungi Allah?
2. Penjelasan Hikmah kedua
Hikmah yang kedua ialah meringankan Nabi dalam menerima wahyu. Hal ini karena kedalaman dan kehebatan Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah:
Sesungguhnya Kami akan menurunkan perkataan kepadamu yang berat. (Al-Muzzammil ayat 5)
Al-Qur’an sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah adalah merupakan firman Allah yang istimewa. Ia mempunyai keagungan dan keluhuran serta kehebatan dan kedalaman. Ia adalah sebuah kitab yang andaikata diturunkan kepada gunung niscaya akan hancur dan merata karena hebatnya dan agungnya, sebagaimana Allah berfirman:
Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. (Al-Hasyr ayat 21).
Kalau demikian halnya maka bagaimanakah halnya dengan hati Nabi yang begitu lembut, mampukah ia menerima semua Al-Qur’an dengan tidak kebingungan dan merasa keberatan karena dalamnya dan luhurnya Al-Qur’an? Aisyah telah memberikan gambaran tentang keadaan kondisi Rasul ketika ia menerima wahyu (Al-Qur’an) dan pengaruhnya terhadap fisik Nabi, berupa kegoncangan jiwa dan kepanikan. Ia (Aisyah) mengemukakan sebagaimana Al-Bukhary meriwayatkan: “Sungguh aku melihat dengan mata kepala, bila turun wahyu sekalipun udara begitu dingin tatkala selesai Nabi mengeluarkan keringat dan pelipisnya dibasahi dcngan keringat yang bercucuran karena begitu beratnya beliau menerima wahyu”.
3. Penjelasan Hikmah ketiga
Hikmah yang ketiga ialah tadarruj (berangsur-angsur) dalam penetapan hukum. Dalam hal ini amat nyata dan jelas, dimana metode Al-Qur’an terhadap manusia, khususnya orang-orang Arab ada suatu metode yang filosofis dalam melepaskan mereka dari dunia kemusyrikan untuk hidup dengan penuh pancaran iman serta membudaya dalam pribadinya untuk cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, iman dengan hari kebangkitan dan pembalasan. Setelah itu langkah pemantapan dan pelestarian iman hendaklah diteruskan dengan ibadah. Ibadah yang mula pertama ditekankan adalah shalat yaitu pada masa sebelum hijrah, kemudian berikutnya ibadah shaum (puasa) dan zakat yaitu pada tahun yang kedua hijrah dan yang terakhir adalah ibadah haji yaitu pada tahun keenam hijrah.
Sebagaimana halnya ibadah juga kebiasaan yang sudah membudaya, pertama-tama dititik-beratkan kepada masalah dosa-dosa besar, kemudian menyusul dosa-dosa kecil (hal-hal yang disepelekan). Selanjutnya selangkah demi selangkah dalam mengharamkan yang sudah mendarah daging bagi mereka seperti, khamar, riba dan judi, berdasarkan langkah yang sangat bijaksana, yang dimungkinkan dapat mengikis habis kejahatan tersebut sampai ke akar-akarnya.
Kami akan mengambil sebagian contoh yang berhubungan dengan ketentuan hukum yang maha bijaksana tersebut dan telah berhasil ditempuh oleh Al-Qur’an dalam mengobati kanker masyarakat yaitu dalam hal pengharaman khamar yang sudah menjadi penyakit yang meradang dan menjalar di kalangan orang-orang Arab. Bagaimanakah Islam membasmi dan menetapkan hukumnya? Dalam hal ini Al-Qur’an menetapkan pengharamannya dalam empat tahap: sebagaimana halnya dengan persoalan haramnya riba, dimana tidak diharamkan secara sekaligus mengingat mereka gemar bermabukmabukan yang tak ubahnya kita haus akan air yang begitu jernih. Karena tidaklah biiuksana andaikata khamar diharamkan kepada mereka secara sekaligus, Yang pantas hanyalah dengan sistim bertahap.
4. Hikmah yang keempat
Adalah mempermudah penghafalan Al-Qur’an bagi kaum muslimin serta mempermudah pemahaman dan penghayatan mereka. Telah dimaklumi bahwa orang Islam (di masa Nabi dahulu), ummi (tidak bisa tulis baca). Al-Qur’an telah mencatat sifat mereka dengan firmannya :
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayatnya kepada mereka. (Al-Jum’ah ayat 2)
Demikian pula halnya Nabi sendiri, dimana ia adalah seorang yang ummi pula, sebagaimana dikemukakan dalam ayat:
Yaitu orang-orang yang mengikuti Rasul Nabi yang ummi. (Al-A’raf ayat 157) Jelaslah di sini bahwa hikmahnya Allah menurunkan kitab-Nya yang Agung secara berangsur adalah supaya mudah dihafal oleh orang-orang Islam karena mereka hanya berpegang kepada daya ingatannya. Dan dada-dada mereka bagaikan kitab-kitab injilnya, sebagaimana diriwayatkan dalam gambaran umat Muhammad saw:
Di samping itu perlengkapan alat tulis tidak mudah didapat oleh para sekretaris di masa itu karena tidak adanya. Dengan demikian apa Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus niscaya akan merasa kepayahan dalam menghafalnya lebih-lebih untuk memahami dan mengha ati isinya.
5. Penjelasan Hikmah yang kelima
Adapun hikmah yang kelima yaitu sesuai dengan kejadian dan keadaan di saat diturunkan sekaligus mem -eringatkan kesalahan-kesalahan pada waktunya. Sungguh hal yang demikian itu akan lebih mantap dan tertanam dalam hati dan lebih mendorong untuk mengambil pelajaran secara raktis. Maka bila ada persoalan yang baru dari kalangan mereka, turunlah ayat yang sesuai dengan persoalan tersebut. Bila terjadi kesalahan dan penyelewengan di kalangan mereka, turunlah Al-Qur’an memberi batasan serta pemberitahuan kepada mereka tentang masalah mana yang harus ditinggalkan dan yang patut dikerjakan. Dengan itu pula Al-Qur’an menjelaskan tempat terjadinya kesalahan pada saat itu. Ambillah sebuah contoh dalam persoalan ini tentang perang Hunain, ketika itu hati orang Islam telah tertipu dimana mereka mengeluarkan kata-kata sombong dan optimis tatkala mereka melihat jumlah bilangan askar mereka yang berlipatganda melebihi pasukan kafir. Di saat itu mereka dihinggapi sikap kesombongan seraya mengatakan: ”Kali ini pasti kami tidak akan terkalahkan oleh musuh karena mereka sedikit jumlahnya”. Akhirnya mereka berantakan dan mundur kocar-kacir. Pada peristiwa itu Al-Qur’an menegaskan :
Dan ingatlah peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai. (At-Taubah ayat 25)
Andaikata Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus maka tidak mungkin bisa memperingatkan kesalahan pada waktunya. Karenanya bagaimana mungkin bisa digambarkan oleh Al-Qur’an tentang perang hunain.
6. Penjelasan Hikmah Keenam
Adapun hikmah yang keenam ialah memberi petunjuk terhadap asal-usul sumber Al-Qur’an, dimana diturunkan dari Dzat yang Maha Bijaksana lagi Terpuji. Dalam hikmah yang luhur ini patutlah kami kutip teks yang dikemukakan oleh Syeikh Mohammad Abdul Azhim Az-Zarqany dalam kitabnya Manahilul Irfan, dimana beliau mengemukakan secara tegas ”……… memberi petunjuk terhadap sumber Al-Qur’an bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah semata, tidak mungkin kalau Al-Qur’an itu kata-kata Muhammad atau kata-kata makhluk lainnya……..” argumentasinya ialah: Kami telah membaca Al-Qur’an sampai tamat, ternyata rangkaian kata-katanya begitu teratur, lembut jalinannya, susunan bahasanya, begitu hebat serta kuat kaitannya. Satu sama lainnya saling berhubungan baik antara satu surat dengan lainnya, ayat-ayat satu dengan lainnya maupun dilihat dari secara keseluruhannya. Secara keseluruhan dari mulai alif sampai dengan “ya” mengalir darah kemukjizatannya, seolah-olah Al-Qur’an adalah suatu gumpalan yang tak terpisahkan. Diantara bagian-bagiannya tidak terpisah-pisah, tak ubahnya bagaikan untaian mutiara atau sepasang kalung yang menarik perhatian. Huruf-huruf dan kata-katanya tersusun secara sistimatis, kalimat dan ayat-ayat tersusun begitu rapi.
Demikian penjelasan hikmah dibalik turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi anda yang sedang mencari penjelasan tentang hikmah turunnya Al-Qur’an secara bertahap.