Fatwapedia.com – Berikut ini fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkus tentang Hubungan Takdir Dan Perbuatan Hamba.
Pertanyaan:
Diantara aqidah ahlus sunnah wal jama’ah adalah:
ما شاء الله كان وما لم يشأ لم يكن
“Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, yang tidak Ia kehendaki tidak terjadi”
Namun dalam diriku terdapat sebuah syubhat, yaitu perbuatan hamba itu ada karena kehendak Allah (dengan mengenyampingkan dahulu perihal kehendak hamba). Jika seorang hamba berbuat maksiat,
sebetulnya maksiat yang ia lakukan itu atas kehendak Allah. Sehingga sebetulnya kehendak hamba tidak punya peran diantara kehendak Allah dan perbuatan si hamba. Maksudnya, kehendak si hamba
itu, ada-atau-tidaknya tidak berpengaruh karena sesuatunya atas kehendak Allah. Jika Allah berkehendak sesuatu terjadi, maka si hamba akan berkehendak demikian lalu terjadilah. Jika Allah tidak berkehendak, maka si hamba tidak akan berkehendak juga dan lalu tidak terjadi.Pertanyaan saya, apakah ini artinya hamba itu dipaksa oleh takdir untuk melakukan kebaikan ataupun keburukan? Jika jawabannya ya, lalu mengapa maksiat itu mendapat hukuman? Mohon penjelasan dari anda, semoga Allah membalas anda dengan kebaikan. Permasalahan ini membuat saya bingung.
Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhahullah menjawab:
Segala puji hanya untuk Allah Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpah
kepada Rasulullah yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, juga kepada para sahabatnya, dan
pengikutnya hingga hari kiamat. Amma Ba’du.
Ketahuilah, semoga Allah melimpahkan taufik kepada anda, sebelum saya menjelaskan masalah ini anda hendaknya membedakan antara qadha kauniy dan qadha syar’i. Qadha kauniy adalah takdir, yang terjadi atas kehendak Allah yang segala sesuatu tunduk pada kekuasaan-Nya. Dan setiap takdir pasti memiliki hikmah. Allah berfirman:
إِذَا قَضَى أَمْر ًا فَإِنَمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ
“Bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah”. Lalu jadilah ia” (QS. Al Baqarah: 117) juga firman-Nya:
وَإِذَا أَرَادَ الُ بِقَوْمٍ سُوء ًا فَلَ مَرَدَ لَهُ وَمَا لَهُم مِن دُونِهِ مِن وَالٍ
“Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” (QS. Ar Ra’du: 11)
Maknanya adalah bahwa Allah Ta’ala sudah lebih dahulu mengetahui apa yang akan terjadi, dan ketika itu terjadi pasti sesuai dengan apa yang Allah ketahui. Tidak ada seorang pun hamba yang dipaksa oleh takdir Allah untuk melakukan ketaatan ataupun maksiat, dan tidak mereka dikendalikan oleh takdir. Karena ilmu Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah sifat Allah yang berupa inkisyaf (menyingkap yang belum terjadi) dan ihathah (pengetahuan atas segala sesuatu) bukan berupa taf’il (perbuatan) atau ta’tsir (hal yang menghasilkan perubahan). Dan qadha kauniy ini tidak diketahui oleh kita. Oleh karena itu, hamba Allah tidak dihisab berdasarkan qadha kauniy (yaitu karena tidak kita ketahui, -pent.).
Namun dengan qadha kauniy ini hamba Allah dituntut untuk bersyukur jika ternyata ia ditakdirkan mendapatkan nikmat. Dan dituntut untuk bersabar jika ternyata ia ditakdirkan mendapatkan keburukan. Oleh karena itu juga, kehendak dan ikhtiar hamba tidak dilandasi oleh qadha kauniy.
Tidak demikian dengan qadha syar’i. Kehendak dan ikhtiar hamba berkaitan dengannya. Pembebanan syariat kepada hamba, berupa perintah dan larangan yang menjadi sumber pahala dan dosa juga dilandasi oleh qadha syar’i. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menampakkan qadha syar’i ini kepada kita melalui Rasul-Nya dan juga wahyu-Nya (Al Qur’an) untuk menunjukkan yang halal dan yang haram, juga janji dan ancaman-Nya. Untuk itu pula Allah memberikan kita kemampuan untuk menjalankannya. Qadha kauniy terus berlaku pada setiap apa yang terjadi hingga hari kiamat, qadha syar’i pun tidak lepas darinya. Artinya apa yang ada dalam qadha syar’i, segala sesuatu yang terjadi tetap tidak akan keluar dari qadha kauniy.
Oleh karena itu juga, Allah Ta’ala menginginkan hamba-Nya untuk taat, Ia memerintahkannya, dan tidak menginginkan hamba-Nya bermaksiat. Ia melarangnya. Perintah dan larangan tersebut merupakan qadha syar’i yang hamba dapat berkehendak untuk melakukannya atau tidak, dan tergantung pada ikhtiarnya. Namun Allah Ta’ala sudah mengetahui sebelumnya bahwa sebagian mereka akan berikhtiar untuk taat dan menjalani kebenaran, dan sebagian mereka akan berikhtiar untuk menjalani jalan kesesatan dan penyimpangan. Lalu Allah menetapkan pahala bagi orang yang taat dan menetapkan dosa bagi orang yang menyimpang dari kebenaran, sebagai bentuk qadha kauniy yang sudah diketahui sebelumnya oleh Allah. Pengetahuan Allah ini bukanlah pemaksaan dan pengendalian akan apa yang akan dilakukan si hamba dengan ikhtiar yang dilakukannya. Karena qadha kauniy ini tidak ada yang mengetahui kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Oleh karena itu, orang yang bermaksiat tidak boleh berdalih dengan qadha kauniy atas maksiat dan ketidak-taatan yang ia lakukan. Dan tidak ada seorang pun yang dapat berhujjah dengannya. Di sisi lain, seseorang tidak boleh meninggalkan amal karena menggantungkan diri para iradah kauniyah yaitu takdir. Oleh karena itu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
اعْمَلُوا فَكُلٌ مُيَسَرٌ لَِا خُلِقَ لَهُ
“Beramalah! karena setiap kalian akan dimudahkan untuk menggapai tujuan ia diciptakan”
lalu beliau membaca ayat:
فَأَمَا مَن أَعْطَى وَاتَقَىو وَصَدََقَ بِالُسْنَىو ، فَسَنُيَسِرُهُ لِلْيُسْرَىو، وَأَمَا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَىو، وَكَذَبَ بِالُسْنَىو ، فَسَنُيَسِرُهُ لِلْعُسْرَى
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar” (QS. Al Lail, 5-10) [HR. Bukhari 4949, Muslim 6903]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Takdir bukanlah alasan bagi siapapun di hadapan Allah, juga di hadapan makhluk-Nya. Andai boleh beralasan dengan takdir dalam melakukan keburukan, maka orang zhalim tidak layak dihukum, orang musyrik tidak diperangi, hukuman pidana tidak boleh dijatuhkan, dan seseorang tidak boleh mnecegah kezhaliman orang lain. Semuga orang paham secara pasti bahwa ini semua merupakan kerusakan, baik dari segi agama maupun segi dunia” (Majmu’ah Ar Rasail Al Kubra, 1/353).
والعلمُ عند ال تعالىو ، وآخر دعوانا أنِ المد ل ربِ العاليو ، وصلى ال على نبيّنا محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدينو ، وسلّم تسليم ًا
Sumber: http://www.ferkous.com/site/rep/Ba26.php