Fatwapedia.com – Dianatara bentuk keraguan dalam masalah pencurian adalah pencurian yang terjadi dalam dilingkup keluarga, yaitu seumpama seorang ayah mencuri harta milik anaknya atau sebaliknya seorang anak mencuri harta orang tuanya. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan status hukum pencurian seperti ini.
Pertama, Seorang Ayah Yang Mencuri Harta Milik Anaknya
Ini adalah salah satu keraguan yang menggugurkan hukuman menurut pendapat kebanyakan ulama seperti imam yang empat dan selain mereka. Menurut mereka seorang ayah tidak dipotong tangannya karena mengambil harta anaknya, karena dia mengambil sesuatu yang dia memiliki hak pada barang yang dia ambil. Dari Jabir:
(أن رجلا قال: إن لى مالا وولدا , وإن أبي يريد أن يجتاح مالى فقال: أنت ومالك لأبيك)
Sesungguhnya seorang lelaki berkata: “Wahai Rasulullah, aku memiliki harta dan anak. Dan sesungguhnya ayahku membutuhkan hartaku.” Maka beliau bersabda: “engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.”
Huruf lam dalam sabda beliau li-abika bermakna kepemilikan. Maka ini adalah suatu keraguan yang ada di antara ayah dan anaknya, maka tidak boleh memotong tangan orang yang telah Nabi nisbatkan suatu harta kepadanya.
Imam Asy-Syafi’i berkata: Begitupula kakek dan nenek, bagaimanapun juga mereka tidak dipotong tangannya karena mencuri harta anaknya atau yang setelahnya dari keturunan mereka.
Ibn Hazm menyelisihi pendapat ini dan berkata: “Orang tua tetap dipotong tangannya (sebagaimana yang lainnya) jika mencuri harta anaknya berdasarkan keumuman ayat hukum potong tangan.” dan beliau menjawab tentang hadits di atas bahwa itu telah terhapus dengan ayat waris dan yang lainnya. Beliau berkata: “Tak ada yang seorangpun yang menyelisihi bahwa kedua orang tua jika membutuhkan lalu mengambil harta anaknya dengan sembunyi-sembunyi atau dengan memaksa atau cara bagaimanapun, maka tak ada hukuman baginya. Karena mereka hanyalah mengambil hak mereka, sedangkan bahasan di sini adalah jika mereka tak membutuhkan lalu mengambilnya dengan cera sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.” Selesai perkataan beliau secara ringkas.
Penulis berkata: Pendapat yang benar adalah bahwa hadits tersebut terbatas pada sebabnya dan tak memiliki makna yang umum (bukan karena terhapus) berdasarkan konsesus para ulama bahwa anak juga mendapat warisan bersama ayahnya, bahkan terkadang bagiannya lebih besar daripada ayahnya. Maka bagi anak hartanya, dan bagi ayah hartanya sendiri pula. Dengan ini maka pendapat Mayoritas atas gugurnya hukuman dari orangtua yang jika mencuri harta anaknya lebih kuat, karena di samping itu orangtua tidak dihukum setimpal (qishash) karena membunuh anaknya, maka potong tangan lebih layak lagi untuk tidak dilaksanakan. Dan pernyataaan Ibn Hazm tersebut hanyalah dari sisi bahwa hal ini lebih baik untuk dianalogikan. Allah Maha Tahu.
Kedua, Hukum Anak Yang Mencuri Dari Orang Tuanya
Abu Hanifah, asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq berpendapat bahwa seorang anak baik lelaki maupun perempuan tak dipotong tangannya jika mencuri dari harta orangtuanya atau kakek-nenek mereka. Karena harta orangtua biasa beredar di antara anak.
Sedangkan Malik, Abu Tsaur dan Ibn Hazm berpendapat bahwa anak tetap dipotong sebagai pengamalan makna luar ayat yang bersifat umum tanpa ada pengkhususannya.
Penulis berkata: Hukum ini tidak cocok dimutlakan dalam hal ini, jadi kapanpun harta ayah biasanya beredar di sekitar anak, maka tangannya tidak dipotong karena mengambilnya. Sedangkan jika hartanya disembunyikan darinya, maka tangannya dipotong. Allah Maha Tahu.
Ketiga, Mencuri Dari Kerabat
Ats-Tsaury dan Abu Hanifah serta pengikutnya berpendapat bahawa tak ada potong tangan bagi yang mencuri dari saudara mahramnya, seperti saudara lelaki, saudara perempuan, paman dan bibi dari ayah juga paman dan bibi dari ibu. Karena diperbolehkan bagi mereka saling bertemu tanpa harus mengulangi izin dianggap sebagai keraguan yang menggugurkan hukuman. Dan juga karena memotong tangan salah satu di antara karena mencuri dapat memutus tali silaturahim dan hal tersebut adalah haram.
Adapun jika seorang kerabat yang bukan mahram mencuri, seperti anak lelaki atau perempuan paman dari ayah, anak lelaki atau perempuan bibi dari ayah, anak lelaki atau perempuan dari paman dari ibu dan anak lelaki atau peremuan bibi dari ibu, maka hukuman tetap ditegakkan kaena pencuriannya (menurut mereka) karena mereka tak biasa saling bertemu.
Adapun Mayoritas Ulama (termasuk Ibn Hazm) berpendapat bahwa seorang yang mencuri dari kerabatnya bukanlah suatu keraguan y ang dapat menggugurkan hukuman dari si pencuri. Oleh karena itu tetap wajib hukum potong tangan bagi yang mencuri dari kerabatnya, baik mahram maupun bukan mahram.
Penulis berkata: Inilah yang benar berdasarkan keumuman ayat potong tangan dan tak ada dalil yang menunjukan pengkhususannya untuk selain kerabat.