Hukum Boikot Produk Perancis Tanpa Persetujuan Pemerintah

Hukum Boikot Produk Perancis Tanpa Persetujuan Pemerintah


Fatwapedia.com – Hingga kini seruan boikot produk Prancis masih berlanjut di mana-mana. Sebagai reaksi dari sikap presiden macron yang telah menghina Nabi dengan dalih kebebasan berekspresi. Lantas apa hukumnya boikot produk prancis tanpa izin pemerintah?

Bolehkah kita memboikot produk negara Perancis, tanpa persetujuan pemerintah?

Jawaban :

Wa’alaykumussalaam warahmatullah wabarakaatuh…

Di saat mayoritas ummat Islam tengah berbahagia dan bersuka cita memperingati kelahiran Baginda Nabi Muhammad ShallAllahu ‘Alayhi Wasallam dan menapak tilasi perjuangan beliau dalam melaksanakan tugas Risalah; Pemerintah Perancis secara keji menampilkan proyeksi karikatur Nabi Muhammad dengan konten yang melecehkan, di gedung balai kota di wilayah Occitanie pada hari Rabu (21/10/2020) malam waktu setempat.

Slogan: Liberté [Kebebasan], Égalité [Keadilan], Fraternité [Persaudaraan] menjadi hilang makna jika bersinggungan dengan Islam dan Ummat Islam. Ucapan Presiden Macron seputar “Islam Agama Krisis”; sama sekali tidak mencerminkan keadilan, kebebasan, dan persaudaraan. Saat Burqa/Hijab dilarang di Perancis, dimana letak keadilan, kebebasan, dan persaudaraan itu?

Berbicara tentang Perancis mengingatkan kita akan kekejaman mereka terhadap penduduk Aljazair, di masa penjajahan Perancis atas negeri Afrika tersebut kisaran tahun 1830-1962. Pembunuhan dengan cara sadis, pengrusakan secara massif, kekerasan seksual, dan penyiksaan orang-orang tak bersalah adalah catatan hitam mereka yang sulit untuk dilupakan. Bisa dikatakan bahwa kejahatan Perancis atas Aljazair termasuk yang terkejam dalam sejarah imperialisme. Amat jauh dari kata keadilan, kebebasan, dan persaudaraan.

Ini berbeda dengan perlakuan Baginda Nabi Muhammad terhadap penduduk Makkah di hari Penaklukan Makkah (Fathu Makkah). 

Saat dikumpulkan sebagian pembesar dan pemimpin Makkah ke hadapan Baginda, Baginda Nabi bertanya,

مَا تَقُولُونَ وَمَا تَظُنُّونَ؟

“Apa gerangan yang kalian hendak katakan dan apa yang kalian bayangkan?”

Lantas para pembesar Makkah ini menjawab, “Kami akan katakan (kepada tuan): 

ابْنُ أَخٍ وَابْنُ عَمٍّ حَلِيمٌ رَحِيمٌ

‘Tuan adalah seorang putra dari saudara kami dan putra dari paman kami; tuan adalah seorang yang berkepribadian lembut dan penyayang.’” Mereka mengulangi ucapan tersebut sebanyak tiga kali.

Kita tahu bahwa saat penaklukan Makkah itu adalah saat-saat dimana Baginda Nabi dapat membalas perbuatan menyakitkan dan kejahatan yang dilakukan kafir Quraisy Makkah terhadap Nabi dan kaum muslimin. Beliau bisa saja memilih untuk menghabisi penduduk Makkah, dengan alasan balas dendam.

Namun apa ucapan beliau shallallahu ‘alayhi wasallam, dihadapan para pembesar Makkah tadi?

أَقُولُ كَمَا قَالَ يُوسُفُ: {لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللهُ لَكُمْ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ} [يوسف: 92]

“Aku hanya akan mengucapkan ucapan sebagaimana yang diucapkan oleh Nabiyullah Yusuf ‘Alayhissalam,

{Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian, mudah-mudahan Allah mengampuni kalian. Dan Dia Maha Penyayang di antara para Penyayang}”.

Setelah itu, para pembesar Makkah keluar dari hadapan Nabi seakan-akan mereka dibangkitkan dari kubur [kematian], dan akhirnya mereka memilih untuk memeluk agama Islam. (HR. Al-Bayhaqi No. 18275)

Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam adalah orang yang senantiasa berlemah lembut dan berkasih sayang. Beliau mendidik ummat nya untuk bersikap yang sama. Itu terlihat dari sabda beliau,

إِنّٙ اللّٰهٙ يُحِبُّ الرِّفْقٙ فِيْ الأٙمْرِ كُلِّهِ

“Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala perkara” (HR. Al-Bukhari No. 6024)

Sabdanya yang lain,

مٙنْ لٙا يٙرْحٙمُ لٙا يُرْحٙمُ

“Siapa saja yang tidak menyayangi [memiliki sifat penyayang], tidak akan disayangi” (HR. Al-Bukhari No. 5997)

Dialah sosok yang tatkala ia shalat mendengar suara tangisan anak kecil, ia menyegerakan shalatnya. Khawatir dengan kegelisahan yang ada pada benak ibu daripada anak kecil itu.

“Sesungguhnya aku tatkala berdiri menegakkan shalat, dan ingin memperlama nya, hanya sebab aku mendengar tangisan seorang anak kecil, aku memperingan shalatku semata-mata khawatir [jika shalat terlalu lama] akan membuat ibu dari anak kecil ini merasa berat hati” (HR. Al-Bukhari No. 707)

Dialah sosok yang peduli dengan hewan tunggangan yang nampak tidak diurus dengan baik oleh tuannya.

“Takutlah kalian kepada Allah tatkala mengurus hewan yang tak mampu berbicara ini! Tunggangilah ia dengan baik, dan makan lah daging nya dengan baik…” (Shahih Ibn Khuzaimah No. 2545)

Sebab kecintaan kami terhadap sosok amat mulia inilah, kami dengan tegas mengatakan : bahwa hukuman bagi penghina Nabi adalah hukuman mati. Ini merupakan ijma/kesepakatan para ulama kami. Tidak ada tawar menawar.

Berkata Al-Imam Ibnul Mundzir rahimahullah,

أجمع عوام أهل العلم على وجوب القتل على من سب النبي صلى الله عليه وسلم. هذا قول مالك والليث بن سعد والشافعي وأحمد واسحق ومن تبعهم

“Telah bersepakat mayoritas ulama atas wajibnya hukuman mati bagi orang yang berani melecehkan Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam. Dan ini merupakan pendapat Malik, Al-Layts Ibn Sa’ad, As-Syafi’I, Ahmad, Ishaq, dan orang-orang yang mengikuti mereka.” (ucapan Imam Ibnul Mundzir ini dikutip oleh Syaikh ‘Abdullah Ibn Shiddiq Al-Ghumari dalam kitab beliau, As-Sayf Al-Battar Liman Sabba An-Nabiy Al-Mukhtar, hal. 3)

Hukuman ini berlaku baik ia adalah seorang muslim maupun kafir, berdasarkan riwayat-riwayat hadits yang ada. Di antara riwayat-riwayat tersebut ialah :

1. Riwayat tentang eksekusi Ka’b Ibn Al-Asyraf 

Dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan Bab Tentang Pembunuhan Ka’b Ibn Al-Asyraf:

Jabir Ibn Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

مٙنْ لِكٙعْبِ بْنِ الأٙشْرٙفِ، فٙإِنّٙهُ قٙدْ آذٙى اللّٰهٙ وٙرٙسُوْلٙهُ

“Siapa yang bersedia [mengeksekusi] Ka’b Ibn Al-Asyraf; karena sesungguhnya ia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.”

Berdiri lah Muhammad Ibn Maslamah di hadapan Rasulullah dan berkata,

أٙتُحِبُّ أٙنْ أٙقْتُلٙهُ؟

“Apakah engkau meridhai, jika aku membunuhnya?”

Jawaban Rasulullah, “Iya.”

Ibn Maslamah berkata kembali, “Izinkanlah aku berkata-kata [bohong, sebagai trik untuk menjebak Ka’b]”

Rasulullah menjawab, “Katakan apa saja [yang ingin engkau ucapkan]”

Maka Muhammad Ibn Maslamah pun mendatangi Ka’b dengan terlebih dahulu mengelabui Ka’b, kemudian mengeksekusi nya. (HR. Al-Bukhari No. 4037)

Ka’b Ibn Al-Asyraf adalah salah seorang laki-laki dari bani Nabhan. Ibunya dari bani Nadhir. Suatu saat ia pergi ke Makkah sembari terang-terangan melecehkan Rasulullah dan menghasut orang-orang Makkah untuk semakin membenci Rasulullah. Saat ia kembali dari Madinah inilah ia di eksekusi. (Ibnul Atsir, Al-Kamil fit Tarikh, 2/35)

Para ulama yang menjelaskan hadits ini, mengatakan bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya berdusta di dalam perang [seperti Imam As-Syaukani menempatkan hadits ini dalam Bab : Berdusta dalam Perang (7/301) dalam kitabnya, Naylul Authar]

Ini berarti bahwa sikap atas penghina Nabi bukan lah semata-mata hukum bunuh, tapi justeru perang terhadap pelaku nya. Negara kafir seperti Perancis yang dengan congkaknya melecehkan Baginda Nabi itu sama artinya menabuh genderang perang dengan ummat Islam.

2. Riwayat tentang eksekusi terhadap Abu Rofi’ Al-Yahudi

Dalam Shahih Al-Bukhari No. 4039 disebutkan bahwa Rasulullah mengutus beberapa orang dari kalangan Anshar, dipimpin Abdullah Ibn ‘Atik, untuk mengeksekusi Abu Rofi’ karena telah melecehkan Rasulullah dan menghembuskan permusuhan terhadap beliau shallallahu ‘alayhi wasallam. Peristiwa ini terjadi setelah eksekusi Ka’b Ibn Al-Asyraf.

3. Riwayat tentang Pembunuhan Budak Perempuan oleh Lelaki Buta

Riwayat ini menceritakan tentang seorang lelaki buta yang memiliki ummu walad [budak perempuan yang mengandung anak tuannya] berperangai buruk. Budak perempuan itu senantiasa melecehkan Nabi. Meski telah diperingatkan oleh tuannya, ia tak mengubah perilakunya. Akhirnya tuannya pada suatu malam menusuk perutnya dengan sebilah pedang hingga wafat. Saat ia dibawa kehadapan Rasulullah untuk diadili, ia menceritakan kronologi mengapa ia membunuh budaknya. Lantas Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

أٙلٙا اشْهٙدُوا أٙنّٙ دٙمٙهٙا هٙدٙرٌ

“Saksikanlah oleh kalian, bahwa darah perempuan itu tiada artinya.” (HR. Abu Dawud No. 4361)

Dan riwayat-riwayat lain yang menceritakan tentang eksekusi terhadap para pelaku penistaan Nabi.

Kemudian, apakah kita harus membunuh pelaku penistaan Nabi dengan tanpa izin dari penguasa? Terutama jika penguasa yang ada sekarang kurang memihak terhadap Islam, bagaimana?

Pertanyaan ini telah kami tanyakan kepada guru kami, Syaikhuna Ahmad Hajin [mufti madzhab Syafi’I di Mesir]. Jawaban beliau : Ini semua wewenang penguasa. Tidak boleh kita sembarangan mengeksekusi orang yang melecehkan Nabi dengan main hakim sendiri.

Barangkali Syaikhuna memandang hal tersebut berdasarkan qaul ulama seperti Imam Asy- Syirozi :

باب إقامة الحدود : لا يقيم الحدود على الأحرار إلا الإمام أو من فوّض لأنّه لم يقم حد على حر على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا بإذنه ولا في أيام الخلفاء إلا بإذنهم

“Bab Penegakkan Hudud [Sanksi Hukuman dalam Islam] : Tidaklah hudud ditegakkan atas orang-orang yang merdeka kecuali oleh imam/kepala negara atau yang diserahi urusan ini oleh kepala negara. Sebabnya, karena tidaklah berlaku suatu had/sanksi atas seorang merdeka pada masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam kecuali atas izin Rasulullah [selaku kepala negara]. Tidak juga had itu berlaku di masa para khalifah kecuali atas izin mereka [para khalifah ini].” (Al-Muhadzdzab fi Fiqh Al-Imam As-Syafi’I, 3/341)

Namun bagaimana jika pelecehan itu terjadi di negara luar wilayah kaum muslimin, seperti di Perancis? Apakah dibiarkan?

Sebagaimana yang kami tegaskan di atas, bahwa perlakuan kita terhadap mereka yang berani menistakan Nabi adalah perlakuan seseorang menghadapi lawan perang nya. Kemuliaan Nabi adalah harga mati!

Maka, tindakan boikot adalah tindakan yang dipilih untuk menjawab kepongahan mereka.

Bagaimana jika tidak ada perintah dari pemerintah untuk boikot?

Sejati nya pemboikotan atas suatu produk merupakan pilihan dari setiap warga negara. Seseorang boleh saja enggan membeli suatu barang [yang asalnya halal diperjual belikan] karena alasan ideologis/prinsipil, yang tidak ada kaitannya dengan kualitas atau kepuasan atas barang. Boikot itu juga dilakukan dengan tanpa mengharamkan barang tersebut secara mutlak. 

Syaikhuna Ahmad Hajin menegaskan bahwa pemboikotan atas produk-produk Perancis tidak memerlukan izin penguasa, dan dalam hal ini para ulama Azhar Mesir bersikap tegas : mendukung pemboikotan produk-produk Perancis sampai Perancis meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi penistaan terhadap Nabi kembali. Majelis Ulama Indonesia juga mendukung gerakan pemboikotan ini. Sikap para ulama ini mestinya diikuti oleh segenap kaum muslimin, khususnya kaum muslimin di Indonesia.

Dijawab oleh : Ust. Muhammad Rivaldy Abdullah.

Leave a Comment