Fatwapedia.com – Apa status hukum sembelihan ahlil kitab? Sembelihan orang Ahli Kitāb (Yahūdi dan Nashrōnī) itu adalah halāl. Hal ini berdasarkan keterangan dari Al-Quran maupun As-Sunnah.
Kata Allōh ﷻ di dalam firman-Nya di dalam al-Qur-ān yang suci:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
(arti) “Pada hari ini dihalālkan bagi kamu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitāb itu halāl bagi kamu, sedangkan makanan kamu halāl (pula) bagi mereka.” [QS al-Mā-idah (5) ayat 5].
Tetapi kan “Ahli Kitāb” di Zaman Nabī beda dengan yang sekarang?
Siapa bilang? Bahkan semenjak dari dahulu pun mereka sudah Allōh ﷻ dan Rosūl-Nya ﷺ kāfirkan.
Kata Allōh ﷻ di dalam firman-Nya:
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
(arti) “Orang-orang kāfir di kalangan Ahli Kitāb dan orang-orang Musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.” [QS al-Bayyinah (98) ayat 1].
Jadi yang namanya Ahli Kitāb itu mau dulu ataupun sekarang sama saja, KĀFIR.
Sehingga status sembelihannya baik pada masa lalu maupun masa sekarang pun sama saja, yaitu: halāl. Namun demikian, ada syaratnya.
Apa syaratnya?
Syaratnya yaitu:
1. Binatang yang disembelih adalah binatang sembelihan yang halāl dimakan oleh orang Muslim.
2. Menyembelihnya adalah WAJIB seperti bagaimana orang Islām menyembelihnya, yaitu dengan dipotong saluran makanan dan saluran nafasnya hingga darahnya mengalir.
Jadi tidak boleh memakan daging hewan yang dibunuh dengan cara dicekik, digetok batok kepalanya dengan stunt gun, disetrum, atau ditenggelamkan. Yang demikian adalah: TIDAK HALĀL.
3. Tidak menyebutkan nama selain Allōh ﷻ, termasuk juga tidak boleh disembelih dalam rangka mendekatkan (diri) kepada Thōghūt atau hari besar agama mereka, sekalipun mereka tidak menyebutkan nama selain Allōh ﷻ pada saat menyembelih.
Kata Allōh ﷻ di dalam firman-Nya:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
(arti) “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebutkan nama Allōh pada saat menyembelihnya. Sungguh-sungguh perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasiqkan.” [QS al-An‘ām () ayat 121].
Tapi kan kalau disembelih sekalipun, mereka tidak menyebut nama Allōh ﷻ?
Masalah tidak mengetahui ataupun tidak mengetahui apakah disebutkan nama Allōh ketika menyembelihnya, maka tetap diperbolehkan untuk memakan sembelihan mereka dengan membaca “Bismillāh” terlebih dahulu sebelum memakannya.
Ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imām al-Bukhōriy رحمه الله تعالى dari Ibunda ‘Ā-isyah رضي الله تعالى عنها ketika para Shohābat bertanya tentang adanya orang Yahūdi Banī Isrō-īl yang mengantarkan daging kepada mereka dan mereka tidak mengetahui apakah Yahūdi Banī Isrō-īl itu menyebutkan nama Allōh atau tidak pada saat menyembelihnya.
Maka kata Baginda Nabī ﷺ:
سَمُّوا اللَّهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ
(arti) “Hendaklah kalian baca Bismillāh lalu makanlah.” [HR al-Bukhōriy no 2057, 5507; Abū Dāwūd no 2829; an-Nasā-iy no 4436; Ibnu Mājah no 3174; ad-Dārimī no 2019; Mālik no 1080].
Katai Syaikh Muhammad ibn Shōlih al-Utsaymīn رحمه الله تعالى:
ولا يلزم السؤال عما ذبحه المسلم أو الكتابي كيف ذبحه ، وهل سمى عليه أو لا ؟ بل ولا ينبغي ، لأن ذلك من التنطع في الدين ، والنبي ﷺ أكل مما ذبحه اليهود ولم يسألهم . وفي صحيح البخاري وغيره عن عائشة رضي الله عنها أن قوما قالوا للنبي ﷺ : إن قوما يأتوننا بلحم لا ندري أذكروا اسم الله عليه أم لا ، فقال : ( سموا عليه أنتم وكلوه ) قالت : وكانوا حديثي عهد بكفر . فأمرهم النبي ﷺ بأكله دون أن يسألوا مع أن الآتين به قد تخفى عليهم أحكام الإسلام ، لكونهم حديثي عهد بكفر
(arti) “Tidak harus bertanya tentang siapa yang menyembelih, (apakah) orang Islām atau Ahli Kitāb tentang bagaimana cara mereka menyembelihnya, apakah membaca Bismillāh atau tidak? Bahkan (bertanya) demikian tidaklah layak, karena hal itu termasuk berlebih-lebihan di dalam beragama. Sementara Nabī ﷺ makan dari apa yang disembelih oleh orang Yahūdi tanpa menanyakan kepada mereka. Dalam Shohīh al-Bukhōriy dan yang lainnya, dari ‘Ā-isyah رضي الله تعالى عنها disebutkan bahwa orang-orang bertanya kepada Nabī ﷺ: “Sungguh orang non-Muslim mengantarkan daging kepada kami, sedangkan kami tidak mengetahui apakah mereka menyebut nama Allōh atau tidak?”, maka Beliau ﷺ bersabda: “Hendaknya kalian baca Bismillāh lalu makanlah.”. ‘Ā-isyah mengatakan: “Mereka baru masuk Islām”, maka Nabī ﷺ memerintahkan kepada mereka untuk memakannya tanpa menanyakannya, padahal orang-orang yang datang itu boleh jadi tidak mengerti hukum-hukum Islām dikarenakan mereka baru masuk Islām.” [lihat: Muhammad ibn Shōlih al-‘Utsaymīn, Risālah fī Ahkāmul-Udh-hiyah wal-Dzakāh].
Bagaimana ketika bepergian ke Negeri Barat?
Berdasarkan penjelasan di atas, maka Muslim yang bepergian ke negara kaum Kuffār yang mayoritas penyembelihnya adalah orang Yahūdi dan Nashrōnī, maka diperboleh memakan dari sembelihan mereka.
KECUALI kalau diketahui betul bahwa orang membunuh hewan sembelihan itu dengan cara menggetok batok kepalanya dengan stunt gun atau melistriknya, atau mencekiknya, atau diketahui bahwa mereka menyebutkan selain nama selain dari nama Allōh ﷻ ketika menyembelihnya.
Adapun kalau orang yang menyembelih itu adalah orang yang beragama Paganis, Rōfidhoh atau Komunis, maka sembelihannya TIDAK HALĀL.
Kalau sembelihannya tidak halāl, maka tentunya diharōmkan memakan darinya walau dengan alasan terpaksa sekalipun SELAMA masih dapat memakan hewan laut.
Bagaimana dengan daging olahan yang masuk ke negeri kita yang asalnya dari Negara Ahli Kitāb (Yahūdi dan Nashrōnī)?
Jikalau hasil daging dari pabrik yang diketahui dengan jelas dimiliki oleh Ahli Kitāb (Yahudi dan Nashrōnī) namun tidak diketahui cara membunuhnya, maka daging ini halāl berdasarkan firman Allōh ﷻ dan hadīts mulia di atas.
Bagaimana dengan keju?
Keju yang diimpor dari negara-negara orang kāfir itu pada dasarnya halāl karena para diketahui dari perbuatan para Shohābat رضي الله تعالى عنهم yang memakan keju yang mereka peroleh dari Persia (yang ketika itu adalah beragama Majūsi) [lihat: Nāshiruddīn al-Albāniy, Majmū‘ Fatāwa al-‘Alāmah al-Albāniy].
Diriwayatkan dari ‘Ikrimah bahwa ‘Abdullāh ibn al-Abbās رضي الله تعالى عنهما mengisahkan:
أُتِيَ النَّبِيُّ ﷺ بِجُبْنَةٍ فِي غَزَاةٍ فَقَالَ : أَيْنَ صُنِعَتْ هَذِهِ ؛ فَقَالُوا : بِفَارِسَ وَنَحْنُ نُرَى أَنَّهُ يُجْعَلُ فِيهَا مَيْتَةً ؛ فَقَالَ : اطْعَنُوا فِيهَا بِالسِّكِّينِ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ وَكُلُوا ذَكَرَهُ شَرِيكٌ مَرَّةً أُخْرَى فَزَادَ فِيهِ فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَهَا بِالْعِصِيِّ
(arti) “Dibawakan keju kepada Nabi ﷺ dalam sebuah wadah, lalu Beliau bertanya, “Di mana dibuatnya?” ; Mereka menjawab: “Persia, kami melihat bahwa itu dibuat dengan bahan dari bangkai.” ; Beliau ﷺ : bersabda: “Tusukkan pisau padanya, kemudian sebutlah nama Allōh, lalu makanlah.”” [HR Ahmad no 2619 ~ dinilai shohīh oleh Syaikh Syu‘ayb al-Arnaūth].
Demikian, semoga bermanfaat.
Kita berdo’a:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْماً نَافِعاً ، وَرِزْقاً طَيِّباً ، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
{allōhumma innīas-aluka ‘ilmān nāfi‘ān, wa rizqōn thoyyibān, wa ‘amalān mutaqobbalan}
(arti) “Wahai Allōh, aku memohon kepada-Mu ‘ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan ‘amal yang diterima.”
Penulis: Arsyad Syahrial