Hukum Kesalahan Membaca Al Fatihah dalam Shalat

kewajiban mengamalkan tajwid pada hal-hal yang apabila ditinggalkan dapat mengubah makna. Dalam konteks bacaan surat Al-Fâtihah di dalam shalat,


Fatwapedia.com – Sesungguhnya para ulama telah sepakat kewajiban mengamalkan tajwid pada hal-hal yang apabila ditinggalkan dapat mengubah makna. Dalam konteks bacaan surat Al-Fâtihah di dalam shalat, maka berikut pendapat para ulama:
Dari kalangan madzhab Asy-Syâfi’iy, Imâmul Madzhab Muhammad ibn Idrîs Asy-Syâfi’iy mengatakan dalam Al-Umm (1/215):
وَإنۡ لَحَنَ فِي أُمِّ ٱلۡقُرۡآنِ لِحَانًا يُحِيلُ مَعۡنَى شَيۡءٍ مِنۡهَا, لَمۡ أَرَ صَلَاتَهُ مُجۡزِئَةً عَنۡهُ, وَلَا عَمَّنۡ خَلۡفَهُ. وَإِنۡ لَحَنَ فِي غَيۡرِهَا كَرِهۡتُهُ, وَلَمۡ أرَ عَلَيۡهِ إِعَادَةً, لِأَنَّهُ لَوۡ تَرَكَ قِرَاءَةَ غَيۡرِ أُمِّ ٱلۡقُرۡآنِ وَأَتَى بِأُمِّ ٱلۡقُرۡآنِ رَجَوۡتُ أنۡ تُجۡزِئَهُ صَلَاتُهُ. وَإِذَا أَجۡزَأَتۡهُ أَجۡزَأَتۡ مَنۡ خَلۡفَهُ إِنۡ شَاءَ ٱللَّهُ تَعَالَى. وَإِنۡ كَانَ لَحۡنُهُ فِي أُمِّ ٱلۡقُرۡآنِ وَغَيۡرِهَا لَا يُحِيلُ ٱلۡمَعۡنَى أَجۡزَأَتۡ صَلَاتُهُ وَأَكۡرَهُ أَن يَكُونَ إمَامًا بِحَالٍ.
“Orang yang keliru dalam surat Al-Fâtihah dengan lahn yang menyebabkan perubahan makna, saya berpendapat bahwa shalatnya tidak sah. Begitupula tidak sah orang yang shalat di belakangnya (menjadi makmum). Adapun jika kekeliruannya (yang mengubah makna itu) pada selain Al-Fâtihah, maka saya tidak menyukainya, namun saya tidak berpendapat bahwa ia mesti mengulangi shalatnya. Karena kalaupun ia meninggalkan (tidak membaca) surat selain Al-Fâtihah dan hanya membaca Al-Fâtihah saja, saya berharap shalatnya diterima. Apabila (dengan itu) shalatnya sah, maka begitupula shalat makmum di belakangnya, insyâAllâh. Jika kekeliruannya terjadi pada surat Al-Fâtihah atau surat yang lainnya namun tidak sampai mengubah makna, maka shalatnya sah. Namun saya membencinya menjadi imam, bagaimanapun keadaannya.”
Kemudian Al-Imâm An-Nawawiy berkata dalam Al-Majmû’ (3/ 392):
تَجِبُ قِرَاءَةُ ٱلۡفَاتِحَةِ فِي ٱلصَّلَاةِ بِجَمِيعِ حُرُوفِهَا وَتَشۡدِيدَاتِهَا, وَهُنَّ أَرۡبَعَ عَشۡرَةَ تَشۡدِيدَةً فِي ٱلۡبَسۡمَلَةِ مِنۡهُنَّ ثَلَاثٌ, فَلَوۡ أَسۡقَطَ حَرۡفًا مِنۡهَا أَوۡ خَفَّفَ مُشَدَّدًا أَوۡ أَبۡدَلَ حَرۡفًا بِحَرۡفٍ مَعَ صِحَّةِ لِسَانِهِ لَمۡ تَصِحَّ قِرَاءَتُهُ. وَلَوۡ أَبۡدَلَ الضَّادَ بِالظَّاءِ فَفِي صِحَّةِ قِرَاءَتِهِ وَصَلَاتِهِ وَجۡهَانِ… (أَصَحُّهُمَا) لَا تَصِحُّ.
“Wajib membaca surat Al-Fâtihah di dalam shalat dengan menyempurnakan seluruh huruf dan tasydidnya yang berjumlah empat belas, dan di antaranya tiga tasydid pada basmalah. Apabila ada huruf yang tidak terbaca atau meringankan tasydid (membaca huruf bertasydid dengan biasa, sebagaimana tanpa tasydid), atau mengganti sebuah huruf dengan huruf yang lain, padahal lisannya sehat, maka bacaannya (di dalam shalat tersebut) tidak sah. Apabila ia mengganti huruf Dhad menjadi Zha, maka dalam permasalahan keabsahan bacaan dan shalatnya terdapat dua pendapat. Pendapat yang paling shahih adalah tidak sah.”
Al-Imâm An-Nawawiy melanjutkan (3/ 393):
إذَا لَحَنَ فِي ٱلۡفَاتِحَةِ لَحۡنًا يُخِلُّ ٱلۡمَعۡنَى بِأَنۡ ضَمَّ تَاءَ أَنۡعَمۡتَ أَوۡ كَسَرَهَا أَوۡ كَسَرَ كَافَ إيَّاكَ نَعۡبُدُ أَوۡ قَالَ إيَّاءَ بِهَمۡزَتَيۡنِ لَمۡ تَصِحَّ قِرَاءَتُهُ وَصَلَاتُهُ إنۡ تَعَمَّدَ, وَتَجِبُ إعَادَةُ ٱلۡقِرَاءَةِ إنۡ لَمۡ يَتَعَمَّدۡ. وَإِنۡ لَمۡ يُخِلَّ ٱلۡمَعۡنَى كَفَتۡحِ دَالِ نَعۡبُدُ وَنُونِ نَسۡتَعِينُ وَصَادِ صِرَاطَ وَنَحۡوِ ذَلِكَ لَمۡ تَبۡطُلۡ صَلَاتُهُ وَلَا قِرَاءَتُهُ وَلَكِنَّهُ مَكۡرُوهٌ وَيَحۡرُمُ تَعَمُّدُهُ. وَلَوۡ تَعَمَّدَهُ لَمۡ تَبۡطُلۡ قِرَاءَتُهُ وَلَا صَلَاتُهُ هَذَا هُوَ الصَّحِيحُ.
“Jika ia melakukan kekeliruan dalam surat Al-Fâtihah dengan lahn yang mengubah makna, seperti mendhammahkan huruf Ta pada kata “an’amta” (menjadi an’amtu) atau mengkasrahkannya (menjadi “an’amti”), atau mengkasrahkan huruf Kaf pada kata “iyyâka na’budu” (menjadi “iyyâki”), atau ia membacanya menjadi “iyyâ`a” dengan dua huruf Hamzah, maka bacaan dan shalatnya tidak sah, bila dilakukan dengan sengaja. Adapun apabila kekeliruannya tidak mengubah makna, seperti memfathahkan huruf Dal pada kata “na’budu” (menjadi “na’buda”) atau huruf Nun pada kata “nasta’înu” (menjadi nasta’îna) atau huruf Shad pada kata “shirâtha” (menjadi “sharâtha”) atau hal-hal yang semisalnya, maka shalat dan bacaannya tidak batal, namun makruh melakukannya dan haram hukumnya apabila dilakukan dengan sengaja. Apabila ia melakukan semua itu dengan sengaja, maka shalat dan bacaannya tidak batal. Inilah pendapat yang shahih.”
Dari kalangan madzhab Hanbaliy, Al-Imâm Ibn Qudâmah dalam Al-Mughnî (I/348) mengatakan:
يَلۡزَمُهُ أَنۡ يَأۡتِيَ بِقِرَاءَةِ ٱلۡفَاتِحَةِ مُرَتَّبَةً مُشَدَّدَةً, غَيۡرَ مَلۡحُونٍ فِيهَا لَحۡنًا يُحِيلُ ٱلۡمَعۡنَى. فَإِنۡ تَرَكَ تَرۡتِيبَهَا أَوۡ شَدَّةً مِنۡهَا أَوۡ لَحَنَ لَحۡنًا يُحِيلُ ٱلۡمَعۡنَى مِثۡلُ أَنۡ يَكۡسِرَ كَافَ (إيَّاكَ) أَوۡ يَضُمَّ تَاءَ (أَنۡعَمۡتَ) أَوۡ يَفۡتَحَ أَلِفَ ٱلۡوَصۡلِ فِي (ٱهۡدِنَا), لَمۡ يَعۡتَدَّ بِقِرَاءَتِهِ إلَّا أَنۡ يَكُونَ عَاجِزًا عَنۡ غَيۡرِ هَٰذَا.
“Wajib baginya untuk membaca surat Al-Fâtihah secara tertib urutannya dan ditunaikan tasydidnya, tanpa terjatuh pada kekeliruan yang dapat mengubah makna. Apabila ia meninggalkan urutannya atau tidak membaca tasydidnya, atau terjatuh pada kekeliruan yang mengubah makna seperti mengkasrahkan huruf Kaf pada kata “iyyâka” (menjadi “iyyâki”) atau mendhammahkan huruf Ta pada kata “an’amta” (menjadi “an’amtu”), atau memfathahkan Alif Washl pada kata “ihdinâ” (menjadi “ahdinâ”), maka bacaannya tidak terhitung (tidak sah), kecuali apabila ia benar-benar dalam kondisi tidak mampu untuk membacanya dengan benar.”
Dari kalangan madzhab Hanbaliy yang lain, Syaikhul Islâm Ibn Taymiyyah mengatakan dalam Majmû’ul Fatâwâ (23/ 350):
وَأَمَّا مَنۡ لَا يُقِيمُ قِرَاءَةَ ٱلۡفَاتِحَةِ فَلَا يُصَلِّي خَلۡفَهُ إلَّا مَنۡ هُوَ مِثۡلُهُ. فَلَا يُصَلِّي خَلۡفَ ٱلۡأَلۡثَغِ ٱلَّذِي يُبَدِّلُ حَرۡفًا بِحَرۡفٍ إلَّا حَرۡفَ ٱلضَّادِ إذَا أَخۡرَجَهُ مِنۡ طَرَفِ ٱلۡفَمِّ كَمَا هُوَ عَادَةُ كَثِيرٍ مِنَ ٱلنَّاسِ
“Dan adapun seseorang yang tidak bisa membaca Al-Fâtihah (dengan benar), maka janganlah shalat di belakangnya (menjadi makmum), (karena shalatnya tidak sah) kecuali bagi orang yang semisal dengannya. Maka janganlah shalat (menjadi makmum) di belakang orang yang cadel berat yang dapat mengubah sebuah huruf menjadi huruf yang lain. Kecuali apabila perubahannya terjadi pada huruf Dhad saat ia mengeluarkannya dari ujung mulutnya, sebagaimana hal tersebut sudah menjadi kebiasaan bagi banyak orang (mengubahnya menjadi huruf Zha).”
Dari kalangan Mâlikiyyah, Al-Imâm Mâlik bin Anas mengatakan:
إِذَا صَلَّى ٱلۡإِمَامُ بِقَوۡمٍ فَتَرَكَ ٱلۡقِرَاءَةَ ٱنۡتَقَضَتۡ صَلَاتُهُ وَصَلَاةُ مَنۡ خَلۡفَهُ وَأَعَادُواْ وَإِنۡ ذَهَبَ ٱلۡوَقۡتُ. قَالَ: فَذَٰلِكَ ٱلَّذِي لَا يُحۡسِنُ ٱلۡقُرۡآنَ أَشَدُّ عِنۡدِي مِنۡ هَٰذَا لِأَنَّهُ لَا يَنۡبَغِي لِأَحَدٍ أَنۡ يَأْتَمَّ بِمَنۡ لَا يُحۡسِنُ ٱلۡقُرۡآنَ.
“Apabila seseorang shalat menjadi imam bagi suatu kaum, kemudian ia tidak membaca Al-Qurân, maka shalatnya batal. Begitupula shalat makmum yang ada di belakangnya. Mereka semuanya mesti mengulang shalat, walau waktunya telah habis.” Al-Imâm Mâlik mengatakan: “Dan orang yang tidak bisa membaca Al-Qurân bagiku lebih berat lagi hukumnya daripada orang yang terlupa bacaan. Karenanya, janganlah seseorang menjadi makmum di belakang orang yang tidak bisa membaca Al-Qurân.” [Al-Mudawwanatul Kubrâ, I/ 177]
Adapun Hanafiyyah merinci permasalahan ini sebagai berikut:
Al-Mutaqaddimûn dari kalangan Ahnâf menilai apabila seseorang terjatuh pada lahn jaliy yang mengubah makna dan ia meyakininya sebagai kebenaran, maka ia kufur dan batal shalatnya.
Sedangkan apabila lahn jaliy tersebut tidak mengubah makna menjadi buruk, maka menurut Abû Hanîfah dan Muhammad bin Al-Hasan shalatnya juga batal, sedangkan menurut Abû Yûsuf dan sekelompok ulama Hanafiyyah tidak batal.
Adapun Al-Muta`akhkhirûn dari kalangan Hanafiyyah menilai lahn jaliy dalam Al-Fâtihah tidak membatalkan shalat secara mutlak, karena menurut pandangan mereka Al-Fâtihah bukanlah termasuk rukun shalat, melainkan wajib shalat. [Risâlah Fî Tajwîdil Fâtihah hlm. 7]
Dr. ‘Abdul ‘Azîz bin Muhammad Al-Hajîlan dalam Al-Ahkâmul Fiqhiyyah Al-Khâshshah Bil Qur`ânil Karîm (hlm. 161) mengatakan bahwa para ulama sepakat mengenai tidak sahnya shalat dan tidak sahnya imâmah (kepemimpinan dalam shalat) seseorang yang secara sengaja membaca Al-Qurân sampai mengubah makna. Namun, mereka berbeda pendapat apabila dilakukan secara tidak sengaja dalam empat pendapat:
Pertama, apabila kekeliruan yang mengubah makna itu pada surat Al-Fâtihah, maka batal shalatnya dan apabila kekeliruan yang mengubah makna itu pada selain Al-Fâtihah maka sah shalatnya tapi makruh.  Ini merupakan pendapat Al-Imâm Asy-Syâfi’iy dan Ashhâb-nya, serta pendapat para ulama Hanabilah.
Kedua, tidak sah kepemimpinan seorang imam yang terjatuh pada lahn yang mengubah makna, baik dalam surat Al-Fâtihah ataupun selainnya. Ini merupakan pendapat Al-Mutaqaddimûn dari kalangan Hanafiyyah dan sebagian Mâlikiyyah.
Ketiga, sah secara mutlak kepempimpinan seorang imam, baik lahn pada Al-Fâtihah atau selainnya. Ini merupakan pendapat Al-Muta`akhkhirûn dari kalangan Hanafiyyah dan sebagian Mâlikiyyah.
Keempat, tidak sah imâmah seseorang apabila lahn yang mengubah makna terjadi pada Al-Fâtihah, sedangkan apabila di luar Al-Fâtihah maka sah tanpa ada kemakruhan. Ini merupakan pendapat sebagian Mâlikiyyah.
Setelah mengemukakan empat pendapat di atas dan merinci dalil-dalilnya beserta istidlâlnya, maka Dr. ‘Abdul ‘Azîz mengatakan,
ٱلَّذِي يَظۡهَرُ رُجۡهَانُهُ فِي هَذِهِ ٱلۡمَسۡأَلَةِ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِٱلصَّوَابِ هُوَ ٱلۡقَوۡلُ ٱلۡأَوَّلُ.
“Pendapat yang tampak bagiku keunggulannya dalam permasalahan ini – dan Allâh yang Maha Tahu atas kebenarannya – adalah pendapat yang pertama.”
Yaitu pendapat yang mengatakan bahwa apabila kekeliruan yang mengubah makna itu pada surat Al-Fâtihah, maka batal shalatnya dan apabila kekeliruan yang mengubah makna itu pada selain Al-Fâtihah maka sah shalatnya tapi makruh. Ini juga yang diunggulkan oleh Dr. ‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Munîf dalam Al-Imâmah wal Itmâmi Fish Shalâh. Wallâhu a’lam.
Penulis: Muhammad Laili Al-Fadhli –
[Dinukil dari Syarh Manzhûmah Al-Fâtihah dan Syarhul Indûnîsiy]

Leave a Comment