Fatwapedia.com – Sebagaimana diketahui bahwasanya aktivitas makan sahur adalah sunnah yang membedakan shaum kita dengan shaumnya orang yahudi. Tentu saja selain karena memenuhi sunnah Sayyiduna Rasulullah, makan sahur ini mengandung faidah yang banyak, terutama terkait ketahanan fisik dalam menjalani shaum.
Bisa jadi itulah alasan mengapa Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam memerintahkan kita untuk mengakhirkan makan sahur. Agar waktu shaum kita lebih pendek. Akhir batas sahur ini yang perlu kita bahas karena banyak manusia keliru dalam memahaminya.
Batas Akhir Waktu Makan Sahur Adalah Adzan Shubuh, dan Imsak Sebagai Peringatan Bahwa Shubuh Akan Segera Menjelang
Allaah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَـكُمُ الْخَـيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَـيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“..dan makan minumlah hingga nyata bagimu benang putih dari benang hitam berupa fajar” (QS. Al-Baqarah [2]: 187)
Ayat ini menunjukkan larangan atas makan minum jika telah terbit fajar (subuh), dengan penampakan “benang putih dari benang hitam” yang ada di angkasa.
Syaikh Sayyid Thantawi rahimahullah menafsirkan :
والمقصود من الخيط الأبيض: أول ما يبدو من الفجر الصادق المعترض في الأفق قبل انتشاره. والمقصود من الخيط الأسود: ما يمتد مع بياض الفجر من ظلمة الليل
“Dan maksud dari benang putih: Penampakan awal dari cahaya fajar shodiq/shubuh yang memanjang sepanjang ufuk sebelum benar-benar memancar luas di angkasa. Dan adapun maksud benang hitam: apa-apa yang menyelimuti langit beserta semburat cahaya fajar berupa gelapnya malam.” (At-Tafsir Al-Wasith, 1/396)
Ketentuan tersebut dikuatkan dengan riwayat hadits : Dari ‘Aisyah, bahwasanya Bilal dahulu senantiasa adzan ketika malam, maka berkata Rasulullaah,
« كُلُوا وَاشْرَبُواحَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الفَجْرُ »
“Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan Adzan. Karena sesungguhnya dia tidak mengumandangkan adzan hingga fajar terbit [waktu shubuh].” (HR. Al-Bukhari No. 1918, 1919)
Ummat Islam pada saat itu tidak diperbolehkan makan minum ketika Ibnu Ummi Maktum telah mengumandangkan adzan. Perlu diketahui bahwa di masa Nabi, terdapat dua adzan di waktu akhir malam. Adzan awal dikumandangkan oleh Bilal, dan adzan kedua dikumandangkan oleh Ibnu Ummi Maktum. Adzan Bilal hanya berfungsi sebagai peringatan [tanbih] untuk mengerjakan qiyamul layl; sedangkan adzan nya Ibnu Ummi Maktum menjadi pertanda masuk waktu shubuh. Adzan nya Bilal saat fajar kadzib, dan adzan nya Ibnu Ummi Maktum saat fajar shodiq. Dari Ibn ‘Umar, bahwasanya Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam bersabda,
إنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
“Sesungguhnya Bilal adzan di malam hari [adzan pertama], maka kalian masih boleh makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum adzan [adzan kedua atau adzan untuk shalat Subuh]”. (Muttafaq ‘Alayh)
Berkata Imam An-Nawawi rahimahullaah dalam masalah ini :
“Berkata para ulama madzhab kami : Fajar itu ada dua, yang pertama disebut Fajar Awwal [fajar pertama], atau Fajar Kadzib. Dan yang kedua disebut Fajar Tsani [fajar kedua], atau Fajar Shodiq. Maka fajar awwal itu muncul membentuk panjang garis di angkasa seperti ekor serigala. Kemudian menghilang selama beberapa saat dan setelah itu muncul fajar tsani /fajar shodiq yang sinarnya merata, yakni menyebar secara merata di ufuk.
Berkata ulama madzhab kami : Dan hukum-hukum seluruhnya berkaitan dengan fajar tsani [fajar kedua]. Di dalamnya masuk waktu shalat shubuh; keluarnya dari waktu shalat Isya; masuknya awal shaum; mulai terlarangnya makan minum bagi orang yang shaum; dan dengan nya berakhir malam serta bermulainya siang. Tidak ada kaitan sama sekali antara fajar awwal dengan hukum apa pun berdasarkan ijma’ kaum muslimin.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 3/44)
Kesimpulannya, makan dan minum saat adzan shubuh [fajar tsani/fajar shodiq] berkumandang, bagi yang berniat shaum hukumnya haram. Karena waktu itu adalah waktu dimana makan dan minum sudah terlarang.
Muncul pertanyaan, bagaimana dengan hadits riwayat Abu Dawud yang memperbolehkan makan dan minum, meski adzan berkumandang?
Haditsnya :
«إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ، فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ»
“Apabila salah seorang dari kalian mendengar adzan dalam kondisi bejana [air minum] masih berada di tangannya, jangan diletakkan sampai dia menunaikan hajatnya darinya [meminumnya]”. (HR. Abu Dawud No. 2350, Ahmad No. [2/423])
Seolah-olah pada saat adzan berkumandang, orang yang shaum masih boleh untuk makan dan minum.
Jawaban bagi kemusykilan ini ialah :
(1). Hadits ini dianggap mengandung ‘illah (kecacatan). Atau, oleh para ulama pemahaman nya di giring dan diselaraskan dengan ayat Al-Qur’an dan hadits shahih yang lain. Sebagaimana hadits tersebut, beberapa riwayat serta atsar sahabat yang menggambarkan seolah-olah para sahabat mengabaikan adzan shubuh dan mengambil tindakan yang bertolak belakang dengan ayat: “makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam berupa fajar” (QS. 2: 187), juga di selaraskan dengan dalil lain agar tidak rancu.
Para ‘ulama tidak sembarangan dalam menghasilkan sebuah kesimpulan hukum. Semua dalil dan nash yang ada diakomodir untuk kemudian di gali dan dipahami secara mendalam.
Syaikh Muqbil Ibn Hadi Al-Wadi’iy memasukkan hadits tersebut ke dalam kitab nya, Ahaadits Mu’allah Dzahiruha As-Shihhah [Hadits-hadits yang mengandung ‘illah/cacat yang penampakan dzahirnya shahih] (hal. 437, No. Hadits 468).
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya; dari Hammad, dari Muhammad Ibn Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah dengan lafadz sebagaimana di atas.
Hadits ini dianggap cacat oleh Ibnul Qaththan karena ketersambungan sanadnya diragukan. Imam Ahmad mengeluarkan hadits ini di dalam Musnad-nya (2/510), dan Hakim di dalam Al-Mustadrak (1/203), serta Al Bayhaqi di dalam Al-Kubra (4/218), dari jalur Hammad, dari ‘Ammar, dari Abu Hurairah secara mauquf.
Berkata Ibn Abi Hatim di dalam Al-‘Ilal (1/123) : “Aku bertanya pada Ayahku (Abu Hatim) tentang hadits mengenai hadits riwayat Rauh Ibn ‘Ubadah, dari Hammad, dari Muhammad Ibn Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah dengan lafadz di atas. Diriwayatkan pula oleh Rauh, dari Hammad, dari Ammar, dari Abu Hurairah, dari Nabi dengan lafadz persis hadits diatas namun terdapat tambahan : “dan muadzin mengumandangkan adzan jika terbit fajar.” Berkata Ayahku : Kedua hadits ini tidak shahih.
At-Thahawi memandang bahwa hadits tersebut [beserta dengan hadits-hadits serupa yang dijadikan syawahid], kalau lah shahih, maka kedudukannya ter-nasakh [terhapus]. Sebab, bertentangan dengan nash ayat dan hadits yang melarang makan minum tatkala terbit fajar [adzan berkumandang]. (Syarh Ma’ani Al-Atsar, 2/52)
(2). Imam An-Nawawi mengutip dari Imam Al-Bayhaqi :
“Hadits ini –kalau pun shahih- [seolah Imam Al-Bayhaqi mengetahui bahwa hadits ini mengandung ‘illah.-penj], maka menurut mayoritas ulama’ dibawa kepada kemungkinan : Bahwa Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam mengetahui adzan shubuh diserukan beberapa saat sebelum fajar tsani muncul [tidak pas saat shubuh], dimana otomatis minum nya seseorang [saat berkumandang adzan itu] terjadi sebelum muncul nya fajar tsani…
Kemudian Imam Al-Bayhaqi berkata kembali : Ucapan yang disebutkan dalam hadits tersebut, “dan muadzin mengumandangkan adzan jika terbit fajar” kemungkinan merupakan ucapan yang bukan berasal dari Abu Hurairah [periwayat hadits ini].
Atau, bisa juga dimaksudkan untuk adzan kedua sehingga yang dimaksud di dalam hadits : “Jika salah seorang kamu mendengar adzan dan minuman masih ditangannya dst” itu maksudnya adalah adzan pertama [adzan-nya Bilal], sehingga pemahaman ini sejalan dengan hadits riwayat Ibn ‘Umar dan ‘Aisyah [yang memerintahkan untuk berhenti makan minum saat terbit fajar]”. (Al Majmu’, 6/311-312. Lihat juga As-Sunan Al-Kubra lil Bayhaqi, 4/218)
Kemungkinan bahwa adzan yang dimaksud dalam hadits tersebut merupakan adzan pertama, dikuatkan dengan riwayat At-Tirmidzi :
«لَا يَمْنَعَنَّكُمْ مِنْ سُحُورِكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ، وَلَا الفَجْرُ المُسْتَطِيلُ، وَلَكِنِ الفَجْرُ المُسْتَطِيرُ فِي الأُفُقِ»
“Janganlah adzan Bilal menahan/membuat kalian berat dalam bersahur, termasuk cahaya fajar yang memanjang di angkasa; akan tetapi yang menahan kalian adalah cahaya fajar yang memanjang di ufuk” (HR. At-Tirmidzi No. 706)
Meski cahaya fajar nampak dan adzan dikumandangkan, ketahuilah bahwa adzan tersebut menandakan fajar kadzib [dalam bahasa Indonesia disebut ‘fajar yang menipu’], sehingga tetap boleh minum dan menunaikan hajatnya. Adapun jika sudah dikumandangkan adzan kedua [saat fajar shodiq], maka sudah tidak boleh menunaikan hajat makan minum.
(3). Di sini lah penting nya keberadaan waktu imsak bagi mereka yang makan sahur. Sebagian orang tidak tahu bahwa adanya konsep “imsak” [berhenti makan beberapa saat sebelum fajar], itu dicontohkan oleh Rasulullah.
Dari Anas Ibn Malik, dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :
«تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ»، قُلْتُ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحُورِ؟ ” قَالَ: «قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً»
Kami makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam lantas beliau berdiri untuk shalat. Aku [Anas Ibn Malik] bertanya : “Berapa kadar waktu antara adzan dan [selesai] makan sahur?” Zaid menjawab : “Sekitar lima puluh ayat.” (HR. Al-Bukhari No. 1921).
Al-Imam As-Syafi’I rahimahullah berkata:
وَاسْتُحِبَّ التَّأَنِّي بِالسُّحُورِ مَا لَمْ يَكُنْ فِي وَقْتٍ مُقَارِبٍ يَخَافُ أَنْ يَكُونَ الْفَجْرُ طَلَعَ فَإِنِّي أُحِبُّ قَطْعَهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ
“Dan dianjurkan untuk santai dalam menyantap sahur [tidak tergesa-gesa], selama tidak masuk dalam waktu yang hampir berdekatan [dengan waktu shubuh] sehingga dikhawatirkan jika makan di waktu itu tiba-tiba fajar terbit/adzan shubuh. Maka aku sungguh suka jika makan dihentikan di waktu itu [maksudnya : beberapa saat sebelum adzan shubuh sudah berhenti makan].” (Al-Umm, 2/105)
Jadi, tidak boleh seseorang mengabaikan adzan shubuh dengan tetap makan dan minum, padahal fajar telah diyakini terbit. Seandainya begitu [makan minum saat adzan shubuh], maka ia wajib mengqadha shaumnya sehabis Ramadhan. Dalam hal ini menggunakan waktu imsak sebagai kehati-hatian [ihtiyath] adalah salah satu usaha terbaik agar tidak terjatuh dalam kelalaian ini. Wallaahu a’lam.
Penulis: Ustadz Muhammad Rivaldy Abdullah