Fikroh.com – Diantara fikih muamalah yang penting untuk kita pelajari adalah seputar hukum lamaran. Lamaran atau khitbah adalah upaya seorang pria untuk mendapat restu wali nikah dari pihak wanita yang hendak dinikahi, apakah diterima atau ditolak. Satu kasus yang mungkin terjadi adalah satu wanita dilamar oleh dua pria. Jika seorang laki-laki muslim telah melamar seorang perempuan, maka muslim yang lain tidak boleh maju melamar perempuan tersebut untuk menyaingi lamaran saudaranya itu. Hal ini sebagaimana telah diatur dalam hukum islam.
Dalil-dalil yang Melarang Hal ini:
a. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
… وَلَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
“… dan janganlah seseorang melamar perempuan yang telah dilamar saudaranya (sesama muslim) hingga jelas saudaranya itu jadi menikahinya atau tidak.” [Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (5143) dan Muslim (1413)]
b. Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang sebagian kalian berjual beli atas jual beli sebagian kalian yang lain (sesama muslim), dan melarang seseorang melamar perempuan yang telah dilamar oleh saudaranya (sesama muslim) hingga jelas pelamar sebelumnya tidak jadi menikahi si perempuan atau pelamar tersebut telah memberinya izin (melamar perempuan itu).” [Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (5142) dan Muslim (1412)]
c. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ فَلَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَذَرَ
“Seorang mukmin itu saudara bagi mukmin yang lain. Oleh karena itu, seorang mukmin jangan menawar barang yang telah ditawar saudaranya (sesama mukmin) dan jangan melamar perempuan yang telah dilamar saudaranya hingga jelas saudaranya itu meninggalkan lamarannya.” [Shahih. Hadits Riwayat: Muslim (1414)]
Larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ini menurut jumhur ulama dari kalangan Imam yang Empat dan selain mereka adalah bermakna pengharaman karena beliau di sini bermaksud melarang perbuatan yang membahayakan sesama anak Adam sehingga larangan itu bermakna pengharaman. Selain itu, karena adanya akibat buruk yang ditimbulkan perbuatan tersebut, seperti permusuhan dan kebencian, serta menyakiti dan melanggar hak seorang muslim. Dan juga karena akan mendorong pelamar kedua untuk mengesankan kesucian dirinya sendiri, dan kemudian mencela dan menggibahi saudaranya (pelamar pertama).
Apa Batasan Lamaran Yang Diharamkan Bagi Orang Lain Melamarnya?
Para ulama sepakat mengharamkan melamar perempuan yang telah dilamar oleh muslim yang lain apabila kepada pelamar tersebut telah disampaikan dengan terus terang (tashrih) bahwa lamarannya diterima dan pelamar tersebut tidak mengizinkan orang lain (untuk mengajukan lamaran kepada perempuan yang sama) dan tidak juga membatalkan (lamarannya), sedang pelamar kedua telah mengetahui adanya pelamar pertama dan telah diterimanya lamaran tersebut. [Jawahir al-Iklil (I/275), Nihayah al-Muhtaj (VI/199), al-Umm (V/39)]
Ulama Hanabilah tidak mensyaratkan cara tashrih (terus terang) dalam menyampaikan jawaban dan persetujuan atas lamaran. Mereka mengatakan bahwa menyampaikan persetujuan tersebut dengan cara ta‘ridh (sindiran) saja sudah cukup untuk mengukuhkan keharaman melamar perempuan yang telah dilamar orang lain. Ini juga merupakan salah satu dari dua pendapat Imam asy-Syafi‘i dalam masalah ini. Barangkali mereka suka dengan hadits “dan diamnya (gadis perawan) adalah izinnya” sehingga (menurut mereka) sikap diam menjadi dalil bagi persetujuan terhadap lamaran.
Ulama Syafi‘iyah –dalam pendapat yang paling shahih di kalangan mereka–, Hanafiyah, dan Malikiyah berpendapat bahwa menjawab lamaran seorang pelamar dengan cara sindiran tidaklah menjadikan orang lain haram melamar perempuan yang sama. Mereka berdalil dengan hadits Fathimah binti Qais radhiallahu ‘anha. Ketika dia menyebutkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Abu Jahm dan Mu‘awiyah melamarnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhnya untuk menikah dengan Usamah. Hadits ini telah kami sebutkan beberapa kali.
Mereka mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak mengingkari tindakan kedua sahabat yang melamar perempuan yang sama (Fathimah), bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri melamar Fathimah untuk Usamah.
Ulama Malikiyah mensyaratkan bagi haramnya melamar perempuan yang telah dilamar orang lain dengan adanya kepercayaan perempuan yang dilamar dan walinya, serta kerelaan mereka dengan lamaran pelamar pertama yang tidak fasik.
Penulis berkata: Pendapat yang kuat menurut saya adalah bahwa semata-mata majunya seorang muslim melamar seorang perempuan telah menjadikan muslim yang lain haram melamar perempuan tersebut jika dia mengetahuinya. Pada saat itu juga dia tidak boleh maju melamar kecuali jika dia mengetahui ketidak sukaan pihak perempuan terhadap pelamar pertama, atau pelamar pertama telah memberinya izin untuk maju, atau pelamar pertama membatalkan lamarannya. Ini pendapat Abu Muhammad bin Hazm dan yang dipilih oleh asy-Syaukani rahimahumallahu. Pendapat ini dikuatkan oleh hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma tentang kisah Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu menawarkan putrinya, Hafshah radhiallahu ‘anha, kepada Utsman dan Abu Bakar radhiallahu ‘anhuma. Di dalamnya terdapat perkataan Abu Bakar kepada Umar radhiallahu ‘anhuma, “Sebenarnya tidak ada yang menghalangiku untuk memberi jawaban atas tawaranmu kepadaku selain karena aku mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sering menyebut-nyebut dia (Hafshah), dan tidak mungkin aku akan menyebarkan rahasia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kalau saja beliau meninggalkannya, tentu aku akan menerima tawaranmu.” [Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (5145)]
Abu Bakar radhiallahu ‘anhu menahan diri melamar Hafshah radhiallahu ‘anha hanya semata-mata karena dia tahu keinginan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk maju melamarnya hingga beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam selesai mempertimbangkan urusannya. Maka bagaimanakah lagi dengan orang yang benar-benar maju melamar, dan dengan orang yang telah merampungkan lamarannya dan mendapat kepercayaan dan persetujuan dari pihak perempuan?!
Adapun hadits Fathimah binti Qais, maka sama sekali tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih lainnya yang melarang melamar di atas lamaran orang lain karena (dalam hadits tersebut) Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menasihati Fathimah setelah bermusyawarah dengannya dan menyerahkan keputusan kepadanya.
Jika ada yang bertanya, “Tidakkah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tahu bahwa ada lebih dari satu orang yang maju melamar Fathimah? Bagaimana mungkin beliau membiarkan hal itu terjadi padanya setelah ada larangan (beliau) dari melamar perempuan yang telah dilamar orang lain?”
Jawaban: Ada kemungkinan pelamar kedua maju melamarnya tanpa mengetahui adanya pelamar pertama, dan ada kemungkinan pula bahwa kedua lamaran itu terjadi pada waktu bersamaan atau berdekatan. Bisa jadi lamaran para pelamar itu telah mendapat penolakan dari Fathimah atau dari walinya, namun Fathimah ingin bermusyawarah dahulu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang masing-masing pelamar. [Ahkam az-Zawaj karya Dr. Umar al-Asyqar hafizhahullahu halaman 45. An-Nawawi telah mengisyaratkan sebagian di antaranya di dalam Syarh Muslim (III/569)]
Pendapat ini dikuatkan pula dengan hikmah di balik pelarangan lamaran ini, yaitu munculnya kebencian dan permusuhan, serta terkoyaknya rasa persaudaraan sebagai akibat dari melamar perempuan yang telah dilamar orang lain, baik pelamar kedua telah mengetahui persetujuan perempuan yang dilamar atau walinya atau pun tidak. Jika pelamar pertama telah memberi izin atau membatalkan lamarannya atau ditolak oleh pihak perempuan atau walinya, maka tidak ada masalah jika saat itu pelamar kedua maju melamar. Wallahu a‘lam.
Apabila Seseorang Melamar Perempuan Yang Telah Dilamar Orang Lain Lalu Melakukan Akad Nikah Dengannya, Maka Apakah Sah Nikahnya?
Telah dijelaskan bahwa lamaran seseorang kepada perempuan yang telah dilamar oleh orang lain adalah haram. Jika pelamar kedua tetap melaksanakan akad nikah dengannya, maka tentang sah tidaknya akad nikah tersebut ada dua pendapat di kalangan ulama. [Jawahir al-Iklil (I/276), Bidayah al-Mujtahid (2)]
Pertama: Akad Tersebut Rusak Atau Batal Dan Kedua Mempelai Harus Dipisahkan.Ini adalah salah satu dari dua pendapat di dalam madzhab Malik, Ahmad dan Daud, dan ini yang dipilih oleh Syaikh al-Islam. Dia berkata, “Ini yang lebih mendekati apa yang ada di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.” Kaidahnya menurut beliau adalah bahwa semua hal yang Allah larang dan haramkan dalam satu keadaan dan dibolehkan (halalkan) dalam keadaan yang lain, maka yang haram menjadi tidak sah dan tidak berlaku seperti yang halal di mana hukum berdampak padanya sebagaimana berdampak pada yang halal dan dengannya tercapai yang diinginkan sebagaimana tercapai dengan yang halal.
Adanya larangan menunjukkan bahwa objek yang dilarang, kerusakannya (dampak buruknya) lebih besar daripada kemaslahatannya (dampak baiknya), dan tidak disyariatkan melazimkan kerusakan dari orang yang disyariatkan menolaknya.
Kedua: Pelaku Akad Berdosa Karena Telah Melakukan Kemaksiatan, Tetapi Akad Nikahnya Sah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, yaitu: Abu Hanifah, asy-Syafi‘i, dan salah satu riwayat dari Malik dan dari Ahmad. Mereka mengatakan bahwa tidak ada ikatan kelaziman antara pengharaman melamar di atas lamaran orang lain dengan kesahan akad nikah pelamar-kedua karena objek pengharaman –yaitu lamaran– mendahului akad dan berada di luar akad dan bukan bagian dari akad. Akad nikah tetap sah meski tanpa didahului lamaran, sebagaimana halnya dosa pelamar kedua atas lamaran orang lain tetap ada meski dia tidak jadi melakukan akad.
Penulis berkata: Pendapat jumhur inilah yang penulis pegang.