Fatwapedia.com – Dewasa ini kita dapati ada oknum (bisa dari orang muslim) yang suka memplesetkan beberapa istilah dalam ajaran agama Islam. Tujuannya adalah mengolok-olok dan merendahkan nilai-nilai islam yang agung menjadi rendah dan tak dihormati. Kelakuan ini sejatinya bukan yang pertama kali terjadi. Maka tidak lah terlalu mengherankan, karena sejak zaman dahulu kala ini sudah dilakukan oleh mereka yang benar-benar sombong, merendahkan dan membangkang dengan ajaran agama. Sudah ada contoh sebelumnya dan tentu hasil akhirnya sangat merugi dunia dan akhirat.
Maksud dan arti kata “take beer”
Take beer merupakan istilah plesetan dari kata takbir (تكبير, Takbīra).
Takbir itu sendiri merupakan kalimat pujian yang dikumandangkan oleh umat Muslim untuk memuliakan nama Tuhan. Takbir juga merupakan istilah untuk membangkitkan semangat para muslim saat kondisi jihad.
Sedangkan kata take beer, merupakan seruan dari para penyindir kaum muslimin. Take beer sendiri jika diterjemahkan artinya: ambil minuman/mari minum-minum/ayo mabuk dengan minuman beralkohol. Dimana minuman beralkohol atau memabukkan adalah hal yang haram di dalam islam dan haram untuk muslim meminumnya.
Soal:
Assalamu’alaikum, ustadz bagaimana konsekwensi seorang muslim yang melakukan olok olok terhadap kalimat kalimat toyyibah dalam Islam sebagai bahan candaan dan gurauan.. seperti kalimat takbir yang sengaja diplesetkan dengan kata kata lain yang berkonotasi buruk..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillahirrahmanirrahim…
Mengolok-olok kalimat takbir, atau semisalnya, mesti dirinci dulu, sebagai berikut:
Pertama. Jika pelakunya benar-benar ingin atau berniat merendahkan kalimat takbir, mengolok-oloknya, baik secara terang-terangan atau sindiran, dan orang itu orang yang paham hujjah dan dalil agama, maka ini kekafiran.
Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan:
صَحَّ بِالنَّصِّ أَن كل من اسْتَهْزَأَ بِاللَّه تَعَالَى ، أَو بِملك من الْمَلَائِكَة ، أَو بِنَبِي من الْأَنْبِيَاء عَلَيْهِم السَّلَام ، أَو بِآيَة من الْقُرْآن ، أَو بفريضة من فَرَائض الدّين بعد بُلُوغ الْحجَّة إِلَيْهِ ، فَهُوَ كَافِر
Telah sah berdasarkan nash, bahwa orang yang mengolok-olok Allah Ta’ala, atau mengolok Malaikat di antara para malaikat, atau mengolok seorang nabi di antara para nabi ‘Alaihimussalam, atau satu ayat Al Qur’an, atau satu kewajiban di antara berbagai kewajiban agama setelah sampai kepada orang itu hujjah, maka dia kafir. (Al Fashlu fil Milal wal Ahwa wan Nihal, 3/142)
Kapankah seseorang dikatakan telah meledek agama atau konten-konten agama?
Imam Al Ghazali Rahimahullah menjelaskan:
” وَمَعْنَى السُّخْرِيَةِ : الِاسْتِهَانَةُ ، وَالتَّحْقِيرُ ، وَالتَّنْبِيهُ عَلَى الْعُيُوبِ وَالنَّقَائِضِ ، عَلَى وَجْهٍ يُضْحَكُ مِنْهُ ، وَقَدْ يَكُونُ ذَلِكَ بِالْمُحَاكَاةِ فِي الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ ، وَقَدْ يَكُونُ بِالْإِشَارَةِ وَالْإِيمَاءِ “.
Makna “ejekan” (kepada agama) adalah menghina, merendahkan, mendeklarasikan aib dan kekurangan, menertawakan, hal ini bisa terjadi lewat perkataan, perbuatan, dan juga bisa dengan isyarat atau anggukan. (Ihya ‘Ulumuddin, 3/131)
Bisa jadi “mengolok-olok” menjadi hal yang dianggap bias batasannya, dalam hal ini Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:
وإذا لم يكن للسب حد معروف في اللغة ولا في الشرع : فالمرجع فيه إلى عرف الناس ؛ فما كان في العرف سبا للنبي فهو الذي يجب أن ننزل عليه كلام الصحابة والعلماء ، وما لا فلا
Jika mencela itu tidak diketahui batasannya baik secara bahasa dan syariat, maka yang menjadi ukuran adalah tradisi yang berlaku di tengah manusia. Maka, apa yang oleh tradisi bahwa perkataan seseorang sudah dianggap mencela nabi, maka atas orang itu berhak dihukumi perkataan para sahabat dan ulama (terhadap orang yang mencela nabi). Ada pun yang tidak demikian menurut tradisi, maka tidak dihukumi seperti itu. (As Shaarim Al Masluul, Hal. 541)
Untuk kasus yang ditanyakan, tentang takbir yang dipelesetkan menjadi take beer, maka saya berbaik sangka bahwa -semoga- pelakunya tidak bermaksud mengolok-olok dan menghina, mungkin dia sedang terpeleset lisan atau jari jemarinya keserimpet saat mengetik. Sebab, kita yakin tidak ada ustadz yang paham agama, atau muslim yang waras, yang secara sadar melakukan itu.
Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah mengatakan:
إِحْسَان الظَّن بِاللَّه عز وَجل وبالمسلمين وَاجِب
Berbaik sangka kepada Allah dan kaum muslimin adalah wajib. (‘Umdatul Qaari, 20/133)
Kedua. Jika plesetan takbir menjadi take bee adalah diniatkan sebagai nasihat kepada saudaranya yang sering berteriak takbir! khususnya kalangan aktifis Islam, khususnya lagi kalangan yang concern dengan tanda-tanda akhir zaman dengan membaca simbol-simbol yang biasa dipakai oleh musuh Islam, maka ini bukan cara nasihat yang patut. Tujuan baik tapi caranya keliru.
Sebaiknya memberikan nasihat dengan memberikan tulisan ilmiah yang santun, tidak merendahkan, tapi memberikan alternatif dan solusi. Sebab, nyinyir kepada aktifis Islam tidak pantas dilakukan oleh orang yang paham agama. Dalam sejarah, kaum munafiq adalah golongan yang paling rajin nyinyir kepada para sahabat nabi, Radhiyallahu ‘Anhum. Tentunya kita berlindung diri kepada Allah Ta’ala dari kemunafikan.
Alangkah baiknya, orang yang terlanjur melakukan hal itu memohon ampun kepada Allah Ta’ala dan meminta maaf kepada manusia. Agar tetap terjaga nama baiknya. Bukan justru melakukan pembelaan, dan malah menyalahkan para pembacanya, yang akhirnya menjatuhkan dirinya dalam sikap batharul haq wa ghamtun naas (menolak kebenaran dan meremehkan manusia).
Demikian. Semoga Allah Ta’ala menjaga kita dari sifat-sifat buruk dan tercela. Wallahul Muwafiq ilaa aqwamith Thariq
Oleh: Farid Nu’man Hasan