Fatwapedia.com – Diantara cabang ilmu islam yang pengamalannya langsung bersentuhan dengan Al-Qur’an adalah ilmu tajwid. Mengapa demikian, karena membaca Al-Qur’an harus benar dan agar bisa membaca Alquran dengan benar maka harus sesuai ilmu tajwid. Oleh karena itu mempelajari ilmu tajwid sangat penting.
Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid
Hukum belajar ilmu tajwid adalah fardhu kifayah. Kalau ada dalam suatu tempat ada seseorang yang menguasai ilmu ini maka bagi yang lainnya tidak menanggung dosa, kalau sampai tidak ada maka seluruh kaum muslimin menanggung dosa.
Sedangkan membaca Al-Quran dengan tajwid adalah wajib ‘ain artinya bagi seorang yang mukalaf baik laki-laki atau perempuan harus membaca Al-Quran dengan tajwid, kalau tidak maka dia berdosa, hal ini berdasarkan Al-Quran dan As Sunnah dan ucapan para ulama.
1. Dalil-dalil dari Al-Quran
1. Firman Allah Azza wa Jalla:
“…dan bacalah Al-Quran itu dengan tartil.” (Al Muzzammil: 4)
Maksud tartil itu adalah membaguskan huruf dan mengetahui tempat berhenti, keduanya ini tidak akan bisa dicapai kecuali harus belajar dari ulama atau orang yang ahli dalam bidang ini, dan perintah ini menunjukkan suatu kewajiban sampai datang dalil yang bisa merubah arti tersebut.
2. Firman Allah Azza wa Jalla:
“Orang-orang yang telah kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al Baqarah: 121)
Dan mereka tidak akan membaca dengan sebenarnya kecuali harus dengan tajwid, kalau meninggalkan tajwid tersebut maka bacaan itu menjadi bacaan yang sangat jelek bahkan kadang-kadang bisa berubah arti. Ayat ini menunjukkan sanjungan Allah Azza wa Jalla bagi siapa yang membaca Al-Quran dengan bacaan sebenarnya.
3. Firman Allah Azza wa Jalla:
“Dan kami membacanya dengan tartil (teratur dengan benar).” (Al-Furqan: 32)
Ini adalah sifat Kalamullah, maka wajib bagi kita untuk membacanya dengan apa yang diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla.
2. Dalil-dalil dari As Sunnah
1. Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ketika ditanya bagaimana bacaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau menjawab bahwa bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam itu dengan panjang-panjang kemudian dia membaca “Bismillahirrahman arrahiim” memanjangkan (bismillah) serta memanjangkan (ar rahmaan) dan memanjangkan ar rahiim.” (HR. Bukhari)
2. Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sahabat agar mengambil bacaan dari sahabat yang mampu dalam bidang ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Dari Abdullah bin Amr bin Ash berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Mintalah kalian bacaan Al-Quran dari Abdullah bin Mas’ud, Salim Maula Abi Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini adalah para sahabat yang mulia, padahal mereka itu orang-orang yang paling fasih dalam pengucapan Al-Quran masih disuruh belajar, lalu bagaimana dengan kita orang asing yang lisan kita jauh dari lisan Al-Quran?
3. Dan dalil yang paling kuat sebagaimana apa yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansur ketika Ibnu Mas’ud menuntun seseorang membaca Al-Quran. Maka orang itu mengucapkan:
“Innamash shadaqatu lil fuqara-i wal masakin.”
Dengan meninggalkan bacaan panjangnya, maka Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu katakan, “Bukan begini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan ayat ini kepadaku.” Maka orang itu jawab, “Lalu bagaimana Rasulullah membacakan ayat ini kepadamu wahai Abu Abdirrahman?” Maka beliau ucapkan:
“Innamash shadaqaatu lil fuqaraa-i wal masaakiin.”
Dengan memanjangkannya. (HR. Sa’id bin Mansur)
Ibnu Mas’ud langsung menegur orang ini padahal ini tidak merubah arti, akan tetapi bacaan Al-Quran itu adalah suatu hal yang harus diambil sesuai dengan apa yang Rasulullah ucapkan.
3. Ijma’
Seluruh qura’ telah sepakat tentang wajibnya membaca Al-Quran dengan tajwid.
Fatwa Para Ulama Dalam Permasalahan Ini
1. Fatwa Ibnu Al Jazary
Tidak diragukan lagi bahwa mereka itu beribadah dalam upaya memahami Al-Quran dan menegakkan ketentuan-ketentuannya, beribadah dalam pembenaran lafadz-lafadznya, menegakkan huruf yang sesuai dengan sifat dari ulama qura’ yang sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. (Annasyr 1/210)
2. Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Adapun orang yang keliru yang kelirunya itu tersembunyi (kecil) dan mungkin mencakup qira’at yang lainnya, dan ada segi bacaan di dalamnya, maka dia tidak batal shalatnya dan tidak boleh shalat di belakangnya seperti orang yang membaca “as sirath” dengan ‘sin’, pergantian dari “ash shirath, karena itu qira’at yang mutawatir. (Majmu’ Fatawa 22/442 dan 23/350)
Dari fatwa ini bisa kita ambil kesimpulan:
1. Tidak selayaknya seorang yang masih salah dalam bacaan (kesalahan secara tersembunyi) untuk menjadi imam shalat, lalu bagaimana dengan yang mempunyai kesalahan yang fatal seperti yang tidak bisa membedakan antara ‘sin’ dengan ‘tsa’ atau ‘dal’ dengan ‘dzal’, yang jelas-jelas merubah arti.
2. Secara tidak langsung Syaikhul Islam telah mewajibkan untuk membaca Al-Quran dengan tajwid karena kesalahan kecil itu tidak sampai merubah arti, beliau melarang untuk shalat di belakangnya, lalu bagaimana dengan kesalahan yang besar.
3. Fatwa Syaikh Nashiruddin Al Albany
Ketika ditanya tentang perkataan Ibnul Jazary tersebut di atas, maka beliau mengatakan kalau yang dimaksud itu sifat bacaannya di mana Al-Quran itu turun dengan memakai tajwid dan dengan tartil maka itu adalah benar, tapi kalau yang dimaksud cuma lafadz hurufnya maka itu tidak benar. (Al Qaulul Mufid fii Wujub At Tajwid, hal. 26)
4. Fatwa Asy Syaikh Makki Nashr
Telah sepakat seluruh umat yang terbebas dari kesalahan tentang wajibnya tajwid mulai zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai zaman sekarang ini dan tidak ada seorang pun yang menyelisihi pendapat ini. (Nihayah Qaul Mufid hal. 10)
Keutamaan Ilmu Tajwid
Ilmu tajwid adalah salah satu ilmu yang mulia, karena; berkaitan dengan kitab suci yang paling mulia yang Allah turunkan kepada Rasul yang paling mulia.
Ketika ilmu tajwid ini berkaitan dengan aturan dan tatacara membaca kitab suci Al-Quran yang mulia, maka ilmu ini adalah ilmu yang sangat mulia sekali, sebab kemulian suatu ilmu itu tergantung dari mulianya objek yang dipelajari dalam ilmu tersebut.
Para ulama’ mengatakan:
فإنّ شرف العلم بشرف المعلوم
“Sesungguhnya kemulian suatu ilmu pada kemuliaan objek yang dipelajari dalam ilmu tersebut”.
Buah yang dipetik dari mempelajari ilmu tajwid:
Orang yang mempelajari tajwid untuk bisa membaca kitab suci Al-Quran dengan benar, diharapkan akan memperoleh keutamaan yang telah Allah janjikan untuk orang-orang yang membaca Al-Quran dengan baik. Allah berfirman dalam surat Fathir ayat 29-30. Dan Rasulullah j bersabda:
(( مَثَلُ الَّذِي يَقْرَأُ القُرْآنَ، وَهُوَ حَافِظٌ لَهُ مَعَ السَّفَرَةِ الكِرَامِ البَرَرَةِ )) [أخرجه البخاري]
“Orang yang membaca Al-Quran dan dia menghafalnya seperti para malaikat utusan Allah yang taat dan mulia ”. [HR.Bukhori no: 4937]
Dan sabda beliau:
(( الماهر بالقرآن مع السفرة الكرام البررة و الذي يقرأ القرآن و يتتعتع فيه وهو عليه شاق فله أجران ))
“Orang yang mahir membaca Al-Quran bersama para malaikat yang ta’at dan mulia, dan orang yang membaca Al-Quran dengan tersendat-sendat dan dia merasa susah dan berat akan mendapatkan dua pahala”.
Tujuan Mempelajari llmu Tajwid
Tujuan mempelajari ilmu tajwid adalah untuk menjaga lidah agar terhindar dari kesalahan dalam membaca Al-Quran.
Dua Macam Kesalahan Membaca Al-Qur’an tanpa Tajwid:
1. Lahn Jali (اَللَّحْنُ الْجَلِيُّ), yaitu kesalahan yang nyata pada lafazh, sehingga kesalahan tersebut dapat diketahui oleh para ulama dan orang kebanyakan. Lahn Jali ada yang dapat mengubah makna dan ada pula yang tidak. Lahn Jali yang mengubah makna ialah:
a. Bergantinya suatu harakat menjadi harakat lain (اِبْدَالُ حَرَكَةٍ بِحَرَكَةٍ). Contohnya lafazh:
… صِرَاطَ الَّزِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِم
“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka…” (QS 1 Al-Fatihah: 7)
Bila lafazh اَنْعَمْتَ dibaca اَنْعَمْتُ , maka dlamir-nya berubah menjadi اَنَا (aku), sehingga artinya menjadi: (yaitu) jalan orang-orang yang telah aku anugerahkan nikmat kepada mereka… Atau bila dibaca اَنْعَمْتِ , maka dlamir-nya berubah menjadi اَنْتِ (kamu perempuan).
Padahal makna yang dimaksud adalah “Engkau”, yaitu Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan, yang dalam lafazh di atas menyadang dlamir اَنْتَ.
b. Bergantinya sukun menjadi harakat (اِبْدَالُ سُكُوْنٍ بِحَرَكَةٍ). Contohnya lafazh:
… وَمِنَ اْلبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُوْ مَهُمَا~ اِلآّ مَا حَمَلَتْ ظُهُوْرُهُمَا …
“… dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya…” (QS 6 Al-An’am: 146)
Jika lafazh حَمَلَتْ dibaca حَمَلَتُ, maka dlamir-nya berubah menjadi اَنَا (aku), sehingga artinya menjadi: “… dan dari sapi dan domba, kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang aku lekatkan di punggung keduanya…”
c. Bergantinya suatu huruf menjadi huruf lain (اِبْدَالُ حَرْفٍ بِحَرْفٍ). Contohnya lafazh:
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ …
“… dan mudah-mudahan kamu bersyukur.” (QS 45 Al-Jatsiyah: 12)
Bila lafazh تَشْكُرُوْن dibaca تَسْكُرُوْنَ (huruf syin berubah menjadi sin), maka artinya menjadi: “… dan mudah-mudahan kamu mabuk.”
Adapun Lahn Jali yang tidak mengubah makna, contohnya ialah lafazh اَلْحَمْدُلِلَّهِ yang dibaca اَلْحَمْدُلِلَّهُ. Atau lafazh لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ yang dibaca لَمْ يَلِدُ وَلَمْ يُوْلَدْ. Walau tidak mengubah makna, keduanya tergolong sebagai Lahn Jali yang haram dilakukan.
2. Lahn Khafi (اَللَّحْنُ الْخَفِيُّ), yaitu kesalahan yang tersembunyi pada lafazh. Kesalahan ini tidak dapat diketahui, kecuali oleh para ulama qiraat atau kalangan tertentu yang mendalami Ilmu Qiraat. Para ulama tersebut biasanya menghafal berbagai lafazh dalam Al-Qur’an dan menerimanya secara talaqqi (langsung) dari ulama lain.
Diantara kesalahan yang tergolong sebagai Lahn Khafi adalah:
a. Menggetarkan (Takrir) huruf ra’ (ر) secara keterlaluan.
b. Mendengungkan suara tanwin.
c. Menebalkan (taghlizh) suara huruf lam (ل) tidak pada tempatnya.
d. Menggetarkan suara secara berlebihan pada madd dan ghunnah.
e. Menambah atau mengurangi ukuran madd suatu bacaan.
f. Mengabaikan ghunnah pada bacaan yang seharusnya dibaca ghunnah, menambah atau mengurangi ukuran ghunnah suatu bacaan.
g. Melafalkan harakat secara tidak jelas. Misalnya, mengucapkan dlammah yang cenderung bunyinya ke arah fat-hah atau mengucapkan kasrah yang cenderung bunyinya ke arah fat-hah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: Panduan Praktis Tajwid & Bid’ah-bid’ah Seputar Al-Quran serta 250 Kesalahan dalam Membaca Al Fatihah, penulis: Al Ustadz Abu Hazim bin Muhammad Bashori, penerbit: Maktabah Daarul Atsar, Magetan. Hal. 33-38.