Hukum Menginap di Muzdalifah di Malam Nahr

Hukum Menginap di Muzdalifah di Malam Nahr

Fikroh.com – Mabit di Muzdalifah saat menunaikan ibadah haji terdapat beberapa hukum. Apa Hukum Menginap Di Muzdalifah Pada Malam Hari Kurban? Para ahli ilmu berbeda pendapat di dalam hukum berwuquf di muzdalifah dan menginap disana menjadi tiga pendapat:

Pertama: Rukun dan siapa yang melewatkannya maka telah melewatkan haji. Ini adalah mazhab Ibnu `Abbas dan Ibnu Zubair dari kalangan sahabat, dengannya juga pendapat an-Nakh’I, as-Sya’bi, ‘Alqamah dan pengikut madzhab zhahiri. Dalam mazhab Malik terdapat juga yang menunjuk kepadanya, ini juga merupakan pilihan Ibnul Qayyim –rahimahumullaah- [Al mughni (3/376), dan al Muhallaa (7/118), dan bidaayatul mujtahid (1/376), dan zaadul ma’aad (2/253)]. Dalil mereka:

Firman Allah -subhanahu wa ta`ala-:

(فَإِذَا أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ) 

“Dan apabila engkau bertolak dari `Arafah berdzikirlah kepada Allah di masy’arilharam” [Al-Qur`an Surat:al baqarah,198]

Kalimat masy’aril haram: disebutkan bahawasanya suatu gunung di muzdalifah yang dikenal dengan qazh, dan disebutkan juga: keseluruhan muzdalifah.

b. Hadits Urwah bin Mudhras bahwa nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

مَنْ شَهِدَ صَلَاتَنَا هَذِهِ، وَوَقَفَ مَعَنَا حَتَّى نَدْفَعَ، وَقَدْ وَقَفَ بِعَرَفَةَ قَبْلَ ذَلِكَ لَيْلًا أَوْ نَهَارًا، فَقَدْ تَمَّ حَجُّهُ، وَقَضَى تَفَثَهُ

“Siapa yang menyaksikan shalat kami ini dan berwuquf bersama kami hingga selesai dan telah wuquf di `Arafah sebelumnya siang hari atau malam hari maka telah menyempurnakan haji dan telah melakukan yang seharusnya”

Maka dipahami darinya bahwa siapa yang tidak berwuquf di `Arafah maka tidak sempurna hajinya.

c. Praktik nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- yang telah mengeluarkan penjelasan dzikir yang diperintahkan di dalam ayat tersebut.

Kedua: Wajib, siapa yang meninggalkannya maka dikenakan dam dan hajinya sah. Ini adalah mazhab mayoritas ulama’.[Al mughni (3/417), dan az zaad (2/253)] Dalil mereka adalah:

Sabda nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-:

(الحج عرفة, من جاء قبل أن يطلع الفجر فقد أدرك)

“Haji adalah `Arafah, siapa yang datang sebelum terbitnya matahari maka dia telah mendapatkannya.

Bahwa siapa yang wuquf di `Arafah sebelum terbitnya matahari dengan waktu yang termudah, sah hajinya, dan jika wuquf di muzdalifah merupakan rukun maka hajinya tidak sah.

b. Bahwa jika memang merupakan rukun maka sudah pasti tergabung di dalamnya antara lelaki dan perempuan, dan ketika Rasulullah mendahulukan para perempuan pada malam hari maka diketahui bahwa tidak termasuk rukun.

Jawaban tentang ayat tersebut dan hadits Urwah, bahwa yg disebutkan di dalam keduanya bukanlah rukun secara ijma’, maka sesungguhnya jika bermalam di muzdalifah, tidak berdzikir kepada Allah dan tidak mendirikan shalat di tempat itu sah hajinya, yang merupakan bagian dari daruratnya hal tersebut lebih utama, kemudian bermalam bukanlah bagian dari daruratnya dzikir kepada Allah di tempat itu, begitu juga kesaksian shalat subuh, maka jika memperlama di `Arafah pada akhir malam hari kurban dibolehkan. Maka tampaklah kandungan hal tersebut sekedar kewajiban atau keutamaan atau anjuran. [Ikhtiyar ibni qudamah al fiqhiyyah (1/675)]

Penulis berkata: Maka maksud dari kesempurnaan haji di dalam hadits adalah kesempurnaan yang tetap sah walau tanpanya dengan haram, mendukung pendapat ini bahwa siapa yang mencapai `Arafah dan muzdalifah dan tidak berthawaf thawaf ifadhah maka hajinya tidak sempurna secara’. Allah Maha Tahu.

Pendapat yang mewajibkan wuquf di muzdalifah dan bermalam adalah pendapat yang paling adil dan paling kuat, kecuali saya menjaga atas keharusannya dengan dam paksaan, karena asalnya haram harta seorang muslim kecuali dengan hak dan hak diketahui dengan dalil. Tidak dibenarkan penganalogian kepada kafarat menurut pendapat yang benar, walaupun hal ini merupakan perbedaan mayoritas.

Pendapat ketiga: Sunnah, pendapat ini lemah dan merupakan riwayat dari Ahmad, rahimahullah.

Batas Waktu Bermalam Yang Wajib

Hanafiyah berpendapat bahwa siapa yang menghasilkan sedikit kemampuan dari terbitnya fajar-hari kurban – hingga terbitnya matahari di muzdalifah maka telah mencapai wuquf baik itu bermalam atau tidak, jika tidak maka dikenakan dam kecuali jika meninggalkannya karena sebab seperti penuh sesak maka tidak dikenakan apapun.

Malikiyah berpendapat bahwa waktu menetap di bagian malam manapun yang ada antara kedatangannya hingga terbit fajar, menurut Syafi’iyah dan Hanabilah: wajib wuquf walau hanya sebentar dari kedatangannya hingga tengah malam -jika sampai sebelum pertengahan malam- dan jika sampai setelah pertengahan malam mencukupkannya walau hanya sebentar sebelum terbitnya fajar.

Penulis berkata: Yang menjelaskan bahwa wajibnya bermalam di muzdalifah hingga fajar, baik itu sampai sebelum pertengahan malam atau setelahnya, karena kalimat bermalam tidak diambil kecuali jika tinggal ditempat itu hingga fajar, adapun keringanan bagi wanita-wanita yang lemah dan yang selainnya dalam berangkat setelah pertengahan malam dirasakan di dalam lafazh-lafazh hadits dalam masalah ini, seperti hadits `A’isyah:

نَزَلْنَا المُزْدَلِفَةَ فَاسْتَأْذَنَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَةُ، أَنْ تَدْفَعَ قَبْلَ حَطْمَةِ النَّاسِ، وَكَانَتِ امْرَأَةً بَطِيئَةً، فَأَذِنَ لَهَا، فَدَفَعَتْ قَبْلَ حَطْمَةِ النَّاسِ وَأَقَمْنَا حَتَّى أَصْبَحْنَا

“Kami berwuquf di muzdalifah lalu aku meminta izin kepada Rasul untuk Saudah agar pergi sebelum ramai manusia, dia adalah seorang perempuan yang lemah dan beliau mengizinkannya, lalu dia pergi sebelum ramai manusia dan kami tetap wuquf hingga pagi”. [Shahih, Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1681), dan Muslim (1290)]

Hal itu tampak bahwa siapa yang tidak diringankan maka diharuskan untuk tetap tinggal di muzdalifah hingga pagi, karena merupakan amalan sebagai ganti dari keringanan tersebut maka menyerupai ketetapan hati.

Seperti hadits Asmaa’:

أَنَّهَا نَزَلَتْ لَيْلَةَ جَمْعٍ عِنْدَ المُزْدَلِفَةِ، فَقَامَتْ تُصَلِّي، فَصَلَّتْ سَاعَةً ثُمَّ قَالَتْ: «يَا بُنَيَّ، هَلْ غَابَ القَمَرُ؟»، قُلْتُ: لاَ، فَصَلَّتْ سَاعَةً ثُمَّ قَالَتْ: «يَا بُنَيَّ هَلْ غَابَ القَمَرُ؟»، قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَتْ: «فَارْتَحِلُوا»، فَارْتَحَلْنَا وَمَضَيْنَا، حَتَّى رَمَتِ الجَمْرَةَ، ثُمَّ رَجَعَتْ فَصَلَّتِ الصُّبْحَ فِي مَنْزِلِهَا، فَقُلْتُ لَهَا: يَا هَنْتَاهُ مَا أُرَانَا إِلَّا قَدْ غَلَّسْنَا، قَالَتْ: «يَا بُنَيَّ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذِنَ لِلظُّعُنِ

“Bahwa dia berwuquf di muzdalifah lalu berdiri mendirikan shalat selama satu jam lalu bertanya: wahai anakku apakah bulan telah menghilang? Aku menjawab: tidak, lalu dia shalat selama satu jam kemudian bertanya: wahai anakku apakah bulan telah menghilang? Aku menjawab: ya, dia berkata: maka pergilah. Dan kami meninggalkannya hingga melempar jumrah kemudian dia kembali dan shalat subuh di tempat tinggalnya, aku berkata kepadanya: wahai gerangan, tidak diperlihatkan kepada kami kecuali bahwa kami telah bersuci, dia menjawab: wahai anakku Rasulullah telah mengizinkan bagi yang pergi” [Shahih, Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1679), dan Muslim (1291)] yaitu: para perempuan.

Dari Ibnu `Abbas berkata:

أَنَا مِمَّنْ قَدَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةَ المُزْدَلِفَةِ فِي ضَعَفَةِ أَهْلِهِ

“Aku adalah bagian dari orang yang didahulukan oleh nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- pada malam muzdalifah di dalam kelemahan keluarganya”. [Shahih, Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1678), dan Muslim (1293)]

Hadits-hadits tersebut dan yang selainnya menunjukkan bahwa wajib bermalam hingga fajar kecuali bagi orang yang lemah maka dibolehkan bagi mereka keluar darinya sebelum fajar setelah menghilangnya bulan.

Faedah: Keringanan di dalam ketiadaan bermalam di muzdalifah khusus bagi orang yang lemah dari keluarga dan anak-anak. Apakah termasuk di dalamnya sejumlah perempuan atau dikhususkan hanya bagi yang lemah? Ini perlu perhatian dan yang lebih jelas adalah bahwa hanya dikhususkan bagi perempuan yang lemah secara khusus karena nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- mendahulukan keluarganya yang lemah dan tinggal bersamanya `A’isyah -radhiyallahu ‘anha-, adapun Saudah meminta izin karena dia sangat lemah. Allah Maha Tahu.

Sunnah-Sunnah Di Muzdalifah Dan Penyelesaiannya

Saat mabit di Muzdalifah ada beberapa amalan sunnahyang bisadilakukan, yaitu:

  1. Shalat maghrib dan isya’: menggabungkan di akhir di muzdalifah.
  2. Beradzan untuk kedua shalat tersebut dengan satu adzan dan dua iqamah.
  3. Meninggalkan shalat sunnah di antara kedua shalat.
  4. Tidur hingga terbit fajar, dan tidak menghidupkan malam dengan shalat.
  5. Shalat subuh pada awal waktunya dengan satu adzan dan iqamah.
  6. Berwuquf di masy’aril haram di muzdalifah dengan menghadap kiblat, berdoa bertahmid, bertakbir, bertahlil hingga pagi sangat terang.
  7. Keluar dengan tenang dari muzdalifah sebelum terbit matahari
  8. Sedikit mempercepat di pertengahan muhassir[1] kecuali jika mengendarai mobil yang tidak dikendarai sendiri, dia lemah karena hal itu dan walaupun yang lebih utama adalah berniat di dalam hatinya bahwa jika dimudahkan baginya untuk mempercepat maka dia percepat.
  9. Pergi ke jumrah dari jalan yang berbeda dari jalan berangkat ke `Arafah. [2]

Footnote :

[1]Sunnah-sunnah ini semuanya ditetapkan dari nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadits Jabir yang panjang, dan hadits Usamah bin Zaid dalam shahihAl-Bukhariy dan Muslim.

[2] Suatu tempat antara Mina dan Muzdalifah –merupakan bagian dari Mina menurut pendapat yang benar- dan disebut demikian karena Gajah-gajah Ashabul Fiil dilemahkan ditempat itu, yakni: menjadi lemah dan tumpul, dan barangkali karena itu nabi mempercepat ditempat itu seperti kebiasaannya di tempat-tempat yang dilaknat.

Leave a Comment