Pertanyaan:
Assalamu ‘Alaikum wa ahmatullah wa Barakatuh. Saya mau tanya, tentang membaca sayyidina di dalam bacaan shalawat kepada nabi, ada ustadz yang melarangnya, benarkah? (@Jamaah Masjid Darussalam, Perumahan Jatijajar, Depok)
(Pertanyaan serupa datang dari beberapa orang, tentang video kajian seorang Ustadz yang menyebut ucapan Sayyidina adalah merendahkan nabi, dan menurutnya para ulama melarang itu, sayangnya dia tidak menyebutkan nama-nama ulama tersebut.)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’d:
Ini merupakan salah satu khilafiyah masyhur dalam tubuh umat Islam, khsusnya jika ucapan sayyidina dibaca di dalam shalat. Ada yang membolehkan bahkan menyunnahkan. Ada juga yang membid’ahkan.
Ada pun di luar shalat maka pandangan umumnya ulama adalah boleh, dan ini pendapat yang lebih kuat. Wallahu A’lam
Dalil-Dalil Pihak Yang Membolehkan
1. Allah Ta’ala menyebut Nabi Yahya ‘Alaihissalam sebagai Sayyid. Padahal Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kedudukannya lebih tinggi darinya.
Allah Ta’ala berfirman:
فَنَادَتْهُ الْمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَى مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ (39)
“Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan (Sayyidan), menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi Termasuk keturunan orang-orang saleh”. (QS. Ali ‘Imran (3): 39)
Jika panggilan SAYYIDINA dianggap merendahkan, tentu sama juga menuduh bahwa Allah Ta’ala merendahkan Nabi Yahya ‘alaihissalam. Maha Suci Allah dari merendahkan nabiNya sendiri.
2. Bahkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebut sayyid kepada para sahabatnya sendiri, yang jelas kedudukan mereka adalah di bawahnya, yakni Abu Bakar dan Umar, lalu Sa’ad bin Muadz, dan kepada dua cucunya Al Hasan dan Al Husein Radhiallahu ‘Anhum ajma’in. Berikut ini keterangannya.
Sebutan Sayyid kepada Abu Bakar dan Umar, secara shahih diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi dalam Sunan-ya, dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كنت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم إذ طلع أبو بكر وعمر فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم هذان سيدا كهول أهل الجنة من الأولين والآخرين إلا النبيين والمرسلين يا علي لا تخبرهما
“Aku bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ketika Abu Bakar dan Umar datang, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Dua orang ini adalah sayyid, sesepuhnya penduduk surga dari awal hingga akhirnya, kecuali para nabi dan rasul. Ya Ali, jangan kabarkan kepada mereka berdua.” (HR. At Tirmidzi dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Suna Abi Daud No. 3665, 3666.)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada kaum Anshar, ketika Sa’ad bin Muadz datang:
قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ
“Berdirilah untuk sayyid kalian!” (HR. Bukhari No. 5907, Muslim No. 1768, Abu Daud No. 5215. Ahmad No. 10742)
Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الحسن والحسين سيدا شباب أهل الجنة
“Al Hasan dan Al Husein adalah sayyid bagi pemuda penduduk surga.” (HR. At Tirmidzi, katanya: hasan shahih. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 796, dan Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 3768)
Tentang Al Hasan secara khusus, dari Abu Bakrah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi menggendongnya ke mimbar lalu bersabda:
إن ابني هذا سيد يصلح الله على يديه
“Sesungguhya anakku ini adalah Sayyid, melalui tangannya Allah akan menjadikan pendamai.” (HR. At Tirmidzi, katanya: hasan shahih. Dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam Irwa’ul Ghalil No. 1597)
3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun menyebut dirinya sebagai sayyid.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَنَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Aku adalah sayyidunnas (pemimpin manusia) pada hari kiamat nanti.” (HR. Muslim No. 194, sementara dalam riwayat Muslim lainnya dengan lafaz: sayyidu waladi adam (Tuannya anak-anak adam) )
Walau hadits ini menyebut “Pada hari kiamat”, tentunya kepemimpinan (As Siyadah) Beliau bukan hanya di akhirat, tetapi juga di dunia.
4. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebut dirinya sendiri adalah sayyidul anbiya (Tuannya para nabi).
Sebagaimana diterangkan dalam hadits mauquf dari Abu Hurairah, berikut:
سيد الأنبياء خمسة ومحمد صلى الله عليه وسلم سيد الخمسة : نوح وإبراهيم وموسى وعيسى ومحمد صلوات الله وسلامه عليهم
“Tuannya para nabi ada lima, dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah sayyid (tuan) dari yang lima itu, yakni: Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad Shalawatullah wa Salamuhu ‘Alaihim. (HR. Al Hakim, Al Mustadarak ‘Alash Shahihain No. 4007. Katanya: sanadnya shahih. Disepakati oleh Imam Adz Dzahabi dalam At Talkhish)
5. Sahabat nabi pun memanggil Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sebutan, “Ya sayyidi..” (Wahai Tuanku), dan Beliau pun tidak mengingkarinya:
Sahl bin Hunaif Radhiallahu ‘Anhu berkata:
مَرَرْنَا بِسَيْلٍ فَدَخَلْتُ فَاغْتَسَلْتُ فِيهِ فَخَرَجْتُ مَحْمُومًا فَنُمِيَ ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مُرُوا أَبَا ثَابِتٍ يَتَعَوَّذُ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا سَيِّدِي وَالرُّقَى صَالِحَةٌ فَقَالَ لَا رُقْيَةَ إِلَّا فِي نَفْسٍ أَوْ حُمَةٍ أَوْ لَدْغَةٍ
“Sebuah mata air mengalir di depan kami, lalu saya mandi di sana. Lalu saya keluar dalam keadaan menggigil, maka hal itu disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau bersabda: “Perintahkan Abu Tsabit agar dia berlindung kepada Allah.” Maka aku berkata: “Wahai sayyidi (Tuanku), apakah ruqyah juga bagus?” Beliau menjawab: “Tidak, ruqyah itu hanya untuk demam, penyakit ‘ain, dan sengatan hewan berbisa.” (HR. Abu Daud No. 3888, dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi)
Semua keterangan ini membuktikan kebolehan menyebut sayyiduna kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bagaimana mungkin ucapan itu dibolehkan disematkan kepada Nabi Yahya, Abu Bakar, Umar, Sa’ad bin Muadz, Al Hasan, dan Al Husein, sementara justru hal itu dilarang untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?
Padahal Beliau adalah manusia paling mulia, paling tinggi derajatnya, bahkan di antara ulul azmi? Secara hakiki memang hanya Allah Ta’ala sebagai sayyid (tuan) bagi manusia. Tetapi penyebutan sayyid di sini bukanlah menyematkan sifat ketuhanan kepada mereka, tidak demikian. Bagaimana mungkin demikian, padahal nabi saja memanggil sayyid untuk para sahabatnya?
Ulama Yang Membolehkan Menggunakan Sayyiduna di dalam Shalat
Berikut ini adalah pandangan para imam yag membolehkan membaca sayyidina ketika shalat, khususnya ketika membaca shalawat Ibrahimiyah ketika duduk tasyahud akhir.
Imam Al Hashfaki Al Hanafi Rahimahullah menganjurkan as siyadah (penyebutan sayyiduna) beliau menulis dalam kitab Ad Durrul Mukhtar, sebagai berikut:
وندب السيادة، لان زيادة الاخبار بالواقع عين سلوك الادب، فهو أفضل من تركه، ذكره الرملي الشافعي وغيره، وما نقل: لا تسودوني في الصلاة فكذب، وقولهم لا تسيدوني بالياء لحن أيضا والصواب بالواو
“Dianjurkan untuk siyadah (pen- Tuan-an), karena tambahan (sayyidina) merupakan realisasi antara kabar dengan kenyataan dalam rangka adab dan etika, dan itu lebih utama dibanding meninggalkannya. Ini juga disebutkan oleh Ar Ramli Asy Syafi’i dan lainnya. Adapun riwayat: Laa tusawwiduni fish shalah (jangan meng- sayyid- kan aku dalam shalat) adalah dusta, dan ucapa mereka: Laa tusayyiduni , dengan huruf Ya’, juga lemah, yang benar adalah dengan wau. (Imam Al Hashfaki, Ad Durrul Mukhtar, 1/553. Darul Fikr)
Imam Ibnu ‘Abidin dalam Hasyiah-nya, mengatakan bahwa megucapkan sayyidina, secara mutlak adalah BOLEH. Ketika itu disandarkan kepada Allah artinya adalah menunjukkan keagunganNya. Jika disandarkan kepada manusia maka itu merupakan pemuliaan dan tanda kepemimpinannya. (Hasyiah Rad Al Muhtar, 1/26. Darul Fikr)
Imam Muhammad bin Abdurrahman Al Haththab Al Maliki Rahimahullah, menulis demikian:
وَذَكَرَ عَنْ الشَّيْخِ عِزِّ الدِّينِ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ أَنَّ الْإِتْيَانَ بِهَا فِي الصَّلَاةِ يَنْبَنِي عَلَى الْخِلَافِ هَلْ الْأَوْلَى امْتِثَالُ الْأَمْرِ أَوْ سُلُوكُ الْأَدَبِ ؟ ( قُلْت ) وَاَلَّذِي يَظْهَرُ لِي وَأَفْعَلُهُ فِي الصَّلَاةِ وَغَيْرِهَا الْإِتْيَانُ بِلَفْظِ السَّيِّدِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .
“Dan disebutkan dari Syaikh ‘Izzuddin bin Abdussalam, bahwa membaca (sayyiduna) dalam shalat yang menjadi masalah khilafiyahnya adalah; apakah keutamaannya karena menjalankan perintah atau apakah karena adab? (Aku (Al Haththab) berkata): “Yang benar menurutku dan akupun melakukannya dalam shalat dan selainnya, adalah membaca lafaz sayyid itu pasti adanya. Wallahu A’lam. (Imam Muhammad bin Abdurrahman Al Haththab, Mawahib Al Jalil, 1/70. Mawqi’ Al Islam)
Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i Rahimahullah termasuk yang menyunahkan membaca sayyidina dalam shalat, ketika membahas bacaan shalawat dalam bacaan tasyahud mengatakan::
وَالْأَفْضَلُ الْإِتْيَانُ بِلَفْظِ السِّيَادَةِ كَمَا قَالَهُ ابْنُ ظَهِيرَةَ وَصَرَّحَ بِهِ جَمْعٌ وَبِهِ أَفْتَى الشَّارِحُ لِأَنَّ فِيهِ الْإِتْيَانَ بِمَا أُمِرْنَا بِهِ وَزِيَادَةُ الْأَخْبَارِ بِالْوَاقِعِ الَّذِي هُوَ أَدَبٌ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ تَرْكِهِ وَإِنْ تَرَدَّدَ فِي أَفْضَلِيَّتِهِ الْإِسْنَوِيُّ ، وَأَمَّا حَدِيثُ { لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ } فَبَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ كَمَا قَالَهُ بَعْضُ مُتَأَخِّرِي الْحُفَّاظِ ، وَقَوْلُ الطُّوسِيِّ : إنَّهَا مُبْطِلَةٌ غَلَطٌ .
“Afdhalnya adalah membaca lafaz siyadah sebagaimana yang dikatakan Ibnu Zhahirah, dan beliau telah menjelaskan secara luas, dan demikian pula fatwa syarih (pensyarah) lantaran di dalamnya terdapat amalan yang kita telah diperintahkan. Dan tambahan ini merupakan realisasi antara khabar dengan kenyataan yang merupakan adab. Itu lebih afdhal daripada meninggalkannya, walau pun Al Isnawi ragu-ragu atas keutamaannya. Ada pun hadits: Laa tusawwiduni fishs Shalah (jangan mengucapkan sayyid dalam shalat kepadaku) adalah batil, tidak ada dasarnya, sebagaimaa dikatakan para hafizh muta’akhirin. Ath Thusi berkata: sesungguhnya hadits itu batil lagi keliru.” (Imam Syihabuddin Ar Ramli, Nihayatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, 4/329. Mawqi’ Al Islam)
Demikianlah umumnya ulama, baik Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, mereka membolehkan “Sayyidina” dalam shalat bahkan menyebutnya sebagai keutamaan.
Dalil Ulama Yang Melarang Memakai Sayyiduna
Ada pula ulama yang melarang menggunakan sayyidina, lebih-lebih dalam shalat. Mereka beralasan, hadits dari Mutharrif, dari ayahnya; Saya berangkat dan bersama saya ada utusan Bani Amir, kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kami berkata:
أَنْتَ سَيِّدُنَا فَقَالَ السَّيِّدُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
“Engkau adalah sayyid kami.” Beliau bersabda: “Sayyid adalah Allah Tabaraka wa Ta’ala.” (HR. Abu Daud No. 4806, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Misykah Al Mashabih N0. 4901, Shahihul Jami’ No. 3700)
Hadits lain, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam:
يَا سَيِّدَنَا وَابْنَ سَيِّدِنَا وَيَا خَيْرَنَا وَابْنَ خَيْرِنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُولُوا بِقَوْلِكُمْ وَلَا يَسْتَهْوِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهِ مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُونِي فَوْقَ مَا رَفَعَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
“Wahai Sayyidana (Tuan kami), anaknya Tuan kami, wahai orang terbaik kami, dan anaknya orang terbaik kami.” Maka Nabi bersabda: “Wahai manusia katakanlah apa yag kalian katakan, dan janganlah sampai syetan membuat kalian lalai. Aku adalah Muhammad bin Abdillah dan utusan Allah. Demi Allah, tidaklah aku menyukai kalian meninggikanku melebihi Allah Ta’ala meninggikan diriku.” (HR. Ahmad No. 13041, Syaikh Al Albani menshahihkan dalam berbagai kitabnya, seperti Ghayatul Maram No. 127, Ishlahul Masajid Hal. 126, dan As Silsilah Ash Shahihah No. 1097 dan 1572)
Hadits-hadits ini secara zhahir jelas-jelas bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak rela dipanggil sayyiduna. Maka terlaranglah memanggil beliau dengan Sayyiduna Muhammad, baik dalam kalimat syahadat, shalawat, dan lainnya, terlebih lagi di dalam shalat.
TAPI, Pemahaman ini telah dikoreksi oleh para ulama yang membolehkan. Menurut mereka, hadits ini bukan larangan memakai Sayyidina, tetapi larangan memuji orang di depan orang yang dipuji. Oleh karena itu, Imam Abu Daud memasukkan hadits ini dalam Bab Fi Karahiyah At Tamaduh (Dibencinya Memuji). Sebab, memuji di hadapan orangnya adalah sikap yang berbahaya bagi orang yang dipuji dan memuji, yakni bisa menodai keikhlasan. Yang memuji nampak ingin menjilat, dan yang dipuji bisa terpesona oleh pujian sehingga lupa atas kekurangan, dan hilang sikap rendah hatinya.
Oleh karena itu, Imam Ibnu Muflih mengutip dari Imam Ibnu Atsir tentang maksud hadits di atas: “Sayyid itu adalah Allah”:
أَيْ الَّذِي تَحِقُّ لَهُ السِّيَادَةُ ، كَأَنَّهُ كَرِهَ أَنْ يُحْمَدَ فِي وَجْهِهِ ، وَأَحَبَّ التَّوَاضُعَ .
“(Allah) adalah yang berhak baginya As Siyadah (Pen –tuan- an), seakan beliau (Rasulullah) tidak suka dipuji dihadapannya, dan dia menyukai kerendahhatian.” (Al Furu’, 6/197. Mawqi’ Al Islam)
Maka, jelaslah bagi kami, bahwa mengucapkan sayyiduna, khususnya di luar shalat baik secara lisan atau tulisan adalah boleh. Tetapi ketika shalat janganlah mengingkarinya, walau alangkah baiknya kita mengikuti sunah nabi, yakni tanpa sayyidina. Hal ini demi mengikuti perintah baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Shalluu kama ra’aitumuni ushalli (shalatlah kamu sebagaimana saya shalat) . (HR. Bukhari).
Sebab, memang demikianlah riwayat yang ada, bahwa Beliau mencontohkan membaca shalawat Ibrahimiyah ketika tasyahud tidaklah ada tambahan sayyidina. Wallahu A’lam.
Namun, bagi yang ingin memakainya pun tidak perlu diingkari, sebab itu juga menjadi pandangan para imam kaum muslimin dengan hujjah yang menurut mereka adalah kuat, sebagaimana sudah kami sebutkan di atas.
Tertulis dalam Fatwa Lajnah Daimah:
الصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم في التشهد لم يرد فيها – فيما نعلم – كلمة سيدنا أي: (اللهم صل على سيدنا محمد .. إلخ) وهكذا صفة الأذان والإقامة فلا يقال فيها سيدنا، لعدم ورود ذلك في الأحاديث الصحيحة التي علم فيها النبي صلى الله عليه وسلم أصحابه كيفية الصلاة عليه وكيفية الأذان والإقامة، ولأن العبادات توقيفية فلا يزاد فيها ما لم يشرعه الله سبحانه وتعالى، أما الإتيان بها في غير ذلك فلا بأس، لقوله صلى الله عليه وسلم: « أنا سيد ولد آدم يوم القيامة ولا فخر »
Bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam tasyahud, sejauh yang kami ketahui tidak ada di dalamnya kalimat Sayyidina, yakni (Allahumma Sayyidina Muhammad …dst), demikian juga dalam adzan dan qamat, juga tidak ada didalamya dikataka sayyidina. Tentang tata cara shalawat, juga adzan dan qamat yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para sahabatnya tidak ada hal yang seperti itu dalam hadits-hadits yang shahih. Oleh karena ibadah adalah masalah tauqifiyah (mengikuti dalil), maka tidak boleh menambahkan di dalamnya apa-apa yang Allah Ta’ala tidak syariatkan. Sedangkan membacanya DI LUAR SHALAT TIDAKLAH APA-APA. Karena Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Saya adalah sayyid bagi anak-anak adam pada hari kiamat, dan bukanlah ini sebagai kesombongan.” (Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta No. 4276)
Kitab-Kitab Para Imam Ahlus Sunnah Bertaburan Kata Sayyiduna
Hampir semua imam kaum muslimin, bahkan boleh dikatakan ‘semua’, mereka menggunakan kata sayyiduna sebelum menyebut nama-nama orang mulia, baik kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Nabi Ibrahim, Nabi Daud, Nabi Isa, Nabi Musa, dan lainnya. Atau juga kepada para sahabat seperti empat khalifah, dan sahabat lainnya, juga kepada para imam madzhab, bahkan mereka juga menggunakan sayyiduna kepada guru-guru mereka. Bahkan para ulama di Lajnah Daimah yang dalam jawaban fatwanya nampak sama sekali tidak pernah menyebut Sayyidina Muhammad, juga pernah menyebut Nabi Yunus dengan sebutan: Sayyiduna Yunus ‘Alaihis salam (Fatwa No. 9548).
Para imam madzhab Hanafi seperti Imam Ibnu ‘Abdin, Imam Al Hashfaki, Imam ‘Alauddin As Samarqandi dalam Tuhfatul fuqaha, Al Imam Al Hafizh As Sarkhasi dalam Al Mabsuth, Imam ‘Alauddin Al Kasani dalam Bada’i Shana’i, dan lainnya.
Para imam madzhab Maliki, seperti imam Abul Barakat Ad Dardir dalam Asy Syarhul Kabir, Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, Imam Ibnu Abi Yazid Al Qairuwani dalam Ar Risalah-nya, Imam Abu Abdillah bin Yusuf Al Abdari Al Mawwaq dalam At Tajjul Iklil, Imam Al Haththab dalam Mawahibul Jalil, Imam Muhammad Al Kharrasyi dalam Syarh Mukhtashar Khalil, dan lainnya.
Para imam madzhab Asy Syafi’i, seperti Imam An Nawawi dalam Al Majmu’, Imam Sayyid Al Bakri Ad Dimyathi dalam I’anatuth Thalibin, Imam Abdul Hamid Asy Syarwani dan Imam Ahmad bin Qasim Al ‘Ibad dalam kitab Hawasyi, begitu pula Imam Zakaria Anshari, Imam Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Al Qalyubi, dan lainnya. Juga Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Para imam madzhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah di beberapa halaman dalam kitab Asy Syarh Al Kabir juga menggunakan tambahan sayyiduna dalam akhir doanya. (Asy Syarh Al Kabir, 3/423 dan 10/635. Darul Kitab Al ‘Arabi), juga (Al Mughni, 7/151. Mawqi’ Al Islam)
Imam Musa Al Hijawi dalam kitab Al Iqna’ sangat banyak menggunakan tambahan sayyidina, yakni ada tujuh tempat, baik pada kalimat pembukaan kitabnya, pada kalimat syahadat, doa setelah azan, dan shalawat. Begitu pula Imam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya. Begitu pula Imam Ibnu Muflih dalam Al Furu’, Imam Al Bahuti dalam Kasysyaf Al Qina’, Imam Ar Rahibani dalam Mathalib Ulin Nuha, dan ulama hambali lainnya. Semuanya memakai menyebut sayyidina muhammad, baik pada shalawat, atau syahadat, atau lainnya, dan terlalu banyak bagi saya utuk menyebutkan satu persatu. Tetapi ini semua di luar shalat.
Kesimpulan
1. Mengucapkan sayyidina, adalah perkara khilafiyah ijtihadiyah yang tidak boleh dijadikan bahan persengketaan.
2. Mengucapkan sayyidina di luar shalat adalah boleh menurut pendapat yang lebih kuat dan ini adalah pendapat umumnya ulama, baik Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah.
3. ada pun dalam shalat afdhalnya kita mengikuti sunah nabi, yakni tanpa membaca sayyidina, namun tanpa mengingkari pendapat yang membolehkannya yang merupakan pendapat mayoritas ulama baik Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah. Wallahu A’lam
Wash Shallallahu ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi wa Sallam.
Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan