Oleh: Muhammad Laili Al-Fadhli
I’adah artinya mengulang. Adapun secara istilah artinya:
فِعْلُ الشَّيْئِ ثَانِيًا فِي وَقْتِ الأَدَاءِ
“Melakukan sesuatu (ibadah) yang kedua kalinya pada waktunya.”
I’adah berbeda dengan qadha, karena qadha adalah melakukan seluruh seluruh rangkaian ibadah di luar waktunya. I’adah merupakan pengulangan suatu bentuk ibadah karena adanya suatu sebab yang menghendaki ibadahnya untuk diulang.
Setidaknya ada dua faktor mengapa i’adah boleh atau bahkan mesti dilakukan. Pertama, karena adanya cacat pada ibadah yang dilakukan pertama kali, dan kedua, yaitu karena ingin mendapat fadhilah (keutamaan) yang lebih besar pada ibadah yang kedua.
Di antara contohnya adalah karena tidak terpenuhinya rukun atau syarat sah shalat atau terjatuh kepada salah satu pembatalnya. Misalnya, seseorang yang shalat dalam keadaan telah buang angin dalam shalatnya, maka ia wajib mengulanginya:
عَنْ عَلِيِّ بْنِ طَلْقٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَلْيَنْصَرِفْ فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُعِدْ صَلَاتَهُ “
“Dari ‘Ali bin Thalq dia berkata; Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wasallam bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian buang angin ketika sedang shalat, maka berwudhulah dan hendaklah dia mengulangi lagi shalatnya”.” (HR. Abu Dawud: 177)
Atau seseorang yang menyendiri di belakang shaf:
عَن ْوَابِصَةَ بْنِ مَعْبَدٍ أَنَّ رَجُلًا صَلَّى خَلْفَ الصَّفِّ وَحْدَهُ، فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعِيدَ الصَّلَاةَ.
“Dari Wabishah bin Ma’bad: Seorang laki-laki shalat sendirian di belakang shaf, syaikh tersebut mendengar Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wasallam memerintahkan laki-laki itu untuk mengulangi shalatnya”.” (HR. At-Tirmidzi: 213)
Al-Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa para Ulama berbeda pendapat terkait persoalan ini: “Sebagian ahli ilmu memakruhkan shalat sendirian di belakang imam, mereka berkata; “Ia harus mengulangi shalatnya jika dilakukan sendirian di belakang imam.” Pendapat ini diambil oleh Ahmad dan Ishaq. Dan sebagian ulama yang lain, “Jika ia shalat sendirian di belakang imam maka itu telah mencukupi.” Pendapat ini diambil oleh Sufyan Ats-Tsauri, bin Al-Mubarak dan Asy-Syafi’i. Beberapa ulama dari Kufah juga berpegangan dengan hadits Wabishah bin Ma’bad, mereka berkata; “Barangsiapa shalat sendirian di belakang shaf maka ia harus menguangi shalatnya.” Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Hammad bin Sulaiman, Ibnu Abu Layla dan Waki’.”
Contoh yang lain, seseorang yang shalat namun tidak terpenuhi syaratnya seperti bersuci:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ ، أَنَّ رَجُلَيْنِ تَيَمَّمَا وَصَلَّيَا، ثُمَّ وَجَدَا مَاءً فِي الْوَقْتِ، فَتَوَضَّأَ أَحَدُهُمَا وَعَادَ لِصَلَاتِهِ مَا كَانَ فِي الْوَقْتِ، وَلَمْ يُعِدِ الْآخَرُ، فَسَأَلَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ : ” أَصَبْتَ السُّنَّة َوَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ “. وَقَالَ لِلْآخَرِ : ” أَمَّا أَنْتَ فَلَكَ مِثْلُ سَهْمِ جَمْعٍ “.
“Dari Abu Sa’id bahwa ada dua orang yang tayamum, lalu keduanya shalat. Kemudian keduanya mendapatkan air pada waktu shalat tersebut belum selesai, maka salah seorang dari keduanya berwudlu dan mengulangi shalatnya, sedangkan yang kedua tidak mengulanginya. Setelah itu keduanya bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wasallam tentang hal tersebut. Maka Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wasallam bersabda kepada yang tidak mengulangi shalatnya, “Kamu sesuai dengan Sunnah dan shalatmu sudah cukup.” Lalu beliau bersabda kepada yang mengulangi shalatnya, “Kamu seperti mendapatkan bagian ganda”.” (HR. An-Nasai: 430)
Juga dikisahkan bahwa Mu’adz bin Jabal shalat dua kali untuk menjadi imam di tengah-tengah kaumnya:
عن جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ ، أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ يَأْتِي قَوْمَهُ فَيُصَلِّي بِهِمُ الصَّلَاةَ، فَقَرَأَ بِهِمُ الْبَقَرَةَ، قَالَ : فَتَجَوَّزَ رَجُلٌ فَصَلَّى صَلَاةً خَفِيفَةً، فَبَلَغَ ذَلِكَ مُعَاذًا، فَقَالَ : إِنَّهُ مُنَافِقٌ. فَبَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا قَوْمٌ نَعْمَلُ بِأَيْدِينَا، وَنَسْقِي بِنَوَاضِحِنَا، وَإِنَّ مُعَاذًا صَلَّى بِنَا الْبَارِحَةَ، فَقَرَأَ الْبَقَرَةَ، فَتَجَوَّزْتُ، فَزَعَمَ أَنِّي مُنَافِقٌ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” يَا مُعَاذُ، أَفَتَّانٌ أَنْتَ؟ “. ثَلَاثًا، ” اقْرَأْ : { وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا } وَ : { سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى }. وَنَحْوَهَا “.
Dari Jabir bin Abdullāh bahwa Mu’adz bin Jabal radliallahu ‘anhu pernah shalat (dibelakang) Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wasallam, kemudian dia kembali ke kaumnya untuk mengimami shalat bersama mereka dengan membaca surat Al-Baqarah, Jabir melanjutkan; “Maka seorang laki-laki pun keluar (dari shaf) lalu ia shalat dengan shalat yang agak ringan, ternyata hal itu sampai kepada Mu’adz, ia pun berkata; “Sesungguhnya dia adalah seorang munafik.” Ketika ucapan Mu’adz sampai ke laki-laki tersebut, laki-laki itu langsung mendatangi Nabi shallallāhu ‘alayhi wasallam sambil berkata; “Wahai Rasūlullāh, sesungguhnya kami adalah kaum yang memiliki pekerjaan untuk menyiram ladang, sementara semalam Mu’adz shalat mengimami kami dengan membaca surat Al Baqarah, hingga saya keluar dari shaf, lalu dia mengiraku seorang munafik.” Maka Nabi shallallāhu ‘alayhi wasallam bersabda: “Wahai Mu’adz, apakah kamu hendak membuat fitnah.” -Beliau mengucapkannya hingga tiga kali- bacalah Wasy syamsi wadhuhāha dan Sabbihismarabbikal a’la atau yang serupa dengannya.” (HR. Al-Bukhari: 5641)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ كَانَ يُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى قَوْمِهِ، فَيُصَلِّي بِهِمْ تِلْكَ الصَّلَاةَ.
“Dari Jabir bin Abdullah bahwa Muadz bin Jabal shalat Isya akhir bersama Rasūlullāh Shallallāhu ‘alayhi wasallam kemudian kembali pulang kepada kaumnya, lalu shalat mengimami mereka dengan shalat tersebut.” (HR. Muslim: 711)
Rasūlullāh juga pernah menawarkan para Sahabat untuk mengulang shalatnya dalam rangka menemani seseorang yang akan shalat sendirian, agar ia bisa mendapatkan pahala shalat berjamaah:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصَرَ رَجُلًا يُصَلِّي وَحْدَهُ فَقَالَ أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ
“Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwasanya Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat seorang laki laki sedang mengerjakan shalat sendirian, maka beliau bersabda: “Adakah seseorang yang mau bersedekah kepada orang ini dengan mengerjakan shalat bersamanya?” (HR. Abu Dawud: 487)
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa seseorang yang telah melaksanakan shalat, sangat mungkin atau bahkan mesti mengulang shalatnya bila terdapat cacat atau adanya fadhilah yang lebih besar pada shalat kedua.
Para Ulama menyebutkan di antara persoalan yang berkaitan dengan hal ini adalah sebagai contoh ketika seseorang sedang berada di kendaraan, sementara tidak memungkinkan baginya untuk berniat jama’ ta’khir, karena misalnya ia melakukan perjalanan yang melewati waktu Shubuh.
Bila telah tiba waktunya, maka jatuh kewajiban padanya dan bila ia tidak melaksanakan, maka ia berdosa. Namun, ada satu rukun yang tidak terpenuhi, yaitu berdiri. Walaupun keseluruhan syarat telah terpenuhi dan rukun-rukun yang lain telah ditegakkan, namun pelaksanaan shalat yang dilakukan dengan duduk atau bahkan ditambah tidak menghadap kiblat mengandung cacat yang berpotensi tidak sahnya shalat yang dilaksanakan.
Ulama Syafiiyyah memandang bahwa shalat di atas kendaraan dianggap mencukupi bila terpenuhinya keseluruhan rukun dan syarat. Adapun, bila salah satunya tidak terpenuhi maka wajib diulang (i’adah) bila masih berada pada waktunya dan wajib qadha bila telah keluar waktunya.
Seseorang yang telah terbebani kewajiban shalat, tetap melaksanakan shalat di atas kendaraan lihirmatil waqt (untuk menghormati waktu) walaupun tidak terpenuhi beberapa syarat atau rukunnya. Bila ia sudah bisa memenuhi rukunnya maka baru ia mengerjakan shalat dengan sempurna.
Permasalahan lain yang berkaitan dengan hal ini adalah persoalan shalat Jumat. Ulama Syafiiyyah telah menentukan beberapa syarat sahnya shalat Jumat yang mesti dipenuhi. Bila salah satu syaratnya tidak dipenuhi, maka mesti diulang dengan melaksanakan shalat Zhuhur. Namun, mereka tetap tidak boleh meninggalkan shalat Jumat disebabkan telah terpenuhinya syarat wajib bagi mereka untuk melaksanakannya. Permasalahan i’adah Jumat ini memiliki rincian yang cukup lebar dan membutuhkan pembahasan tersendiri. Adapun dalam tulisan ini kami hanya menampilkan hujjah disyariatkannya i’adah bila terdapat beberapa sebab yang menghendakinya.
Semoga bermanfaat. Wallāhu a’lam.