Fatwapedia.com – Apa hukum Menjalani check up atau pemeriksaan kesehatan sebelum pernikahan? Tema ini penting mengingat dekadensi yang berkembang di tengah masyarakat pada masa sekarang, dengan merosotnya sifat amanah dan kejujuran calon pengantin dalam memberitahukan penyakit-penyakit jasmani dan rohani yang mereka derita sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Padahal, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, dan perlunya melakukan tindakan pencegahan medis untuk menjamin calon pengantin bebas dari ancaman penyakit-penyakit, maka calon pengantin dapat menjalani sejumlah tes kesehatan yang dimaksudkan untuk mendeteksi penyakit-penyakit genetik, menular, dan kelamin, serta mengenali kebiasaan-kebiasaan sehari-hari yang akan berpengaruh di masa yang akan datang terhadap kesehatan pasangan suami istri atau terhadap kesehatan anak-anak yang dilahirkan.
Pandangan Medis Terhadap Pemeriksaan Ini
Pandangan dunia medis menyatakan bahwa rangkaian pemeriksaan kesehatan sebelum pernikahan memiliki sisi-sisi positif dan negatif yang bisa dirangkum sebagai berikut. [Mustajaddat Fiqhiyyah (halaman 83-87) dengan sedikit perubahan]
A. Sisi Positif Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Pernikahan
1. Pemeriksaan ini termasuk cara pencegahan yang sangat efektif dalam mencegah penyakit genetik dan penyakit yang sangat menular.
2. Pemeriksaan ini merupakan bentuk perlindungan masyarakat dari penyebaran dan pencegahan penyakit, dan merupakan upaya meminimalkan penyandang cacat di tengah masyarakat, dan pada gilirannya meminimalkan kerugian materi dan jiwa di tengah masyarakat.
3. Sebagai upaya untuk menjamin lahirnya anak-anak yang sehat akal dan jasmaninya, dan menjamin tidak menularnya penyakit-penyakit genetik yang dimiliki oleh kedua calon pengantin atau salah seorang dari mereka.
4. Memastikan subur tidaknya kedua calon pengantin hingga batas tertentu. Perlu diketahui bahwa adanya sebab-sebab kemandulan pada salah seorang dari keduanya terkadang menjadi sebab terpenting timbulnya pertengkaran dan perselisihan di antara pasangan suami istri.
5. Memastikan tidak adanya cacat fisik dan psikologi yang dapat menghalangi tujuan yang disyariatkan kepada kedua calon pengantin, yaitu melakukan hubungan suami istri yang sehat.
6. Memastikan tidak adanya penyakit-penyakit kronis yang dapat mempengaruhi keberlangsungan kehidupan setelah pernikahan dan memiliki peran dalam mengacaukan ketenangan kehidupan rumah tangga.
7. Menjamin tidak adanya bahaya yang mengancam kesehatan masing-masing calon akibat hubungan seksual di antara mereka, dan tidak adanya bahaya yang mengancam kesehatan pengantin perempuan selama hamil dan setelah melahirkan akibat pergaulannya dengan suami.
B. Sisi Negatif Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Pernikahan
1. Pemeriksaan ini terkadang menimbulkan rasa frustasi. Sebagai misal, ketika hasil pemeriksaan mendiagnosa adanya kemungkinan calon pengantin perempuan mandul atau menderita kanker payudara, kemudian orang lain mengetahui hal itu sehingga menyebabkan perempuan tersebut mengalami depresi secara kejiwaan dan sosial. Ini tentu bisa merusak masa depannya, padahal diagnosa medis bisa benar dan bisa juga salah.
2. Pemeriksaan ini bisa membuat kehidupan sebagian orang dipenuhi rasa cemas, depresi, dan putus asa jika kepada mereka disampaikan dengan cara yang tidak tepat berita bahwa dia terkena penyakit mematikan yang tidak bisa disembuhkan.
3. Hasil analisis yang didapatkan tetap hanya berupa perkiraan untuk beberapa jenis penyakit, dan bukan bukti akurat untuk mengungkap penyakit-penyakit di masa datang.
4. Terkadang pemeriksaan ini membuat seseorang kehilangan kesempatan untuk menikah akibat ketidak akuratan hasil pemeriksaan tersebut.
5. Sangat jarang orang yang tidak terkena penyakit, terlebih lagi kita mengetahui bahwa penyakit-penyakit genetik yang telah berhasil diidentifikasi sudah lebih dari 3.000 penyakit genetis.
6. Sikap tergesa-gesa dalam memberikan konsultasi kesehatan dalam pemeriksaan tersebut menyebabkan problem sebanyak yang dianilisisnya.
7. Terkadang pasien yang menjalani pemeriksaan ini mengalami pengalaman buruk dengan disebarluaskannya hasil pemeriksaan tersebut dan disalahgunakan tidak sebagaimana mestinya.
Demikianlah ringkasan pandangan medis tentang pemeriksaan kesehatan sebelum pernikahan. Lantas bagaimana sikap syariat terhadap pemeriksaan ini? Bolehkah mewajibkan calon pengantin untuk menjalani pemeriksaan ini?
Pandangan Syariat tentang Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Pernikahan
Tentu saja pembahasan masalah ini belum diperlukan pada zaman dahulu mengingat kelebihan kaum muslimin generasi awal yang selalu bersikap amanah dalam menyampaikan kekurangan-kekurangan mereka. Selain itu, ilmu pengetahuan juga belum semaju sekarang sehingga tidak memungkinkan melaksanakan pemeriksaan seperti itu. Adapun ulama-ulama kontemporer, mereka memiliki dua pandangan tentang masalah ini.
Pertama: Melarang Dilakukannya Pemeriksaan Tersebut Dan Menyatakan Bahwa Pemeriksaan Itu Tidak Diperlukan. Di antara ulama yang menyatakan pandangan ini adalah al-‘Allamah Ibnu Baz –semoga Allah menerangi kuburannya–. Beliau beralasan bahwa hal itu menafikan persangkaan baik kepada Allah dan bahwa pemeriksaan tersebut terkadang memberikan hasil yang tidak akurat.[1]
Kedua: Pemeriksaan Tersebut Boleh Dan Tidak Bertentangan Dengan Syariat Islam.Pandangan ini dikemukakan oleh mayoritas ulama. Mereka berpendapat bahwa tidak ada dalam pemeriksaan tersebut yang bertentangan dengan syariat dan tidak pula dengan rasa percaya kepada Allah karena pemeriksaan tersebut hanya salah satu bentuk upaya menjalani sebab. Umar radhiallahu ‘anhu pernah berkata ketika wabah penyakit melanda wilayah Syam, “Aku lari dari takdir Allah menuju takdir-Nya yang lain.”[2]
Penulis berkata: Barangkali pendapat kedua ini yang lebih dekat kepada kebenaran dengan tetap disertai sikap kehati-hatian. Untuk dasar pendalilannya, bisa dengan dalil-dalil berikut. [Mustajaddat Fiqhiyyah fi Qadhaya az-Zawaj wa ath-Thalaq (halaman 93-97) dengan sedikit perubahan]
1. Menjaga keturunan termasuk di antara lima komponen dasar (al-kulliyyat al-khams) yang dalam banyak sekali nash diserukan untuk dijaga dan diperhatikan. Dalam suatu ayat disebutkan bahwa Zakariya ‘alaihi as-salam berkata,
رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً
“Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik.” [Surat Ali ‘Imran:38]
Dalam ayat lain, disebutkan doa kaum mukminin:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami).” [Surat al-Furqan:74]
[1] Surat kabar al-Muslimun, nomor 597, edisi tanggal 12 Juli 1996 (halaman 11). Dikutip dariMustajaddat Fiqhiyyah halaman 92.
Jadi, tidak ada salahnya jika seseorang sangat menginginkan anak yang sehat, tidak cacat dan tidak berpenyakit.
2. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menganjurkan kepada laki-laki agar memilih istri dari keluarga yang diketahui putri-putrinya bisa memiliki anak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ
“Nikahilah perempuan-perempuan yang penyayang lagi subur (banyak keturunan) karena aku akan berbangga kepada umat yang lain dengan banyaknya kalian.”[1]
Ini menunjukkan urgensi unsur pemilihan istri bagi dasar kesehatan anak dan proses kelahiran di masa depan.
3. Dari Umar radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Perempuan mana saja yang seorang laki-laki tergoda dengannya, padahal perempuan itu punya penyakit gila, sopak, atau kusta, maka untuknya mahar atas apa yang laki-laki itu perbuat terhadapnya, dan kewajiban laki-laki untuk membayar mahar menjadi tanggungan orang yang membuatnya tergoda (yaitu si wali perempuan tersebut).” [Para rawinya rawi-rawi yang tsiqah. Hadits Riwayat: Malik (II/526), Abdurrazzaq (10679), dan al-Baihaqi (VII/214)]
4. Dalil-dalil yang menganjurkan pelamar untuk melihat perempuan yang dia lamar dan mengenali kekurangan-kekurangannya. Misalnya hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki yang melamar seorang perempuan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya
فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا
‘Pergilah melihatnya karena sesungguhnya ada sesuatu di mata orang-orang Anshar .” [Shahih. Hadits Riwayat: Muslim]
5. Dalil-dalil yang secara umum menyuruh menjauhi orang-orang yang terkena penyakit-penyakit menular. Misalnya, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَا تُورِدُوا الْمُمْرِضَ عَلَى الْمُصِحِّ
“Janganlah kalian mencampur yang sakit dengan yang sehat.” [Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari]
Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam:
فِرَّ مِنْ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنْ الْأَسَدِ
“Jauhilah penyakit kusta sebagaimana engkau lari dari kejaran singa.” [Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (5380), Ahmad (II/443), dan al-Baihaqi (VII/218)]
Semua itu tidak bisa diketahui kecuali dengan pemeriksaan kesehatan.
6. Dalil-dalil yang secara umum melarang menimbulkan bahaya terhadap diri sendiri dan orang lain.
Dari dalil-dalil di atas bisa kita katakan bahwa pemeriksaan kesehatan sebelum pernikahan tidak bertentangan dengan syariat Islam, bahkan sesuai dengan tujuan-tujuan syariat. Berdasarkan hal itu, maka apabila pemerintah memandang perlunya mengharuskan masyarakat menjalani pemeriksaan kesehatan –saat kondisi tersebarnya suatu penyakit–, maka itu boleh ditempuh sebagai bagian dari politik syar‘iyyah, meskipun pemeriksaan tersebut tidak berpengaruh apapun bagi kesahan akad nikah menurut syariat.
Untuk Disikapi Dengan Hati-Hati
1. Tidak boleh memaksa masyarakat menjalani pemeriksaan kesehatan jika tidak ada keperluan yang sangat mendesak. Pemeriksaan kesehatan hanya boleh dilaksanakan jika memang ada keperluan dan berkaitan dengan penyakit-penyakit berbahaya bagi masa depan perkawinan. Tentunya dengan tanpa berlebih-lebihan sehingga memberatkan mereka dengan biaya-biaya, dan agar pemeriksaan tersebut tidak menjadi peluang untuk merugikan masyarakat.
2. Para dokter yang melaksanakan pemeriksaan tersebut harus berupaya menjaga rahasia dan aib pasien-pasiennya agar tidak dimanfaatkan oleh pihak lain untuk melakukan kejahatan kepada mereka.