Oleh: Syaikh Dr. Labib Najib
Dua permasalahan ini lebih cocok disebut suatu adat bukan suatu ibadah, maka ketika masyarakat sudah terbiasa merayakan suatu hari dengan konotasi hari Kemerdekaan karena pada hari itu berhasil mengusir penjajah kafir dari negara mereka atau karena sebab lainnya, maka adat itu (hari Kemerdekaan) termasuk sesuatu yang mubah karena suatu kaidah mengatakan hukum asal suatu adat itu boleh selama tidak menyelisih batasan-batasan syari’at.
Jika ada yang mengatakan bahwasannya hari Ied itu sebatas Idul Adha dan Idul Fitri dengan dalil:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ
Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia telah menggantinya untuk kalian dengan nilai yang lebih baik yaitu hari Idul Fitri dan Idul Adha. (HR. Ahmad, Hakim, at-Thabrani dan Baihaqi).
Maka dijawab dengan dua sisi:
1. Yang dimaksud Ied di sini adalah Ied yanpg disyari’atkan agama karena dilakukan setelah melaksanakan suatu ibadah yang besar yaitu Haji dan puasa Ramadhan, bukan Ied yang dilakukan karena suatu adat atau kebiasaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan agama atau ibadah.
2. Ada beberapa hadits yang menyebutkan bahwasannya hari Jum’at dan Arafah itu dinamakan hari Ied dan dua hari di luar Idul Fitri dan Adha.
Nabi Muhammad bersabda :
يوم عرفة ويوم النحر وأيام التشريق عيدنا أهل الإسلام ، وهي أيام أكل وشرب “
“Hari Arafah, hari Nahr dan Hari-hari Tasyriq adalah hari raya kami orang muslim. Ia adalah hari makan dan minum.” (HR. Tirmizi, (773) dinyatakan Shahih oleh Albani di Shahih Tirmizi).
Jika ada yang mengatakan bahwasannya merayakan hari kemerdekaan itu termasuk suatu bid’ah?
Jawabannya:
Merayakan hari kemerdekaan tidak bisa disebut bid’ah yang dilarang, karena merayakan hari itu dilaksankan bukan dalam rangka ibadah akan tetapi itu dilakukan karena suatu kebiasaan masyarakat.
Sedangkan larangan bid’ah yang dimaksud adalah sesuatu yang berkaitan tentang agama atau ritual ibadah.
Jika ada yang mengatakan apakah merayakan kemerdekaan itu bentuk tasyabuh dengan orang-orang kafir?
Jawabannya:
Merayakan kemerdekaan bukanlah bentuk tasyabbuh dengan orang-orang kafir karena tasyabbuh yang dilarang dalam agama adalah mengikuti atau menyerupai ciri-ciri atau kebiasaan yang itu menjadi ciri khas orang kafir.
Akan tetapi ketika kebiasaan itu dilakukan secara menyeluruh bukan menjadi ciri khas orang-orang kafir maka ini diperbolehkan.
Imam Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari bahwasannya dulu pakaian yang berwarna merah itu dilarang karena warna itu sudah menjadi ciri khas orang-orang kafir akan tetapi pada zaman sekarang warna merah sudah tidak menjadi ciri khas mereka lagi dan digunakan oleh semua kalangan, karena sebab inilah memakai sesuatu yang berwarna merah tidak dilarang lagi karena itu bukan bentuk tasyabbuh kepada orang-orang kafir.
Dan ketahuilah bahwasanya merayakan kemerdekaan negara itu dilakukan oleh mayoritas negara dan perayaan itu bukanlah ciri khas orang-orang kafir.
Adapun masalah hormat kepada bendera itupun termasuk suatu yang mubah dan tidak dilarang, karena bentuk penghormatan kepada bendera tidak membatalkan atau mengurangi nilai ketauhidan seseorang.
Sebagaimana yang difatwakan oleh syaikh Utsaimin dalam kitabnya Syarh Aqidah Safaraniah.
Dan menghormati bendera yang menjadi lambang negara yang kita tinggal dan menegakkan syi’ar-syi’ar agama kita di dalamnya serta telah diusir darinya penjajah kafir; maka tidaklah haram.
Dan barangsiapa yang menganggap bahwasannya hormat atau memuliakan sesuatu selain Allah itu syirik secara mutlak maka presepsi itu keliru.
Allah berfirman :
وَمَن يُعَظِّمْ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى ٱلْقُلُوبِ
Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.
Dan di antara mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah itu adalah berkurban.
Allah berfirman :
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ
Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah,
Dan Nabi Muhammad SAW menulis surat ke raja Rum yang mana surat itu diawali dengan tulisan “kepada yang mulia Heraklius (raja Romawi).” disitu Nabi memuliakan raja Rum, kalau saja bentuk kemuliaan itu syirik maka tidak dilakukan.
Dan dalam Shahih Bukhari mengatakan pada kaum Anshar ketika datang Sa’ad bin Muadz “berdirilah kepada tuan kalian.” Rasulullah pun pernah berdiri untuk anaknya yaitu sayyidah Fatimah, dan itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan.
Dan para fuqoha Syafi’iyyah menganjurkan untuk berdiri ketika dihadirkan mushaf dan bertemu dengan para ulama sebagai bentuk penghormatan kepada mereka.
Dan sebagian fuqoha pun menganjurkan untuk berdiri kepada mayyit jenazah yang melewati mereka dalam rangka penghormatan dan pemuliaan kepada para malaikat, dan ini pun yang dianjurkan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muhadzab.
Maka dari itu berdiri untuk menghormati bendera yang menjadi lambang negara yang kita menegakkan syi’ar-syi’ar agama kita di dalamnya; hukumnya boleh. Karena mencintai tanah air itu disyariatkan.
Nabi Muhammad bersabda,
وَاللَّهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ، وَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ إِلَى اللَّهِ، وَلَوْلاَ أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ
“Demi Allah, sesungguhnya engkau sebaik-baik bumi Allah, dan negeri Allah yang paling dicintai Allah, kalau bukan lantaran aku dikeluarkan darimu, niscaya aku tidak keluar.” (HR Tirmidzi dan Nasai)
Dan Nabi mengatakan, “ini adalah (gunung) Uhud, Gunung yang mencintai kita dan kita mencintainya.”
Dan diriwayatkan dari Imam Bukhori bahwasannya Nabi Muhammad SAW Ketika pulang dari safar beliau melihat tembok-tembok yang ada di kota Madinah, maka seketika itu beliau mempercepat untanya.
Ibnu Hajar menjelaskan hadits ini dalam Fathul Bari’, hadits ini menunjukan keutamaan kota Madinah, dan juga menunjukkan bahwasannya mencintai negara itu disyariatkan.
Diterjemahkan oleh Tim Ilman Nafian dengan sedikit perubahan