Oleh: Mohammad Mas’udi
Fatwapedia.com – Perkembangan teknologi modern dewasa ini telah melahirkan teknologi daur ulang air. Daur ulang air diperlukan ketika terdapat kebutuhan air bersih yang cukup besar, sementara ketersediaannya relatif terbatas. Daur ulang air dilakukan terhadap air yang telah tercemar oleh limbah pemukiman, perhotelan, industri, pertanian, perdagangan, transportasi, dan pertambangan.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah air daur ulang yang berasal dari air yang telah tercampur dan menyatu dengan bermacam-macam benda najis (mitanajjis) itu dapat dipakai sebagai alat untuk bersuci sebagaimana air mutlak?
***
Sesungguhnya upaya daur ulang air adalah selaras dengan prinsip-prinsip ajaran Islam tentang perlunya optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan hidup manusia. Daur ulang air telah memberikan sarana bagi terciptanya kehidupan yang lebih sejahtera bagi umat manusia karena adanya kebutuhan manusia terhadap air bersih. Lebih dari itu, dengan adanya daur ulang terhadap air yang tercemar dapat memberikan kesempatan umat manusia untuk mengkonsumsi air secara lebih higienis.
Daur ulang air dalam perspektif fikih dipahami sebagai upaya mengubah status air yang tercemar oleh najis (mutanajjis), air bekas/limbah (musta’mal), dan air yang telah berubah salah satu sifatnya, baik terhadap rasa, warna, ataupun bau (mutaghayyir) menjadi air yang suci dan mensucikan atau air bersih.
Para ahli hukum Islam klasik dari berbagai madzhab mempergunakan istihalah dalam menyelesaikan problem air yang tercemar oleh najis. Hal yang sama juga dilakukan oleh para ahli hukum Islam kontemporer yang menggunakan istihalah sebagai solusi problem atas air daur ulang agar dapat dimanfaatkan kembali.
Definisi
Istihalah berasala dari kata hāla, yahūlu, haulan yang bermakna taghayyara atau berubah. Adapun menurut ulama ahli fikih, istihalah didefinisikan sebagai perubahan wujud suatu benda dari satu bentuk dengan sifatnya kepada bentuk lain dengan sifatnya yang juga mengalami perubahan.
Definisi lain mengatakan bahwa istihalah adalah perubahan benda najis yang menjadi suci dengan sendirinya atau melalui suatu perantara. Terdapat perbedaan pandangan di kalangan ahli fikih terhadap istihalah dalam pengertian bahwa istihalah bisa mengubah hukum suatu benda dari najis menjadi suci, atau dari suci menjadi najis.
Sebagian ahli fikih berpendapat bahwa jika suatu benda asalnya najis, maka perubahan apapun yang terjadi maka benda itu tetap najis. Sementara itu, ahli fikih lainnya berpendapat bahwa istihalah bisa mengubah status hukum suatu benda dari najis menjadi suci.
Prinsip Kemudahan
Terhadap dua pandangan ini, maka bisa dikemukakan prinsip taysir (kemudahan) untuk memilih salah satu pandangan yang ada. Dalam hadits shahih disebutkan bahwa setiap kali Nabi dihadapkan pada dua pilihan, beliau selalu memilih yang paling mudah dari keduanya (aysaruhuma). Akan tetapi, kalau pilihan kemudahan itu merupakan dosa, maka beliau adalah orang yang mula-mula lari dan menjauhkan diri darinya (HR. Bukhari dari ‘Aisyah).
Berbagai kemudahan agama ini diberikan oleh Allah swt. untuk tujuan dan maksud yang mulia. Pertama, memastikan agar manusia dapat menjalankan agama tanpa susah payah dalam dimensi ruang dan waktu. Kedua, mendorong dan memotivasi manusia agar rajin dan bersemangat dalam menjalankan agama, karena bisa dilakukan dengan mudah dan tanpa kesulitan.
Dalam hubungannya dengan air mutanajjis atau air yang terkena najis, para ulama klasik telah melakukan istihalah dengan beberapa cara; Pertama, menguras air yang terkena najis atau yang telah berubah sehingga yang tersisa tinggal air yang aman dari najis dan yang tidak berubah salah satu sifatnya. Hal ini dilakukan dengan cara; (a) menutup mata airnya terlebih dahulu; (b) membuang penyebab najis sebelum dilakukan pengurasan; (c) menghilangkan rasa, warna, dan bau yang menyebabkan perubahan air tersebut.
Kedua, menambah air bersih pada air yang terkena najis atau yang berubah, sehingga unsur najis dan semua sifat yang menyebabkan air itu berubah menjadi hilang. Ketiga, mengubah air yang terkena najis atau yang telah berubah sifatnya, sehingga sifat asli air itu kembali seperti semula serta layak dinilai sebagai air bersih.
Bahwa air yang terkena najis atau telah berubah salah satu sifatnya dapat direkayasa dengan tiga cara di atas untuk mengembalikan status air tersebut agar menjadi air bersih (thahir wa muthahhir). Rekayasa ini dikenal sebagai istihalah.
Air Daur Ulang: Suci dan Mensucikan
Pada dasarnya, air yang ada di seluruh permukaan bumi ini adalah suci dan mensucikan, seperti air sumur, air sungai, air mata air, air embun, maupun air es. Namun dalam perkembangannya, bermacam-macam air tersebut telah dipergunakan oleh manusia (musta’mal) untuk berbagai kebutuhan hidup dan menyebabkan air tersebut terkena najis dan bahkan menyatu dengan najis (mutanajjis), atau karena suatu hal yang menjadi berubah salah satu sifatnya (mutaghayyir). Upaya merekayasa air mutanajjis, musta’mal, dan mutaghayyir agar menjadi suci kembali ini merupakan inti dari cara kerja istihalah.
Ketika air yang tercemar oleh limbah pemikiman, perhotelan, industri, pertanian, perdagangan, transportasi, dan pertambangan telah didaur ulang menjadi air bersih, maka hukumnya pun suci dan mensucikan. Sehingga dapat dimanfaatkan bagi kepentingan ibadah, seperti berwudlu, mandi wajib, menghilangkan najis maupun aktivitas kehidupan sehari-hari, seperti mencuci, memasak, sebagai air minum, dan sebagainya.
Meskipun secara umum air daur ulang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan ibadah dan muamalah, namun harus dipahami bahwa tingkat ketercemaran antara air yang digunakan untuk industri bisa berbeda dengan air limbah pemukiman, perhotelan, dan lainnya. Oleh karena itu, pemanfaatan air daur ulang perlu dikonfirmasikan dengan persyaratan kualitas air sesuai standar ilmiah yang berlaku.
Dengan demikian harus dipilah air daur ulang dari limbah apa saja yang layak dimanfaatkan bagi kebutuhan air minum, bagi kebutuhan air bersih, bagi kebutuhan kolam renang, bagi kebutuhan pemandian umum, ataupun kebutuhan lainnya. Dengan demikian, diperlukan pengawasan terhadap air daur ulang ini agar tidak terjadi penurunan kualitas serta penggunaan air yang dapat mengganggu dan membahayakan kesehatan.
Berdasar penjelasan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa air daur ulang merupakan air yang tercampur dan menyatu dengan najis, air bekas atau limbah, dan air yang telah berubah rasa, warna dan baunya yang telah diproses menjadi air bersih. Hukum air daur ulang adalah suci dan mensucikan. Adapun dalam pemanfaatannya perlu dikonfirmasi dengan persyaratan kualitas air sesuai standar ilmiah yang berlaku.