Afwan ustadz, apakah benar catur diharamkan karena hadits “Memegang bara api sampai bara itu padam adalah lebih baik daripada main catur” (HR. Al Baihaqi) mohon penjelasannya. Terima kasih.
Bismillahirrahmanirrahim…
Perlu diketahui, sebagaimana dikatakan Imam Ibnu Katsir Rahimahullah, permainan catur (Asy Syitranju) di dunia Islam baru dikenal di masa sahabat nabi. Sehingga menurutnya, semua hadits tentang catur tidak ada yang shahih.
Imam Asy Syaukani mengutip dari Imam Ibnu Katsir sebagai berikut:
قال ابن كثير : والأحاديث المروية فيه لا يصح منها شيء ويؤيد هذا ما تقدم من أن ظهوره كان في أيام الصحابة
“Berkata Ibnu Katsir: hadits-hadits yang meriwayatkan tentang catur tak ada yang shahih sama sekali. Hal ini didukung oleh fakta masa lalu bahwa catur baru ada pada zaman sahabat (zaman nabi belum ada, pen).” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 8/96. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Kenyataan ini menunjukkan bahwa jika ada hadits Nabi ﷺ tentang catur, maka bisa dipastikan itu tidak shahih. Bukan hanya Imam Ibnu Katsir, para imam lainnya telah menyatakan tidak ada satu pun yang shahih dari Rasulullah ﷺ tentang masalah catur. Di antaranya:
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah sebagai berikut:
ورد في الاحاديث تحريم لعب الشطرنج. ولكن هذه الاحاديث لم يثبت منها شئ. قال الحافظ بن حجر العسقلاني: ” لم يثبت في تحريمه حديث صحيح ولا حسن “.
“Telah datang hadits-hadits tentang pengharaman bermain catur, tetapi hadits-hadits tersebut tidak satu pun yang tsabit (kuat). Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani: “Tidak ada yang tsabit tentang pengharamannya, tidak dalam hadits shahih dan tidak pula hasan.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 3/513. Dar Al Kitab Al ‘Arabi)
Imam Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj mengatakan:
قَالَ الْحُفَّاظُ : لَمْ يَثْبُتْ مِنْهَا حَدِيثٌ مِنْ طَرِيقٍ صَحِيحٍ وَلَا حَسَنٍ وَقَدْ لَعِبَهُ جَمَاعَةٌ مِنْ أَكَابِرِ الصَّحَابَةِ وَمَنْ لَا يُحْصَى مِنْ التَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ وَمِمَّنْ كَانَ يَلْعَبُهُ غِبًّا سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
“Para hafizh berkata: Tidak ada satu pun hadits yang kuat, baik dengan jalan yang shahih dan hasan, bahkan sekumpulan para sahabat senior ada yang memainkannya, dan tidak terhitung dari kalangan tabi’in, dan manusia setelah mereka. Dan di antara mereka yang kadang-kadang main catur adalah Said bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu. (Imam Ibnu Hajar Al Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, 43/474. Mawqi’ Al Islam)
Imam An Nawawi berkata, ketika mengomentari hadits: Man la’iba bisy syithranj fahuwa mal’uun (Barangsiapa yang bermain catur maka dia terlaknat):
لا يصح، وهو كذلك بل لم يثبت من المرفوع في هذا الباب شيء كما بينته في عمدة المحتج.
“Tidak shahih, dan demikian juga ini, bahkan sama sekali tidak ada yang kuat baik riwayat marfu’ (sampai kepada Rasulullah) tentang tema ini (catur), sebagaimana saya jelaskan dalam ‘Umdatul Muhtaj. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 223)
Perlu diketahui, di antara riwayat-riwayat tentang catur, hanya perkataan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu yang paling baik sanadnya di antara yang lainnya. Di mana riwayat-riwayat tersebut isinya mencerca permainan catur dan pemainnya.
Hal ini dikatakan oleh Imam ibnu Katsir berikut:
وأحسن ما روي فيه ما تقدم عن علي كرم اللّه وجهه
“Dan yang paling bagus tentang riwayat catur adalah riwayat dari Ali Karramallahu wajhah.” (Nailul Authar, 8/96)
Imam Ibnu Qudamah mengutip dari Imam Ahmad sebagai berikut:
قَالَ أَحْمَدُ : أَصَحُّ مَا فِي الشِّطْرَنْجِ ، قَوْلُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ .
“Berkata Ahmad: riwayat paling shahih tentang catur adalah ucapan Ali Radhiallahu ‘Anhu.” (Al Mughni, 23/178)
Maksudnya, riwayat dari Ali Radhiallahu ‘Anhu adalah paling baik di antara yang buruk, walau sebenarnya dhaif juga.
Lalu bagaimana hukumnya?
Ada tiga pendapat dalam hal ini.
Pertama, Haram
Imam Adz Dzahabi Rahimahullah menyebutkan:
وأما الشطرنج فأكثر العلماء على تحريم اللعب بها سواء كان برهن أو بغيره
“Ada pun catur, maka kebanyakan ulama mengharamkan memainkannya, sama saja baik itu dengan taruhan atau tidak.” (Imam Adz Dzahabi, Al Kabair, Hal. 31)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
فمن حرمه: أبو حنيفة ومالك وأحمد.
“Di antara yang mengharamkannya adalah Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad (bin Hambal).” (Fiqhus Sunnah, 3/513)
Namun disebutkan bahwa Imam Malik dalam Al Muwaththa’-nya “hanya” memakruhkan. (Al Muwaththa’, No. 1720)
وسئل النووي رحمه الله عن اللعب بالشطرنج أحرام أم جائز فأجاب رحمه الله تعالى هو حرام عند أكثر أهل العلم. وسئل أيضاً رحمه الله عن لعب الشطرنج هل يجوز أم لا وهل يأثم اللاعب بها أم لا أجاب رحمه الله إن فوت به صلاة عن وقتها أو لعب بها على عوض فهو حرام وإلا فمكروه عند الشافعي وحرام عند غيره وهذا كلام النووي في فتاويه.
“An Nawawi Rahimahullah ditanya tentang bermain dengan catur, apakah haram atau boleh? Maka beliau –Rahimahullah- menjawab: Itu adalah haram menurut mayoritas ulama. Dia juga ditanya tentang bermain catur, apakah boleh atau tidak? Apakah berdosa memainkannya atau tidak? Maka beliau –Rahimahullah- menjawab: “Jika hal itu membuatnya luput waktu shalat, atau memainkannya dengan bayaran (taruhan), maka itu haram, jika tidak demikian, maka makruh menurut Asy Syafi’i, dan haram menurut selainnya. Inilah ucapan An Nawawi dalam fatwanya.” (Al Kabair, Hal. 31)
Kenapa umumnya ahli fiqih mengharamkan, bukankah semua haditsnya dhaif?
Mereka mengharamkannya karena mengqiyaskan dengan dadu (An Nardasyir). Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata:
” فأما الشطرنج فهو كالنرد في التحريم. إلا أن النرد آكد منه في التحريم لورود النص في تحريمه لكن هذا في معناه فيثبت فيه حكمه قياسا عليه “.
“Adapun catur, maka dia sama dengan dadu dalam keharamannya. Bedanya, bahwa dadu keharamannya ditegaskan dalam nash-nash tentang haramnya, tetapi catur secara makna sama dengan dadu, maka penegasan hukum catur adalah diqiyaskan dengan dadu.” (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 23/177)
Kedua, Makruh
Disebutkan dalam Fiqhus Sunnah sebagai berikut:
وقال الشافعي وبعض التابعين بكره ولا يحرم: فقد لعبه جماعة من الصحابة ومن لا يحصى من التابعين.
“Berkata Asy Syafi’i dan sebagian tabi’in bahwa catur adalah makruh dan tidak haram: sekelompok sahabat nabi pernah main catur, dan tidak terhitung dari kalangan tabi’in yang memainkannya.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 3/513. Dar Al Kitab Al ‘Arabi)
Imam Asy Syafi’i Rahimahullah berkata dalam kitabnya Al Umm:
يكره من وجه الخبر اللعب بالنرد أكثر مما يكره اللعب بشئ من الملاهي ولا نحب اللعب بالشطرنج وهو أخف من النرد
“Dimakruhkannya – lantaran adanya khabar- bermain dadu lebih banyak dibanding kemakruhan permainan lainnya. Aku tidak menyukai permainan catur dan hal itu lebih ringan dibanding dadu.” (Imam Asy-Syaf’i, Al-Umm, 6/224. Darul Fikr)
Di antara tokoh-tokoh yang memakruhkan adalah Abu Sa’id al Khudri, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Aisyah, Yazd bin Abi Habib, Muhammad bin Sirin, Ibrahim An Nakha’i. (Lihat Al Baihaqi no. 20725, 20729, Nailul Authar, 8/108)
Kecaman keras datangnya juga dari Sufyan Ats Tsauri, Ishaq bin Rahawaih, Waki’ bin Al Jarrah, dan Imam Ahmad bin Hambal. Bahkan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad menyatakan bahwa orang yang sedang main catur tidak pantas diucapkan salam saat kita menjumpai mereka. Ketika ditanya apakah boleh melempar catur mereka, Imam Ahmad menjawab: “Itu lebih baik.” (Al Adab Asy Syar’iyyah, 1/212, dan 4/52, juga Al Mausu’ah, 25/164, juga Al Kabair, Hal..31)
Ketiga, Mubah (Boleh)
Dari sini kita dapat mengetahui bahwa, tidak satu pun di antara imam empat madzhab yang membolehkan catur, mereka antara mengharamkan dan memakruhkan. Ada pun pengikutnya tidak sedikit yang mengatakan mubah seperti kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah, serta Al Qadhi Abu Yusuf, kawan dan murid Imam Abu Hanifah
Alasan kebolehannya adalah tidak ada ayat Al Quran dan hadits shahih yang mengharamkannya. Hukum asal segala sesuatu urusan dunia adalah boleh, sampai adanya dalil tegas dan autentik yang mengharamkannya. Ada pun jika alasannya “permainan yang melalaikan” maka bukan hanya catur, bukankah kehidupan dunia secara umum adalah permainan dan melalaikan? Apakah lantas dunia dan seluruhnya haram? Padahal Allah Ta’ala menciptakan dunia dan isinya buat manusia. (QS. Al Baqarah: 29)
Disebutkan dalam Dhau’un Nahar bahwa Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu membolehkannya. (Nailul Authar, 8/ 95). Tetapi dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau memakruhkannya.
Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan tentang Ibnu Az Zubeir dan Abu Hurairah, bahwa mereka berdua pernah main catur. (Imam Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 4/493, No. 2134. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Tetapi menurut Ibnu Hajar, yang dimaksud Ibnu Az Zubeir di sini adalah Hisyam bin ‘Urwah bin Az Zubeir (seorang tabi’in) bukan sahabat nabi, Abdullah bin Az Zubeir (anaknya Zubeir bin Awwam).
Syaikh Sayyid Sabiq juga memberikan keterangan demikian:
وروي عن أبي هريرة وسعيد بن المسيب وسعيد بن جبير اباحته.
“Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah, Said bin Al Musayyib, dan Said bin Jubeir, tentang kebolehannya.” (Fiqhus Sunnah, 3/514)
Secara ringkas, kami sebutkan para ulama zaman tabi’in yang pernah bermain catur, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, yakni Said bin Jubeir, Muhammad bin Sirin, Hisyam bin ‘Urwah bin Zubeir, Asy Sya’bi, Bahz bin Hakim, dan Ibrahim Al Hajari. (Semua ini ada dalam hadits No. 20711, 20712, 20713, 20715, dan 20716)
Sementara tentang tokoh besar tabi’in, Al Hasan Al Bashri, pernah ada orang ditanya tentang sikap Al Hasan terhadap catur, orang itu menjawab: Kaana laa yaraa biha ba’san (Beliau memandang hal itu tidak apa-apa). (Al Baihaqi, No. 20714)
Dalam Al Mausu’ah juga disebutkan demikian:
وَنُقِل الْقَوْل بِالإِْبَاحَةِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ وَسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ وَمُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ وَمُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ وَعُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ وَابْنِهِ هِشَامٍ وَسُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ وَالشَّعْبِيِّ وَالْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَرَبِيعَةَ وَعَطَاءٍ
“Telah dinukil pendapat yang membolehkan catur dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, Said bin Al Musayyib, Said bin Jubeir, Muhamamd bin Al Munkadir, Muhammad bin Sirin, ‘Urwah bin Az Zubeir dan anaknya (Hisyam), Sulaiman bin Yasar, Asy Sya’bi, Al Hasan Al Bashri, Rabi’ah, dan ‘Atha.“ (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 35/271)
Imam Adz Dzahabi menceritakan tentang Imam Asy Syafi’i:
وحكي إباحته في رواية عن الشافعي إذا كان في خلوة ولم يشغل عن واجب ولا عن صلاة في وقته
“Dan diceritakan tentang kebolehan catur dari Asy Syafi’i, jika tidak ada hal yang jelek, dan tidak membuatnya sibuk meninggalkan kewajiban, dan tidak meninggalkan shalat dari waktunya.” (Al Kabair, Hal. 31. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Hanya saja riwayat di atas bekum bisa dipastikan keshahihannya, mengingat Imam Adz Dzahabi menggunakan bentuk kata hukiya ‘an (diceritakan dari), yang menunjukkan ketidakpastian keshahihannya.
Untuk kalangan madzhab, disebutkan dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:
وَذَهَبَ أَبُو يُوسُفَ وَهُوَ قَوْلٌ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ وَقَوْلٌ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ إِلَى إِبَاحَةِ اللَّعِبِ بِالشِّطْرَنْجِ لِمَا فِيهِ مِنْ شَحْذِ الْخَوَاطِرِ وَتَذْكِيَةِ الأَْفْهَامِ
“Pendapat Abu Yusuf -dan ini pendapat Syafi’iyah (para pengikut Imam Asy Syafi’i) dan Malikiyah (para pengikut Imam Malik)- adalah bolehnya bermain catur karena didalamnya terdapat manfaat untuk menajamkan pikiran dan mencerdaskan pemahaman.”
(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 35/270)
Rambu-Rambu Oleh Pihak Yang Membolehkan
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menyampaikan hal tersebut sebagai berikut:
- Pertama. Tidak membuatnya sibuk sehingga lupa dari kewajiban-kewajiban agama.
- Kedua. Tidak dicampur dengan taruhan.
- Ketiga. Ketika bermain tidak terjadi hal-hal yang berselisihan dengan syariat Allah Ta’ala. (Fiqhus Sunnah, 3/514)
Pandangan Moderat dan Seimbang Syaikh Muhammad Rasyid Ridha Rahimahullah
Berikut ini teksnya dalam Tafsir al Manar:
إِنَّ اللَّعِبَ بِالشِّطْرَنْجِ إِذَا كَانَ عَلَى مَالٍ دَخَلَ فِي عُمُومِ الْمَيْسِرِ وَكَانَ مُحَرَّمًا بِالنَّصِّ كَمَا تَقَدَّمَ ، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ فَلَا وَجْهَ لِلْقَوْلِ بِتَحْرِيمِهِ قِيَاسًا عَلَى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ إِلَّا إِذَا تَحَقَّقَ فِيهِ كَوْنُهُ رِجْسًا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ ، مُوقِعًا فِي الْعَدَاوَةِ وَالْبَغْضَاءِ ، صَادًّا عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ ، بِأَنْ كَانَ هَذَا شَأْنَ مَنْ يَلْعَبُ بِهِ دَائِمًا أَوْ فِي الْغَالِبِ ، وَلَا سَبِيلَ إِلَى إِثْبَاتِ هَذَا وَإِنَّنَا نَعْرِفُ مِنْ لَاعِبِي الشِّطْرَنْجِ مَنْ يُحَافِظُونَ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ وَيُنَزِّهُونَ أَنْفُسَهُمْ عَنِ اللَّجَاجِ وَالْحَلِفِ الْبَاطِلِ ، وَأَمَّا الْغَفْلَةُ عَنِ اللهِ تَعَالَى فَلَيْسَتْ مِنْ لَوَازِمِ الشِّطْرَنْجِ وَحْدَهُ ، بَلْ كُلِّ لَعِبٍ وَكُلِّ عَمَلٍ فَهُوَ يَشْغَلُ صَاحِبَهُ فِي أَثْنَائِهِ عَنِ الذِّكْرِ وَالْفِكْرِ فِيمَا عَدَاهُ إِلَّا قَلِيلًا ، وَمِنْ ذَلِكَ مَا هُوَ مُبَاحٌ وَمَا هُوَ مُسْتَحَبٌّ أَوْ وَاجِبٌ ، كَلَعِبِ الْخَيْلِ وَالسِّلَاحِ وَالْأَعْمَالِ الصِّنَاعِيَّةِ الَّتِي تُعَدُّ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَاتِ ، وَمِمَّا وَرَدَ النَّصُّ فِيهِ اللَّعِبُ; لَعِبُ الْحَبَشَةِ فِي مَسْجِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَضْرَتِهِ ، وَإِنَّمَا عِيبَ الشِّطْرَنْجُ مِنْ أَنَّهُ أَشَدُّ الْأَلْعَابِ إِغْرَاءً بِإِضَاعَةِ الْوَقْتِ الطَّوِيلِ ، وَلَعَلَّ الشَّافِعِيَّ كَرِهَهُ لِأَجْلِ هَذَا ، وَنَحْمَدُ اللهَ الَّذِي عَافَانَا مِنَ اللَّعِبِ بِهِ وَبِغَيْرِهِ ، كَمَا نَحْمَدُهُ حَمْدًا كَثِيرًا أَنْ عَافَانَا مِنَ الْجُرْأَةِ عَلَى التَّحْرِيمِ وَالتَّحْلِيلِ ، بِغَيْرِ حُجَّةٍ وَلَا دَلِيلٍ .
“Sesungguhnya bermain catur jika disertai dengan uang maka dia masuk kategori keumuman judi, maka hukumnya haram menurut nash sebagaimana penjelasan lalu. Jika tidak demikian, maka tidak ada alasan bagi yang mengharamkannya secara qiyas, karena tidak bisa diqiyaskan dengan khamr dan judi, kecuali jika jelas-jelas permainan tersebut adalah kotor dan termasuk perbuatan syetan, yang bisa menciptakan permusuhan dan kebencian, serta membuatnya terbentur dari mengingat Allah dan shalat. Jika bagi yang memainkannya terdapat kondisi ini yang selalu ada atau biasanya seperti itu maka tidak ada jalan untuk menetapkan kebolehannya. Sesungguhnya kami mengetahui diantara pemain catur ada yang masih menjaga shalat mereka, dan jiwa mereka bersih dari keributan dan sumpah yang batil.
Ada pun lalai mengingat Allah Ta’ala bukan hanya karena kebiasaan bermain catur saja, tetapi semua permainan dan semua pekerjaan. Hal itu bisa membuat pelakunya lalai dari dzikir dan memikirkan hal lainnya kecuali hanya sedikit. Dari situlah, maka ini terjadi tidak hanya pada yang mubah, yang sunah dan wajib, seperti bermain kuda, pedang, dan amal perbuatan yang termasuk fardhu kifayah. Di antara permainan yang memiliki nash adalah permainannya orang Habasyah di masjid nabawi dan nabi hadir saat itu. Tercelanya catur disebabkan karena dia adalah permainan yang banyak menyita waktu, oleh karena inilah Ays Syafi’I memakruhkannya.
Kami memuji Allah Ta’ala yang telah menjaga kami dari permainan catur dan lainnya, sebagaimana kami memujiNya dengan pujian yang banyak karena Dia telah menjaga kami dari mengharamkan dan menghalalkan tanpa hujjah dan dalil.” (Syaikh Rasyid Ridha, Al Manar, 7/53. Al Hai’ah Al Mishriyah Al ‘Amah Lil Kitab). Demikian. Wallahu A’lam.
Oleh: Ust. Farid Nu’man Hasan