Fatwapedia.com – Rubrik fikih kali ini akan mengangkat tema “Hadhanah (Mengasuh Anak) dalam Islam” Disini akan dipaparkan mengenai: Hukum Hadhanah, hak Hadhanah, Jangka waktu hadhanah dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pengasuhan anak. Langsung saja masuk pada pembahasan dibawah ini.
A. Pengertian Hadhanah
Hadhanah adalah melindungi dan mengasuh anak kecil sampai usia baligh (dewasa).
B. Hukum Hadhanah
Hadhanah hukumnya wajib terhadap anak-anak kecil demi memelihara tubuh, akal, dan agama mereka.
C. Kepada Siapa Hadhanah Diwajibkan?
Mengasuh anak kecil adalah kewajiban kedua orang tua. Jika, kedua orang tua meninggal dunia, maka menjadi kewajiban keluarga yang paling dekat, kemudian keluarga terdekat setelahnya. Jika keluarga dekat pun tidak ada, maka hadhanah menjadi kewajiban pemerintah, atau jamaah kaum muslimin.
D. Siapa yang Lebih Utama dalam Melakukan Hadhanah?
Apabila kedua orang tua anak berpisah karena perceraian atau meninggal dunia, maka orang yang paling berhak untuk melakukan hadhanah terhadap seorang anak yang masih kecil adalah seorang ibu, selama belum menikah lagi.
Berdasarkan sabda Nabi kepada seorang perempuan yang mengadu kepada beliau bahwa anaknya diambil (oleh suaminya),
انت احق به ما لم تنكحي
“Kamu lebih berhak atas anak itu selama kamu belum menikah (lagi).” (HR. Ahmad: Abu Daud, dan dishahihkan oleh Imam Al-Hakim)
Jika seorang ibu tidak ada, maka yang paling berhak untuk melakukan hadhanah adalah ibu dari ibu seorang anak (nenek), kerena nenek dari pihak ibu dianggap sebagai ibu. Jika nenek tidak ada, maka yang paling berhak adalah saudara perempuan ibu (bibi) dan saudara perempuan ibu (bibi) dianggap menempati kedudukan sebagai ibu. Berdasarkan sabda Nabi:
الخالة بمنزلة الأم
“Saudara perempuan ibu (bibi) itu kedudukannya sama seperti ibu.” (HR. AlBukhari: 3/242, Abu Daud: 2280, dan At-Tirmidzi: 1904)
Jika bibi dari jalur ibu tidak ada maka yang berhak melakukan hadhanah adalah ibu seorang ayah (nenek). Jika nenek dari jalur bapak tidak ada, maka yang berhak untuk melakukan hadhanah adalah saudara perempuan anak tersebut. Jika saudara perempuan anak tersebut tidak ada, maka saudara ayah yang perempuan (bibi) yang berhak melakukan hadhanah. Jika bibi dari ayah tidak ada, maka yang berhak melakukan hadhanah adalah anak perempuannya saudara laki-laki (keponakan perempuan). Jika semua yang tersebut tidak ada seorang pun yang menjadi pengasuh, maka yang berhak memberikan pengasuhan berpindah ke ayahnya, kemudian kakeknya, kemudian anak laki-laki saudara laki-lakinya (keponakan laki-laki), kemudian saudara ayah yang laki-laki (paman), kemudian keluarga terdekat, kemudian keluarga terdekat setelahnya, dan keluarga laki-laki kandung diutamakan atas keluarga laki-laki dari seayah. Demikian juga keluarga perempuan sekandung diutamakan atas keluarga perempuan seayah.
E. Kapan Hak Hadhanah itu Gugur?
Karena tujuan mengasuh anak adalah untuk menjaga kelangsungan hidup dan mendidiknya, baik jasmani, akal, maupun rohani, maka hak mengasuh gugur dari setiap orang yang tidak dapat mewujudkan tujuan dari mengasuh anak tersebut. Maka, hak ibu untuk mengasuh telah gugur apabila ia menikah dengan orang yang bukan dari kerabat dari anak kecil tersebut. Berdasarkan sabda Nabi:
ما لم تنكحي
“Selama kamu belum menikah (lagi).”
Karena pernikahannya dengan orang asing (selain kerabat) membuatnya tidak dapat merawat dan menjaganya. Demikian juga hak mengasuh itu gugur dari orang yang mengasuh, jika terjadi hal-hal berikut:
1. Apabila gila atau kurang sempurna akalnya.
2. Apabila mempunyai penyakit menular, seperti penyakit kusta (lepra) dan sebagainya.
3. Apabila masih kecil, belum baligh, dan belum berakal.
4. Apabila tidak mampu melindungi anak tersebut, sehingga tidak dapat menjaga badannya, akalnya, dan agamanya.
5. Apabila telah kafir, karena dikhawatirkan mengganggu agama dan akidah anak yang akan diasuhnya.
F. Jangka Waktu Hadhanah
Jangka waktu mengasuh anak terus berlangsung sampai anak laki-laki baligh, atau sampai anak perempuan menikah dan digauli oleh suaminya. Namun, jika istri berpisah dengan suaminya, lalu ibu atau wanita lainnya yang melakukan hadhanah terhadap anaknya, maka jangka waktu mengasuh bagi anak perempuan selama tujuh tahun saja. Kemudian, pengasuhannya berpindah ke pihak ayahnya, karena dia lebih berhak untuk mengasuhnya dari semua perempuan yang mengasuhnya setelah anak itu mencapai usia tujuh tahun.
Demikian juga apabila anak tersebut laki-laki dan telah mencapai usia tujuh tahun, maka dia diberi pilihan apakah mengikut ibunya atau ayahnya. Oleh karenanya, siapa saja yang dipilihnya, maka pengasuhannya berpindah kepadanya. Dan jika anak itu belum memilih salah satunya dan kedua orang tuanya berselisih dalam hal itu, maka diadakan undian antara mereka berdua.
G. Nafkah Anak dan Upah Perempuan yang Mengasuh
Seorang bapak yang anaknya diasuh oleh orang lain, wajib memberi nafkah kepada anaknya dan memberi upah kepada perempuan yang mengasuhnya sesuai dengan kemampuan. Karena, perempuan yang mengasuh anaknya itu seperti perempuan yang menyusukan anaknya, dan perempuan yang menyusukan anak berhak mendapat upah penyusuan. Berdasarkan firman Allah:
“..Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) kalian untuk kalian, maka berikanlah kepada mereka upahnya…” (Ath-Thalaq (65): 6)
Kecuali jika perempuan yang mengasuh itu berbuat suka rela dalam melayaninya, maka tidak ada kewajiban untuk memberi upah padanya. Dan nafkah anak serta upah pengasuh itu diukur sesuai dengan kemampuan orang yang anaknya diasuh. Berdasarkan firman Allah:
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (Ath-Thalaq (65): 7)
H. Perasaan Ragu pada Anak yang Diasuh antara Memilih Ibu atau Ayahnya
Apabila anak yang dihadhanah telah mencapai usia tujuh tahun, maka mestinya diberi pilihan untuk mengikuti ibu atau ayahnya. Jika dia memilih ikut ibunya, maka dia ikut bersama ibunya pada malam hari, dan bersama ayahnya pada siang hari. Sebaliknya, jika dia memilih ikut ayahnya, maka dia ikut bersama ayahnya pada malam hari dan siang hari. Karena keberadaannya pada siang hari bersama ayahnya itu biasanya lebih bisa menjamin keselamatannya. Karena ayah itu dapat mendidik dan mengajarinya, dan seorang ibu biasanya tidak dapat melakukannya.
Demikian juga, apabila anak memilih ayahnya, maka anak tidak dilarang untuk pergi ke rumah ibunya kapan saja dia inginkan. Karena menyambung silaturahim hukumnya wajib, sedangkan berbuat durhaka hukumnya haram.
I. Bepergian bersama Anak yang Dihadhanahi
Apabila salah satu dari pasangan suami istri hendak bepergian dan akan kembali lagi ke daerahnya, maka anak itu ikut bersama orang tuanya yang tidak bepergian. Jika salah satu dari orang tuanya yang akan bepergian itu tidak akan kembali ke daerahnya, maka kemaslahatan anak harus diperhatikan.
Dimana pun kemaslahatan anak dapat terwujud, maka sebaiknya anak bersama orang tua yang dapat mewujudkan kemaslahatan baginya. Karena kemaslahatan anak adalah merupakan tujuan utama dari hadhanah yang dikehendaki oleh Allah.
J. Anak yang Diasuh adalah Amanat
Wanita yang mengasuh harus mengetahui, bahwa anak yang diasuh adalah sebuah amanat yang harus dirawat dan dijaga. Jika merasa tidak mampu mendidiknya dengan baik atau merawatnya dengan telaten, maka dia wajib menyerahkan amanat itu pada orang yang mampu merawat dan menjaganya.
Tidak semestinya upah menjadi tujuan utama dalam mengasuh, sehingga tega menelantarkan anak demi mendapatkannya.
Dari uraian diatas, maka wajib bagi wali anak dan para hakim untuk memelihara kemaslahatan anak, dalam hal mengasuhnya. Yaitu mendidik jasmaninya, akalnya, dan rohaninya tanpa berpaling pada pertimbangan lainnya. Karena melindungi anak merupakan tujuan disyariatkannya hadhanah oleh pembuat syariat (Allah).