Fatwapedia.com – Diantara hak mayit adalah dishalatkan sebelum dimakamkan sesuai tuntunan syariat Islam. Namun bagaimana jika belum dishalatkan jenazah sudah terlanjur dikuburkan? Apakah boleh menshalatkan jenazah di Atas pekuburan?
Mengenai hal ini Para Ulama’ berbeda pendapat menjadi 3 kelompok, berikut uraian selengkapnya.
Tiga Pendapat Ulama Mengenai Shalat Jenazah Di Atas Kuburan
Pendapat Pertama: Boleh Menshalatkan jenazah di sisi makamnya.
Ini Pendapat mayoritas ulama, para sahabat dan generasi selanjutnya dan menurut Ibnul al-Mubarak, Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Ibnu Hazm dan lainnya. (Lihat Al-Umm (1/414), Al-Majmu’ (5/210), Al-Mudawanah (1/170), Al-Mughni (3/500), Nailul Maarib (1/66), Sunan At-Tirmidzi (1037), Al-Muhalla (5/139), Badai’ (1/314), Adapun dalilnya yaitu :
Hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu :
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَى قَبْرٍ بَعْدَمَا دُفِنَ، فَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعًا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di kuburan setelah dimakamkan, kemudian beliau bertakbir empat kali”. (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1247), Muslim (954) dan juga lafadz darinya)
Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
أَنَّ أَسْوَدَ رَجُلًا – أَوِ امْرَأَةً – كَانَ يَكُونُ فِي المَسْجِدِ يَقُمُّ المَسْجِدَ، فَمَاتَ وَلَمْ يَعْلَمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَوْتِهِ، فَذَكَرَهُ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: «مَا فَعَلَ ذَلِكَ الإِنْسَانُ؟» قَالُوا: مَاتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: «أَفَلاَ آذَنْتُمُونِي؟» فَقَالُوا: إِنَّهُ كَانَ كَذَا وَكَذَا – قِصَّتُهُ – قَالَ: فَحَقَرُوا شَأْنَهُ، قَالَ: «فَدُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ» فَأَتَى قَبْرَهُ فَصَلَّى عَلَيْهِ
“Ada seorang laki-laki atau wanita kulit hitam yang menjadi tukang sapu masjid meninggal dunia yang tidak diketahui Nabi Shallallahu’alaihiwasallam tentang kamatiannya. Suatu hari Beliau diceritakan, maka Beliau berkata, “Apa yang telah terjadi dengan orang itu?. Mereka menjawab: “ia telah meninggal, wahai Rasulullah” Lalu Nabi Shallallahu’alaihiwasallam berkata,: “Kenapa kalian tidak memberitahukanku?. Mereka berkata, “Kejadiannya begini, lalu mereka menjelaskan”. Kemudian Beliau berkata, “Tunjukkan kepadaku kuburnya, Maka nabi Shallallahu’alaihi wasallam mendatangi kuburan orang itu kemudian shalat untuknya.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1337))
Pendapat lain mengatakan bahwa dibolehkan shalat di kuburan selama tiga hari apabila lebih dari itu maka tidak boleh menshalatkannya. Pendapat lain selama sebulan, selama jasadnya belum hancur, selamanya dibolehkan menshalatkan di kuburan.
Pendapat Kedua: Tidak dibolehkan shalat di kuburan secara mutlak.
Pendapat Ketiga: Tidak boleh menshalatkan di kuburan kecuali jika ketika dimakamkan belum dishalatkan.
Dua pendapat ini diriwayatkan dari an-Nakhai, Abu Hanifah dan Malik adapun dasar hukumnya adalah sebagai berikut:
Dalil-dalil atas larangan shalat di atas kuburan dan menghadap Kuburan.
Mereka berargumen atas dasar hadits dari Abu Hurairah dalam kisah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap laki-laki atau seorang wanita yang berkulit hitam
إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا، وَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ
“Kuburan ini dipenuhi kegelapan bagi penghuninya, dan sesungguhnya Allah menerangi kuburan mereka dengan shalatku”. (Hadits Riwayat: Muslim (956) dengan tambahan dari perawi dari Abu Rabi’ , Abu Kamil dari Hammad, dari Tsabit dari Abu Rafi’ dari Abu Hurairah.)
Pendapat lain mengatakan bahwa shalat di kuburan adalah kekhususan yang hanya dimiliki oleh nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam saja.
Pendapat yang rajih
Dalil-dalil yang menjelaskan tentang shalat di kuburan adalah shahih dan tidak bisa di tolak. [Ar-Raudhah An-Nadiyah (1/171)] Adapun jenazah yang belum dishalatkan maka telah jelas disyariatkan untuk menshalatkannya selama manusia mengetahui bahwa ia belum dishalatkan oleh seorangpun. Adapun terhadap jenazah yang telah dishalatkan maka seperti dalam hadits yang lalu tentang laki-laki atau perempuan hitam. Sebagaimana diketahui bahwa mayit tidak dikuburkan pada masa nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum ia dishalatkan. [Raudhah an-nadiyah (1/171)]
Adapun dalil larangan shalat di kuburan dan menghadap ke kubur tidak diragukan lagi adalah khusus selain shalat jenazah. Karena yang melarang hal itu beliau shalat di kuburan, ini adalah perkataan dan perbuatannya dan tidak bertentangan antara keduanya. [Al-Muhalla (5/139), dan kitab Zadul Maad (1/195)]
Adapun klaim itu kekhususan bagi nabi maka tidak bisa diterima karena menyelisihi dalil, dan tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil. Dan tambahan hujjah mereka dengannya maka yang benar itu adalah mudraj dalam sanad ini dan termasuk mursal dari Tsabit. Hal itu telah diterangkan tidak hanya satu orang dari Hammad bin Zaid. Karenanya tambahan ini tidak diriwayatkan oleh Al-Bukhari. [Fathul Bari (458) dan Sunan Al-Baihaqi (4/47)]
Bahwa Allah Subhanahu wata’ala menerangi di dalam kubur karena shalatnya Rasululah Shallallahu ‘alaihi wasallam atas ahli kubur, tidaklah menafikan disyariatkannya shalat di kuburan bagi selain beliau. Apalagi setelah nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (Nailul Authar (4/64)
Sebagian sahabat juga shalat di kuburan di belakang Rasululah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak ada yang mengingkari mereka.
Yang benar adalah dibolehkan shalat di kuburan bagi yang belum sempat menshalatkan jenazah, apalagi jenazah tersebut adalah orang yang mulia atau shalih. Wallahu a’lam.