Fikroh.com – Apa hukum talak orang yang sedang mabuk apakah sah? Perlu diketahui orang yang mabuk adalah orang yang telah sampai pada tingkat delirium (mengigau dan meracau), tidak mengerti dengan ucapannya sendiri, dan ketika sadar tidak bisa mengingat apa yang telah dia lakukan saat mabuk. Orang mabuk tidak lepas dari salah satu dari dua keadaan berikut.
1. Bukan orang yang biasa mabuk
Dia mabuk karena terdesak, atau dipaksa, atau karena minum obat untuk pengobatan darurat atas saran dokter muslim yang terpercaya, atau karena pengaruh obat bius, atau tidak tahu bahwa itu memabukkan, dan alasan-alasan lain yang jarang terjadi. Orang yang mentalak dalam keadaan mabuk seperti ini talaknya tidak berlaku menurut ijma’ ulama karena dia kehilangan kesadarannya sebagaimana orang yang gila, bukan karena kebiasaan. [Al-Mughni (VII/116), dan al-Ijma‘ karya Ibnu al-Mundzir (halaman 100)]
2. Orang yang biasa bermabuk-mabukan
Seperti orang yang minum khamar atau mengkonsumsi narkoba dan semisalnya dalam keadaan sadar dan atas kehendak sendiri. Para ulama berbeda pendapat tentang berlaku tidaknya talak orang yang keadaannya seperti ini menjadi dua pendapat. [Ibnu ‘Abidin (III/239), al-Hidayah (I/230), ad-Dasuqi (II/365), Bidayah al-Mujtahid (II/138), Mughni al-Muhtaj (III/279)]
Pertama: Talaknya berlaku meski diucapkan saat mabuk.
Ini adalah pendapat jumhur ulama, antara lain: Abu Hanifah dan kedua koleganya (Abu Yusuf dan Muhammad), Malik, asy-Syafi‘i dalam salah satu dari dua pendapatnya yang paling kuat, dan Ahmad dalam pendapat yang paling masyhur darinya. Pendapat ini dikemukakan pula oleh Ibnu al-Musayyab, al-Hasan, asy-Sya‘bi, ‘Atha’, al-Auza‘i, ats-Tsauri, dan satu kelompok dari ulama salaf. Mereka berargumen sebagai berikut.
1. Hukum taklif tetap berlaku pada dirinya sehingga dia tetap akan dihukum atas kejahatannya.
Mereka menyatakan bahwa hal itu ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahu wata’ala:
لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
“Janganlah kalian shalat, sementara kalian dalam keadaan mabuk, hingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan.” [Surat an-Nisa’:43]
Larangan melakukan shalat saat mabuk yang Allah tujukan kepada kaum muslimin menandakan hukum taklif tidaklah gugur dari orang yang mabuk.
Bantahan terhadap argumen ini: Ini argumen yang lemah karena jika yang dimaksud adalah bahwa saat mabuk orang tetap terkena kewajiban menjalankan perintah dan menjauhi larangan, maka ini jelas keliru. Orang yang sedang kehilangan akalnya dan tidak bisa memahamikhithab (seruan), serta tidak mengerti ucapannya sendiri, tentulah bukan mukallaf karena di antara syarat taklif yang disepakati para ulama adalah berakal.
Adapun mengenai ayat yang mulia di atas, maka di dalamnya terdapat larangan untuk kaum muslimin dari mabuk yang membuat mereka luput mengerjakan shalat, atau larangan minum khamar pada saat mendekati waktu shalat, atau larangan untuk orang yang sedang dalam tahap-tahap awal kehilangan kesadaran karena mabuk. Adapun orang yang sudah dalam keadaan benar-benar mabuk, maka tidak dimaksudkan dengan ayat ini sama sekali. [Majmu‘ al-Fatawa (XXXIII/106)]
2. Dengan menyatakan talaknya berlaku, maka itu sudah merupakan satu bentuk hukuman baginya.
Bantahan untuk argumen ini: Syariat tidak pernah menghukum seseorang dengan jenis hukuman seperti ini, dengan menyatakan talaknya berlaku atau tidak berlaku, tetapi cukup dengan melaksanakan hukum had pada dirinya. Allah azza wa jalla telah ridha dengan hukuman had sehingga menjatuhkan hukuman kepadanya dengan selain had berarti mengubah batasan-batasan syariat. Selain itu, hukuman seperti ini hanya mendatangkan kerugian kepada istri dan selainnya yang tidak bersalah sama sekali; kerugian-kerugian yang tidak boleh terjadi sama sekali.
3. Para sahabat telah menetapkan orang yang mabuk sama dengan orang tidak mabuk dalam hal menerima hukuman cambuk karena qadzaf (menuduh orang lain berzina). Mereka berkata, “Jika dia minum khamar, maka akan mabuk. Jika mabuk, maka akan melantur. Jika telah melantur, maka akan memfitnah orang lain. Hukuman orang yang memfitnah orang lain adalah delapan puluh cambukan.” [Dha‘if. Hadits Riwayat: Malik (1533), asy-Syafi‘i (293), Abdurrazzaq (VII/378), ad-Daruquthni (III/157, 166), al-Hakim (IV/417), dan al-Baihaqi (VIII/320)] Namun, riwayat ini lemah.
Bantahan terhadap argumen ini: Seandainya pun riwayat ini kuat, maka menjelaskan “bahwa kenekatan si pemabuk bermabuk-mabukan, yang merupakan mazhinnah (faktor yang diduga dapat memicu) perbuatan memfitnah orang lain, membuatnya disamakan dengan orang yang benar-benar telah memfitnah, sebagai penempatanmazhinnah suatu hikmah pada posisi hakikat sebenarnya. Sebab, hikmah di sini tersembunyi karena terkadang fitnah yang dilontarkan tidak diketahui apa, kapan, dan kepada siapa. Ini seperti kasus orang yang tidur dalam posisi berbaring lalu berhadats dan dia tidak tahu apakah dia berhadats atau tidak. Maka tidurnya di sini menempati posisi hadats (sebagai penyebab wudhu batal). Ini fiqih yang telah dimaklumi. Kalau tindakan-tindakan orang yang mabuk seperti itu kategorinya niscaya dia telah dianggap mentalak istrinya, baik dia benar-benar telah mentalaknya maupun tidak, sebagaimana dihukumnya orang yang memfitnah, baik dia benar-benar memfitnah orang maupun tidak. Ini jelas tidak akan dikatakan oleh siapapun.” [Majmu‘ al-Fatawa (XXXIII/105)]
4. Hilangnya kesadaran si pemabuk tidak bisa diketahui kecuali dengan pengakuannya, padahal dia adalah orang yang fasik karena perbuatannya bermabuk-mabukan, maka tidak diterima pengakuannya kehilangan kesadaran dan mabuk.
5. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan secara marfu‘:
كُلُّ طَلَاقٍ جَائِزٌ، إِلَّا طَلَاقَ الْمَعْتُوهِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ
“Setiap talak itu boleh (berlaku) kecuali talak orang yang kehilangan akalnya.” [Dha‘if. Hadits Riwayat: at-Tirmidzi dengan sanad yang dha‘if. Telah disebutkan sebelum ini bahwa suatu hadits yang mirip redaksinya telah shahih dari Ali secara mauquf, tetapi di dalamnya tidak ada penyebutan “yang rendah daya pikirnya”] Sayangnya, hadits ini dha‘if.
Kedua: Talak Orang Yang Mabuk Tidak Berlaku Secara Mutlak.
Ini adalah qaul qadim asy-Syafi‘i, dan yang dipilih oleh al-Muzani dan ath-Thahawi dari kalangan Hanafiyah, serta riwayat yang lain dari Ahmad. Pendapat ini sebelumnya telah dikemukakan oleh Umar bin Abdulaziz, al-Laits, Ishaq, dan Abu Tsaur, serta menjadi pilihan Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, dan diriwayatkan dari Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Mereka berargumen sebagai berikut.
1. Firman Allah Subhanahu wata’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sementara kalian dalam keadaan mabuk, hingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan. (Jangan pula kalian menghampiri masjid) sementara kalian dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kalian mandi.” [Surat an-Nisa’:43]
Mereka mengatakan bahwa Allah menjadikan ucapan orang yang mabuk tidak bernilai hukum sama sekali karena dia tidak sadar dengan apa yang dia ucapkan. Akibatnya, shalat dan ibadahnya pun menjadi batal karena kesadaran akalnya hilang. Dengan demikian, batalnya akad-akad yang dia lakukan (saat mabuk) tentu jauh lebih utama untuk terjadi sebagaimana pada kasus orang yang tidur, orang gila, dan selain keduanya.
2. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ …
“Sesungguhnya amal ibadah itu bergantung pada niat.” [Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (1) dan Muslim]
Orang yang sedang mabuk tentu tidak berniat ketika melakukan suatu amal, padahal berbagai macam akad dan tindakan hukum lainnya mensyaratkan niat saat melakukannya.
3. Hadits Buraidah tentang kisah Ma‘iz dan pengakuannya telah berzina. Di dalamnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya,
أَشَرِبَ خَمْراً
“Apakah dia minum khamar?”
Salah seorang sahabat kemudian berdiri mendekati Ma‘iz lalu memeriksanya. Ternyata dia tidak mencium bau khamar pada diri Ma‘iz. [Shahih. Telah berlalu takhrij-nya]
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di sini menyamakan mabuk dengan kegilaan dalam hal menggugurkan hukuman.
Bantahan: Ini berlaku dalam masalah hudud, sementara hudud bisa ditolak pelaksanaannya jika masih ada syubhat.
4. Hadits Ali radhiallahu ‘anhu tentang kisah Hamzah bin Abdul Muththalib mabuk dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang menemuinya. Disebutkan dalam hadits tersebut: “Ternyata mereka (Hamzah dan beberapa orang dari Anshar) sedang mabuk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun mencela Hamzah atas apa yang telah dia lakukan. Tetapi ternyata Hamzah benar-benar mabuk. Kedua matanya merah. Dia memandangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Hamzah berkata, ‘Kalian tidak lain kecuali budak-budak ayahku.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun sadar bahwa dia telah benar-benar mabuk, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pergi dengan berjalan mundur (beberapa langkah untuk mengawasi Hamzah dan teman-temannya) dan kami pun keluar bersama mereka.” [Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (3091)]
Ibnu Hazm (X/211) berkata, “Jadi, Hamzah mengatakan suatu perkataan saat mabuk yang kalau dia katakan saat sadar, niscaya dia telah kafir. Tetapi Allah menjaganya dari melakukan hal itu. Dengan demikian, maka benarlah pendapat bahwa orang yang mabuk tidak dihukum sama sekali atas apa yang dia lakukan (saat mabuk).”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini termasuk dalil terkuat bagi orang yang berpendapat bahwa orang mabuk tidak dihukum atas perbuatan yang dia lakukan dalam keadaan mabuk, baik itu berupa talak atau selainnya.”
Ada yang membantah argumen ini dengan fakta bahwa minum khamar pada saat itu masih boleh sehingga otomatis gugur darinya hukuman atas apa yang dia ucapkan dalam keadaan mabuk!. Jawaban untuk bantahan ini adalah, bahwa tujuan berargumen dengan kisah ini hanyalah untuk menunjukkan tidak adanya hukuman atas kesalahan yang dilakukan orang yang mabuk, sehingga tidak ada beda apakah minum khamar dibolehkan saat itu atau tidak.
5. Riwayat yang shahih dari Utsman radhiallahu ‘anhu bahwa dia berkata, “Semua talak boleh, kecuali talak orang mabuk dan talak orang gila.” [Isnadnya shahih. Hadits Riwayat: Sa‘id bin Manshur (1112), Abdurrazzaq (12308), Ibnu Abi Syaibah (V/39), dan al-Baihaqi (VII/359)] Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah (XXXIII/102) berkata, “Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada riwayat yang valid dari sahabat lain yang menyelisihi perkataan beliau ini.”
6. Dari Umar bin Abdulaziz bahwa pernah dihadapkan kepadanya seorang laki-laki yang mentalak istrinya saat mabuk. Beliau meminta laki-laki itu untuk bersumpah dengan nama Allah yang tidak ada ilah yang benar kecuali dia bahwa dia telah mentalak istrinya dalam keadaan tidak sadar, maka dia pun bersumpah. Beliau kemudian mengembalikan istrinya kepadanya dan mencambuknya sebagai had. [Isnadnya shahih. Hadits Riwayat: Sa‘id bin Manshur (1110) dan Ibnu Abi Syaibah (V/39)]
7. Siapa yang mabuk karena meminum minuman haram, maka tidak ada keraguan sedikit pun bahwa dia telah berdosa dengan perbuatannya itu dan pantas mendapat hukuman di dunia dan akhirat sesuai dengan ketentuan yang Allah tetapkan. Ini yang membedakan secara nyata antara orang ini dengan orang yang mabuk karena suatu udzur. Namun, bahwa perjanjian yang dia buat dengan sesama manusia tetap sah, di mana pengaruhnya tetap berlaku dan tujuannya tetap tercapai, maka perjanjian seperti itu tidak membedakan antara orang yang mabuk karena udzur dengan yang bukan karena syarat sah untuk perjanjian seperti itu adalah jika pelakunya melakukannya dalam keadaan berakal lagi mumayyiz, bukan apakah dia orang baik atau bejat. Sebab, syariat tidak pernah menyamakan orang mabuk dengan orang yang tidak mabuk. [Majmu‘ al-Fatawa (XXXIII/108)]
Penulis berkata: Pendapat yang menyatakan bahwa talak orang yang mabuk tidak sah secara mutlak adalah pendapat yang paling rajih dan paling sesuai dengan prinsip dan tujuan dasar syariat. Selain itu, tidak ada pembedaan dalam hal hilang akal antara terjadi karena perbuatan maksiat dan dengan selain maksiat. Sebab, orang yang mematahkan kedua betisnya sendiri tetap boleh shalat dengan duduk. Perempuan hamil yang memukul perutnya sendiri hingga keguguran lalu mengalami nifas, maka kewajiban shalat tetap gugur darinya. Inilah pendapat yang diamalkan di pengadilan-pengadilan Mesir. Wallahu a‘lam.
4. Keinginan Dan Pilihan.
Maksud keinginan dan pilihan di sini adalah keinginan seseorang untuk mengucapkan ucapan talak -Yang dimaksud di sini bukan niat untuk menjatuhkan talak, tetapi memilih lafazh talak meskipun tidak bermaksud menjatuhkannya. Jadi mohon diperhatikan!- dengan pilihannya sendiri tanpa paksaan, meskipun dia tidak meniatkannya. Dengan demikian, talak yang diucapkan oleh seorang ahli fiqih yang sedang mengajari muridnya atau oleh orang yang sedang menceritakan dirinya sendiri atau orang lain tidak otomatis berlaku karena dia tidak bermaksud menjatuhkan talak. Dia hanya ingin memberikan pengajaran atau menyampaikan cerita. Demikian pula, tidak berlaku talak yang diucapkan oleh seorang non-Arab saat diajari mengucapkannya tanpa dia mengetahui maknanya sedikit pun. Ini semua perkara yang disepakati ulama. [Fath al-Qadir (III/39), al-Qawanin (halaman 230), Mughni al-Muhtaj (III/287), Kasyf al-Qana‘(V/263)]
Adapun talak yang diucapkan oleh orang yang salah ucap, dipaksa, marah, pandir, atau sakit, para ulama berbeda pendapat tentang sah tidaknya talak mereka. Wallahu a’lam.