Fatwapedia.com – Sebagian kita mungkin masih sangat asing dengan istilah VCS yang merupakan singkatan dari Video Call Sex. Apa itu VCS? Istilah ini merujuk kepada aktivitas yang berkenaan dengan seks yang dilakukan via online, dimana pelaku rela saling menyentuh bagian-bagian intim tubuhnya masing-masing yang kemudian diperlihatkan kepada pasangannya melalui sambungan video call pada media sosial yang digunakan. Aktivitas semacam ini biasanya dilakukan oleh seseorang kepada pasangannya yang tidak memungkinkan untuk saling bertatap muka secara langsung (LDR).
Namun fakta yang sangat memprihatikan adalah VCS ini justru dilakukan oleh sepasang kekasih yang berstatus non suami-istri. Mereka yang masih belum punya ikatan pernikahan juga ikut melakukan aktivitas semacam ini. Lantas, apakah hukum fikih memperbolehkan praktik semacam ini jika pelakunya suami istri yang sah? Bukankah yang mereka lihat hanyalah gambar atau bayangan dari aurat pasangannya, bukan aurat itu sendiri?
Dalam literatur fikih klasik, ditemukan beberapa ulama yang sempat membincangkan persoalan semacam ini. Salah satunya, Imam Abu Bakr al-Syatha al-Dimyathi. Beliau berkomentar dalam kitab Hasyiyah I’anah al-Thalibin: III/301,
قوله: لا في نحو مرآة أي لا يحرم نظره لها في نحو مرآة كماء وذلك لانه لم يرها فيها وإنما رأى مثالها
“Tidak haram melihat (aurat) perempuan dari semacam cermin atau air. Hal itu dikarenakan yang dilihat laki-laki hanyalah sosok yang semisal (bayangan) dari seorang perempuan, bukan perempuan itu sendiri”.
Hal ini juga ditegaskan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Quwaitiyah: II/4284 sebagai berikut,
عند الشّافعيّة : لا يحرم النّظر – ولو بشهوة – في الماء أو المرآة قالوا : لأنّ هذا مجرّد خيال امرأة وليس امرأة
“Menurut mazhab Syafii, Tidak haram melihat (aurat perempuan) dari pantulan cahaya yang berada di dalam air atau cermin. Mereka beralasan, karena objek yang dilihat bukanlah tubuh (aurat) dari seorang perempuan itu, melainkan hanyalah bayangan atau gambar dari sosok yang berada di balik itu”
Berdasarkan pendapat ini, hukum dari praktik Video Call Sex adalah boleh secara fikih, kendatipun yang melihat bersyahwat. Hal itu dikarenakan objek yang dilihat dalam praktik tersebut hanyalah berupa gambar atau bayangan dari aurat seseorang yang diharamkan untuk dilihat, bukan aurat itu sendiri.
Namun, pendapat di atas sejatinya masih bersifat mutlak, belum berbentuk pemahaman yang seutuhnya. Lebih jelasnya, pendapat di atas sempat diklarifikasi lebih lanjut oleh ulama-ulama lainnya. Salah satunya, penjelasan yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj: VII/192 sebagai berikut,
ومحل ذلك أى عدم حرمة نظر المثال كما هو ظاهر حيث لم يخش فتنة ولا شهوة
“Konteks dari kebolehan melihat gambar atau bayangan yang semisal dari aurat perempuan adalah ketika tidak terjadi fitnah dan syahwat”.
Berdasarkan ungkapan ini, maka sebenarnya hukum dari praktik Video Call Sex adalah haram jika terdapat fitnah dan syahwat. Jika aman dari syahwat dan fitnah maka praktik tersebut diperbolehkan.
Adapun yang dimaksud fitnah di sini adalah terdorongnya jiwa untuk melakukan hal-hal yang diharamkan oleh syariat, seperti berzina, khalwah (berdua-duaan di tempat yang sunyi dari keramaian), dan lain-lain.
Hal ini juga sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Syekh Zakariya al-Anshari dalam kitab Asna al-Mathalib fi Syarh Raudh al-Thalib: III/110,
أما النظر والإصغاء لما ذكر عند خوف الفتنة أي الداعي إلى جماع أو خلوة أو نحوهما فحرام
“Hukum melihat dan mendengarkan kepada sesuatu yang telah disebutkan (aurat perempuan) ketika dikhawatirkan fitnah adalah haram. Yang dimaksud fitnah di sini adalah faktor yang mendorong seseorang untuk berjima’ (berzina), khalwah, dan sejenisnya”.
Menurut pendapat yang lain, melihat dari balik cermin adalah diharamkan secara mutlak. Pendapat ini diungkapkan oleh Abu al-Hasan bin al-Qatthan dalam kitab Ihkam al-Nadzar fi Ahkam al-Nazdar bi Hassah al-Bashar: 322-323 sebagai berikut,
مسألة: كل ما قلنا: إنه لا يجوز أن ينظر إليه الرجل، أو غيره من عورة أو شخص، فإنه لا يجوز أن ينظر إلى المنطبع منه في مرآة أو ماء أو جسم صقيل وإنما لم يجز ذلك؛ لأن المرآة قد أدّت إلى الناظر من صفة المنطبع فيها، أكثر مما أدَّته المرأة الواصفة لزوجها امرأة أخرى، ولأنه في الحقيقة قد نظر إلى ذلك الشيء بعينه، لكن إما بانعكاس الأشعة أو على وجه آخر مما قيل في سبب الإِدراك، مما ليس على الفقيه اعتباره، فاعلم ذلك
“Sebagaimana tidak boleh melihat aurat orang lain, juga tidak boleh melihatnya dengan media cermin, pantulan air, atau sesuatu yang berkilau. Hal itu tidak dibolehkan karena dua alasan. Pertama, cermin yang memantulkan aurat orang lain dapat berdampak lebih parah dari pada keharaman seorang istri yang menceritakan aurat wanita lain kepada suaminya. Kedua, sejatinya seseorang yang melihat dari balik cermin adalah melihat kepada sosok objek yang di balik cermin tersebut, bukan hanya sekedar bayangannya saja. Hanya saja penglihatan tersebut melalui pantulan cahaya atau dengan media yang sejenisnya”.
Pendapat ini tidak seperti dari pendapat ulama-ulama lainnya. Menurut pendapat ini, objek yang dilihat melalui video call tidak hanya dinilai sebagai gambar atau bayangan saja, melainkan objek tersebut adalah hakikat dari sosok yang berada di balik layar tersebut. Oleh karena itu, hukum dari praktik Video Call Sex adalah haram menurutnya.
Alhasil, hukum dari praktik Video Call Sex bagi pasangan yang belum berstatus suami-istri adalah haram. Kendatipun ada pendapat ulama yang mengatakan boleh lantaran yang dilihat hanyalah bayangan semata, namun kebolehan tersebut masih dibatasi dengan kondisi tidak bersyahwat dan tidak menimbulkan fitnah. Dan pada realitanya, video call bagi sebagian pasangan kekasih dijadikan alat sebagai media untuk melampiaskan hawa nafsu, sekaligus berpotensi mengantarkan kepada perzinaan.
WaAllah A’lam bi al-Shawab. [HW]