Hukuman Mati Bagi Koruptor, Sudahkah Saatnya Diterapkan?

Hukuman Mati Bagi Koruptor, Sudahkah Saatnya Kita Diterapkan?

Fikroh.com – Umar bin Khattab pernah marah besar ketika mengetahui putranya Abdulllah memiliki seekor ternak yang lebih gemuk dari ternak yang lainnya, sedangkan ternak itu merumput di lahan milik aset bait maal. 

Perilaku itu dianggap penyimpangan oleh Umar ibn Khattab dari kekuasaannya sebagai Khalifah, meski sebenarnya masih dalam batasan normal seorang putra Khalifah ikut menikmati fasilitas yang ada, dan tidak pula merugikan negara, karena sebatas pemanfaatan rumput yang tumbuh di atas tanah. 

Tapi, begitulah Islam mengajarkan sikap kepemimpinan sesungguhnya bahwa potensi penyimpangan harus dikiritik dan diluruskan sedemikian rupa dari hulu kepemimpinan puncak itu sendiri, tanpa pandang bulu dan tidak pandang hubungan kekeluargaan atau kekerabatan, apalagi hanya sekedar hubungan satu partai yang sama.

Kembali pada sejarah Islam, Abdullah bin Miqtal pernah ditugaskan oleh Nabi sebagai petugas pengambil zakat, namun dia meminta orang yang memberikan zakat itu memfasilitasi dirinya dengan layanan yang baik, namun mereka tidak memberikannya layanan apa-apa, lantas dia kecewa dan marah.

Setelah mengetahui kejadian itu Nabi marah pada Abdullah bin Miqtal, hingga ia kembali menjadi murtad bergabung dengan musyrikin Mekkah, sebab dia tidak tahan dengan ketegasan hukum Islam yang tidak memberikan kepentingan dan keuntungan apa-apa pada dirinya secara materi dalam tugas dan jabatan yang diembannya. 

Demikianlah, nilai nilai kejujuran dalam kepemimpinan yang dibentuk Islam. 

Bahkan, Islam dengan tegas menyatakan hukuman potong tangan bagi para pencuri, termasuk pencuri uang rakyat, koruptor maupun pengambil kebijakan yang menguntungkan dirinya, keluarganya maupun kelompoknya. 

Dalam sebuah hadits, Nabi Saw bersabda: “Sekiranya fulanah binti fulan mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.”

Artinya, dalam hal ini tidak ada sikap kompromi dan toleransi atas perilaku penyimpangan dan kriminal tersebut, meskipun itu anak buahnya sendiri. Hal ini tergantung seorang pemimpinannya, tegas atau tidak?!

Maka, seseorang yang berhak menuntut ancaman hukuman bagi para pelaku pelanggar hukuman itu harusnya juga seorang pemimpin tertinggi dalam kekuasaannya.

Contoh kasus di atas menegaskan bahwa hanya Islam yang tegas dalam menyikapi bagaimana seharusnya perilaku korupsi dan kecurangan itu diputus mata rantainya dengan hukuman hadd atau potong tangan, sementara bagi kaum orientalis dan liberalis hukum semacam itu dianggap berlebihan dan melanggar HAM.

Dalam Islam hukum potong tangan banyak dikiritik Barat, sebab dianggap sebagai penyiksaan atau pelanggaran hak asasi manusia yang tidak berkeadaban, sementara hukuman mati atau tembak bagi koruptor di Jepang bebas dari kritikan dan kecaman. 

Apakah hanya karena Barat tidak suka dengan nilai Islam itu diterapkan?

Dalam kasus korupsi dana Bansos yang dilakukan oleh Menteri Sosial di tengah pandemi jelas menunjukkan perilaku bukan saja bobroknya nilai kesusilaannya, tapi juga sekaligus bahwa betapa jabatan sekelas menteri yang diberikan hanya atas negosiasi politik justru hanya membuka peluang bagi koruptor ambil peran sebagai politisi busuk memanfaatkan peluang yang diberikan.

Jujur, kita tidak habis pikir ada Menteri yang belum diketahui jelas kinerja dan prestasinya, malah lebih dahulu diberikan semacam penghargaan Reward oleh suatu lembaga survey yang konon katanya profesional, tapi hasilnya kontradiktif alias abal-abal.

Belum lama juga sang Memteri mendapat Reward sebagai menteri berprestasi menangangi Covid, eh ternyata Menterinya kena OTT kasus Korupsi dana Bansos senilai 17 M, di tengah pandemi Corona yang diperuntukkan bagi masyarakat yang menjadi korban atau terdampak Corona. 

“Sungguh terlaaluu!!” kata bang Rhoma Irama.

Kita sudah sama sama tahu betapa besar korban jiwa serta dampak piskologis maupun ekonomi yang muncul pada masa pandemi dan pasca new normal hari ini?

Sementara ironisnya, ada pejabat negara yang tanpa punya rasa kemanusiaan justru mengambil keuntungan besar dari penyalahgunaan wewenangnya. Apakah ini pastas disebut sebuah keadilan sosial bagi seluruh rakyat ini?!

Apakah ini slogan “Saya Pancasila” yang sering mereka teriakkan itu?!!

Berapa ribu dokter yang wafat menunaikan tugasnya? Berapa ribu tenaga medis yang meninggal dunia hanya atas tanggung jawab dan sumpah jabatan profesinya?!

Berapa juta orang kehilangan pekerjaannya?!

Berapa anak yang menjadi yatim piatu?!

Berapa dan berapa lagi dampak lain yang ditimbulkan atas musibah dan bencana ini?!!

Saya melihat kejahatan yang dilakukan ini, bukan sekedar perilaku kejahatan kriminal birokrat atau penyalahgunaan kekuasaan, lebih dari itu kejahatan itu merupakan kejahatan kemanusiaan.

Jika para koruptor hanya menjalani hukuman tahanan, taruhlah vonis hukuman 12 tahun penjara, nanti ending masa hukumannya akan dipotong masa pengurangan hukuman tahanan -dengan alasan ini dan itu- ya paling panter jadi 2 tahun saja lagi. Lantas, dimana letak keadilan hukum yang sebenarnya?!

Nah kembali pada judul besar di atas, “Apakah perlu hukuman mati bagi para koruptor?!”

Jawaban terakhir kita juga menunggu kepastian dan komitmen presiden yang mengatakan jika ada yang berani melakukan korupsi pada masa pandemi ini, “Gigit saja!”

Kita tunggu gigitannya, Pak Presiden. 

Seberapa kuat dan berani menggigit..

Oleh: Tg. Dr. Miftah el-Banjary

Leave a Comment