Oleh: Yendri Junaidi
Fatwapedia.com – Barangkali tak ada tokoh yang sejak hidupnya sampai hari ini selalu menjadi matsar (pemantik) perdebatan (antara yang suka dan yang benci, antara yang pro dan yang kontra), selain sosok Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah, atau yang lebih dikenal dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ta’ala.
Pendapat-pendapatnya yang ‘berani’ dan banyak berbeda dengan pendapat kebanyakan ulama di masa itu membuatnya sering diserang, bahkan dihakimi dan dipenjara. Beberapa kali ia keluar masuk penjara karena ‘diadukan’ oleh mereka yang berseberangan dengannya kepada penguasa di masa itu. Ini diantara yang membuat sosok Ibnu Taimiyah memiliki banyak penentang, sekaligus juga banyak pendukung.
Kebencian sebagian pihak kepada Ibnu Taimiyah sampai pada batas yang sangat keterlaluan. Sebagaimana halnya kecintaan sebagian orang kepadanya juga sampai pada titik yang sangat berlebihan. Seolah-olah, bagi mereka yang benci, Ibnu Taimiyah tak ubahnya iblis berwujud manusia. Sebagaimana bagi mereka yang cinta, Ibnu Taimiyah sudah seperti nabi yang terjaga dari kesalahan dan kekeliruan.
***
Seorang ulama di abad ke delapan hijriah sampai mengatakan bahwa siapa yang menjuluki Ibnu Taimiyah sebagai Syaikhul Islam maka ia kafir. Ini adalah ghuluw (keterlaluan) dalam membenci.
Maka tampillah Imam Ibnu Nashiruddin ad-Dimasyqi untuk membantah pernyataan tersebut dalam bukunya ar-Radd al-Wafir
(الرد الوافر على من زعم بأن من سمى ابن تيمية شيخ الإسلام كافر).
Buku ini diberikan taqrizh (semacam testimoni) oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani. Meskipun Ibnu Hajar seorang Asy’ariy, dan tentu dalam banyak hal berbeda dengan Ibnu Taimiyah, tapi dengan objektif ia menulis :
وشهرة إمامة الشيخ تقي الدين أشهر من الشمس وتلقيبه بشيخ الإسلام فى عصره باق إلى الآن على الألسنة الزكية ويستمر غدا كما كان بالأمس ولا ينكرذلك إلا من جهل مقداره أو تجنب الإنصاف
“Kemasyhuran Imam Syaikh Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyah) lebih terang dari matahari. Julukannya sebagai Syaikhul Islam di masa hidupnya sampai hari ini diakui oleh lidah para ulama yang bersih, dan akan tetap diakui sampai kapanpun. Tidak ada yang mengingkari hal itu kecuali mereka yang tidak mengenal kapasitas Ibnu Taimiyah atau tidak berlaku inshaf (objektif).”
Bahkan, sosok yang paling berperan dalam menjebloskan Ibnu Taimiyah ke penjara ; al-Qadhi Ibnu Makhluf al-Maliki yang menjadi musuh terbesar bagi Ibnu Taimiyah, tidak bisa memungkiri kebesaran jiwa Ibnu Taimiyah. Ia berkata :
ما رأيت كريما واسع الصدر مثل ابن تيمية، فقد أثرنا الدولة ضده ولكنه عفا عنا بعد المقدرة حتى دافع عن أنفسنا وقام بحمايتنا (رجال الفكر والدعوة للشيخ أبي الحسن الندوي)
“Saya tak pernah menemukan sosok yang sangat pemurah dan lapang dada seperti Ibnu Taimiyah. Kami telah menghasut negara untuk melawannya, tapi ia memaafkan kami padahal ia mampu (untuk balas dendam), bahkan ia membela dan melindungi kami.”
Adapun tentang keluasan ilmu, kecerdasan otak, kemampuan menghadirkan nash ketika diperlukan, kekuatan argumentasi dan seterusnya, sangat banyak ulama yang menjadi saksi terhadap hal itu, bukan hanya dari para muhib dan muwafiq tapi juga dari mereka yang mu’aridh dan mukhalif.
***
Berbagai kelebihan dan keistimewaan Ibnu Taimiyah ini, baik dari segi ilmu, kepribadian, maupun keberanian dalam berjihad melawan Tatar, membuat sebagian pengikutnya ‘buta’ terhadap kesalahan dan kekeliruan yang wajar terjadi pada seorang manusia, meskipun ia dijuluki sebagai Syaikhul Islam. Seakan-akan kalau sudah Ibnu Taimiyah yang berkata maka itulah kata yang sebenarnya. Kalau sudah Ibnu Taimiyah yang berfatwa maka itulah fatwa yang sesungguhnya. Tak jarang ada yang sampai merendahkan para imam seperti ; Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal rahimahumullahu ta’ala dan lain-lain.
Disinilah diperlukan inshaf (objektif) dalam menilai seorang tokoh. Rasa suka tidak boleh membutakan kita dari kelemahan dan kekurangan yang ada padanya. Sebagaimana rasa antipati tidak boleh juga membuat kita menutup mata dari kelebihan dan keunggulan yang dimilikinya.
Ada baiknya kita nukil pendapat Imam adz-Dzahabi terhadap gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang banyak ia puji di berbagai bukunya. Tapi dalam Risalah yang khusus ditujukannya pada Ibnu Taimiyah, ia menyampaikan syahadah yang perlu dicermati oleh mereka yang ‘cinta buta’ pada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, karena pengakuan ini bukan dari mubghidh (orang yang benci) melainkan dari muhib.
إلى كم ترى القذاة فى عين أخيك وتنسى الجذع فى عينك ، إلى كم تمدح نفسك وشقاشقك وعبارتك وتذم العلماء وتتبع عورات الناس مع علمك بنهي الرسول صلى الله عليه وسلم : لا تذكروا موتاكم إلا بخير فإنهم قد أفضوا إلى ما قدموا.
بلى ، أعرف أنك تقول لي لتنصر نفسك : إنما الوقيعة فى هؤلاء الذين ما شموا رائحة الإسلام ولا عرفوا ما جاء به محمد صلى الله عليه وسلم، وهو جهاد .
بلى والله، عرفوا خيرا كثيرا مما إذا عمل به العبد فقد فاز ، وجهلوا شيئا كثيرا مما لا يعنيهم ، ومن حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه
“Sampai kapan engkau akan melihat kotoran di mata saudaramu tapi kau lupa kayu di depan matamu? Sampai kapan engkau memuji diri sendiri dengan kehebatan retorikamu lalu engkau cela para ulama dan engkau bongkar aib manusia padahal engkau tahu hal itu dilarang oleh Rasulullah Saw ; “Jangan sebut orang yang sudah mati kecuali yang baik-baik, karena mereka telah pergi dan akan dihisab sesuai apa yang telah mereka kerjakan.”
Saya tahu, engkau akan berkata untuk membela diri, “Ini aku lakukan hanya untuk orang-orang yang tidak pernah mencium bau Islam dan tidak tahu apa yang diajarkan oleh Muhammad Saw, dan ini adalah jihad.”
Ya, mereka (orang-orang yang engkau serang itu) mengetahui banyak kebaikan yang kalau diamalkan oleh seorang hamba ia akan beruntung, dan mereka tidak tahu hal-hal yang memang tidak bermanfaat. Diantara tanda bagusnya Islam seseorang adalah ketika ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.”
Semoga Allah Swt mengajarkan kita untuk berlaku inshaf pada setiap orang, baik yang kita suka maupun yang kita benci.