Fatwapedia.com – Saat dirimu merasakan kegersangan jiwa pertanda dirimu butuh nasehat. Nasehat yang tak sekedar bualan murahan. Namun anda butuh nasehat yang menghidupkan. Nasehat yang keluar dari pancaran qalbu orang-orang pilihan karena ilmu dan ketakwaan.
Inilah kumpulan nasehat dan perkataan ulama salaf yang menyejukkan dan menggugah untuk menggapai kebaikan dan keberkahan.
#1. Jujur Kepada Allah dalam Segala Hal
Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata,
ومن صدق الله في جميع أموره، صنع الله له فوق ما يصنع لغيره.
“Siapa yang jujur kepada Allah dalam semua urusannya, niscaya Allah akan berbuat untuknya melebihi yang Dia perbuat untuk selainnya.”
[Al-Fawaid, hlm. 272]
#2. Di Antara Pendusta
Al-Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“من تكلم في الدين بلا علم كان كاذباً، وإن كان لا يتعمد الكذب”.
“Barang siapa berbicara tentang agama tanpa ilmu, ia adalah pendusta meskipun tidak menyengaja berdusta.”
[Majmu’ al-Fatawa, jilid 10, hlm. 449]
#3. Hakikat Zuhud
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata,
متى كان المال في يدك وليس في قلبك لم يضرك ولو كثر،
– ومتى كان في قلبك ضرك ولو لم يكن في يدك منه شيء.
– قيل للإمام أحمد: أيكون الرجل زاهدا، ومعه ألف دينار؟
– قال: نعم على شريطة ألا يفرح إذا زادت ولا يحزن إذا نقصت”
Selama harta yang berada di tanganmu tidak berada di dalam hatimu, harta tersebut tidak akan membahayakanmu meskipun banyak.
Namun, jika harta tersebut berada dalam hatimu, dia akan membahayakanmu meskipun tidak ada sedikit pun yang berada di tanganmu.
Ada yang bertanya kepada Imam Ahmad, “Apakah seseorang yang memiliki seribu dinar bisa bersikap zuhud?”
Beliau menjawab, “Ya. Dengan syarat, dia tidak bergembira ketika hartanya bertambah dan tidak bersedih ketika hartanya berkurang.”
[Madarijus Salikin, jilid 1, hlm. 463]
#4. Belajarlah untuk Diam Jika Bicara Tidak Membimbingmu
Abu adz-Dzayyal rahimahullah berkata,
تعلم الصمت كما تتعلم الكلام، فإن يكن الكلام يهديك، فإن الصمت يقيك، ولك في الصمت خصلتان : تأخذ به علم من هو أعلم منك، وتدفع به عنك من هو أجدل منك.
“Belajarlah diam seperti engkau belajar bicara, karena jika bicara tidak membimbingmu, maka sesungguhnya diam akan menjaga dirimu, dan dengan diam engkau akan mendapatkan dua hal; dengannya engkau bisa mengambil ilmu dari orang yang lebih berilmu darimu, dan dengannya engkau bisa menolak keburukan orang yang lebih pintar debat dari dirimu.”
[Jami’ Bayanil-‘Ilmi wa Fadhlih, jilid 1, hlm. 550]
#5. Keutamaan Memiliki Banyak Keturunan
Al-Imam Mula Ali al-Qary rahimahullah berkata,
قُدِّم كتاب النكاح على باب السِّيَر والجهاد في كتب الفقهاء؛ لأن إيجاد مؤمن، أفضل من إعدام ألف كافر.
“Bahasan ‘Kitab Nikah’ didahulukan daripada ‘Bab Siyar dan Jihad’ dalam kitab-kitab para ulama ahli fikih. Sebab, mengusahakan lahirnya seorang mukmin lebih afdal dibandingkan melenyapkan nyawa seribu orang kafir.”
[Mirqatul Mafatih, jilid 6, hlm. 2412]
#6. Keutamaan Banyak Mengingat Kematian
Al-Imam ad-Daqqaq rahimahullah berkata,
من أكثر من ذكر الموت أكرم بثلاثة أشياء: تعجيل التوبة، قناعة القلب، ونشاط العبادة.
“Barang siapa memperbanyak mengingat kematian, dia akan dikaruniai tiga hal: menyegerakan taubat; hati yang qana’ah (merasa cukup dengan pemberian Allah); dan semangat beribadah.”
[at-Tadzkirah bi Ahwalil Mauta, hlm. 126]
#7. Keutamaan Allah yang Dia Berikan Kepada Siapa yang Dia Kehendaki
Al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata,
متى رزق العبد انقيادا للحق وثباتا عليه فليبشر، فقد بشر بكل خير، وذلك فضل الله يؤتيه من يشاء.
“Ketika seorang hamba dikaruniai sikap tunduk kepada kebenaran dan kekokohan di atasnya, hendaklah dia bergembira. Sebab, sesungguhnya dia telah diberi kabar gembira akan mendapatkan semua kebaikan. Itu adalah keutamaan dari Allah yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki.”
[Thariqul Hijratain, jilid 2, hlm. 347]
#8. Bahayanya Ahli Bid’ah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
الغالب أن الظلم في الدين يدعو إلى الظلم في الدنيا، وقد لا ينعكس، ولهذا كان المبتدع في دينه أشد من الفاجر في دنياه.
“Pada umumnya, kezaliman dalam urusan agama menyeret kepada kezaliman dalam urusan dunia, tetapi seringnya tidak sebaliknya. Itu sebabnya, seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) dalam urusan agamanya lebih berbahaya dibandingkan dengan orang yang jahat dalam urusan dunianya.”
[Jami’ul Masail, jilid 6, hlm. 40]
#9. Penuntut Ilmu yang Paling Banyak Ilmunya adalah yang Tawadhu
Salah seorang ulama salaf mengatakan,
ﺍﻟﻤﺘﻮﺍﺿﻊ ﻓﻲ ﻃﻼﺏ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﻛﺜﺮﻫﻢ ﻋﻠﻤﺎً، ﻛﻤﺎ ﺃﻥّ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﺍﻟﻤﻨﺨﻔﺾ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﺒﻘﺎﻉ ﻣﺎﺀً.
“Orang yang tawadhu di kalangan para penuntut ilmu adalah yang paling banyak ilmunya di antara mereka, sebagaimana tempat yang rendah merupakan tempat yang paling banyak airnya.”
[Al-Jami’ li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’, jilid 1, hlm. 300]
#10. Hakikat Jihad
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“الجهاد حقيقة الاجتهاد في حصول ما يحبه الله من الإيمان والعمل الصالح ومن دفع ما يبغضه الله من الكفر والفسوق والعصيان”
“Hakikat jihad adalah kesungguhan dalam menggapai segala perkara yang Allah cintai, baik berupa keimanan maupun amalan saleh, dan kesungguhan mencegah segala perkara yang Allah murkai, baik berupa kekufuran, kefasikan, maupun kemaksiatan.”
[Al-‘Ubudiyah, hlm. 94]
#11. Hati yang Mati Pada Sepuluh Perkara
Suatu hari, Ibrahim bin Adham rahimahullah berlalu melewati pasar Bashrah. Manusia pun berkumpul kepadanya seraya berkata, “Wahai Abu Ishaq, sesungguhnya Allah berfirman dalam kitab-Nya, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan bagi kalian.’ Sudah sekian lama kami berdoa tapi tidak dikabulkan?”
Beliau menjawab:
يَا أَهْلَ الْبَصْرَةِ، مَاتَتْ قُلُوبُكُمْ فِي عَشَرَةِ أَشْيَاءَ،
أَوَّلُهَا : عَرَفْتُمُ اللَّهَ ولَمْ تُؤَدُّوا حَقَّهُ،
الثَّانِي : قَرَأْتُمْ كِتَابَ اللَّهِ ولَمْ تَعْمَلُوا بِهِ،
وَالثَّالِثُ : ادَّعَيْتُمْ حُبَّ رَسُولِ اللَّهِ وَتَرَكْتُمْ سُنَّتَهَ،
وَالرَّابِعُ : ادَّعَيْتُمْ عَدَاوَةَ الشَّيْطَانِ وَوَافَقْتُمُوهُ،
وَالْخَامِسُ : قُلْتُمْ نُحِبُّ الْجَنَّةَ ولَمْ تَعْمَلُوا لَهَا،
وَالسَّادِسُ : قُلْتُمْ نَخَافُ النَّارَ وَرَهَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ بِهَا،
وَالسَّابِعُ : قُلْتُمْ إِنَّ الْمَوْتَ حَقٌّ وَلَمْ تَسْتَعِدُّوا لَهُ،
وَالثَّامِنُ : اشْتَغَلْتُمْ بِعُيُوبِ إِخْوَانِكُمْ وَنَبَذْتُمْ عُيُوبَكُمْ،
وَالتَّاسِعُ : أَكَلْتُمْ نِعْمَةَ رَبِّكُمْ ولَمْ تَشْكُرُوهَا،
وَالْعَاشِرُ : دَفَنْتُمْ مَوْتَاكُمْ وَلَمْ تَعْتَبِرُوا بِهِمْ.
“Wahai penduduk Bashroh, hati kalian telah mati pada sepuluh perkara:
Pertama, kalian mengenal Allah tapi tidak menunaikan hak-Nya.
Kedua, kalian membaca al-Quran, tapi kalian tidak mengamalkannya.
Ketiga, kalian mengaku mencintai Rasulullah, tapi kalian meninggalkan sunnahnya.
Keempat, kalian mengaku memusuhi syaithan, tapi kalian mencocokinya.
Kelima, kalian mengatakan bahwa kami mencintai surga, tapi kalian tidak beramal untuk (memasuki)nya.
Keenam, kalian mengatakan bahwa kami takut dari neraka, tapi kalian menggadai diri-diri kalian untuk neraka.
Ketujuh, kalian mengatakan bahwa kematian adalah benar adanya, tapi kalian tidak bersiap untuknya.
Kedelapan, kalian sibuk membicarakan aib-aib saudara-saudara kalian, sedang kalian mencampakkan aib-aib kalian sendiri.
Kesembilan, kalian memakan nikmat-nikmat Rabb kalian, tapi kalian tidak menunaikan kesyukuran kepada-Nya.
Kesepuluh, kalian telah mengubur orang-orang wafat (dari) kalian, tapi kalian tidak mengambil pelajaran darinya.”
[Abu Nu’aim, Hilyatul-Auliyaa’, jilid 8, hlm. 15-16]
#12. Mengagungkan Perintah dan Larangan Allah
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah menjelaskan,
“Tingkatan pertama dalam mengagungkan Allah ‘azza wa jalla adalah mengagungkan perintah dan larangan-Nya. Sebab, seorang mukmin mengenal Allah ‘azza wa jalla melalui syariat yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk seluruh umat manusia. Konsekuensi syariat tersebut adalah ketundukan pada perintah dan larangan-Nya. Mengagungkan perintah diwujudkan dengan melaksanakannya. Adapun mengagungkan larangan diwujudkan dengan menjauhinya.
Ketika seorang mukmin mengagungkan perintah dan larangan, itu menunjukkan bahwa dia mengagungkan Dzat yang memerintahkannya dan melarangnya, yakni Allah ‘azza wa jalla.
Sesuai dengan kadar pengagungan terhadap perintah dan larangan Allah, seorang hamba mencapai derajat al-abrar, yaitu orang yang dipersaksikan baik keimanan dan keyakinannya, lurus akidahnya, dan selamat dari kemunafikan akbar.
Bisa jadi, ada orang yang melakukan perintah syariat dengan tujuan dipandang oleh manusia, mengharap kedudukan di sisi mereka. Ada pula yang menghindari larangan karena takut dicela manusia dan takut hukuman duniawi semata.
Orang semacam ini berarti melakukan perintah dan meninggalkan larangan bukan karena menghormati perintah dan larangan, bukan pula karena mengagungkan Allah.”
[Al-Wabilush Shayyib, hlm. 20]
Kumpulan Kisah dan Quote Ulama:: https://telegram.me/kisahulama