Fatwapedia.com – Sebagaimana telah diuraikan pada uraian sebelumnya mengenai Hukum Mengamalkan Tajwid, bahwa yang wajib (fardhu ‘ain) bagi seorang muslim adalah membaca Al-Quran sampai tidak terjatuh kepada kesalahan yang mengubah makna. Adapun bila terjatuh kepada kesalahan yang tidak mengubah makna, yakni hal-hal yang bersifat tahsiniyyah, maka hal tersebut tidak berdosa, karena menegakkannya bukan fardhu ‘ain.
Di antara kesalahan yang dapat mengubah makna adalah mengurangi atau menghilangkan salah satu huruf saat membaca Al-Quran, walaupun huruf tersebut adalah huruf Alif. Termasuk dalam menghilangkan salah satu huruf hijaiyyah adalah meringankan huruf-huruf yang seharusnya dibaca tasydid. Atau tidak membaca tasydid pada huruf-huruf bertasydid.
Tasydid merupakan tanda yang menunjukkan bahwa huruf hijaiyyah mesti dibaca double. Artinya kita membaca huruf bertasydid sama dengan membaca dua huruf hijaiyyah. Huruf pertamanya sukun dan yang keduanya berharakat.
Sebagai contoh, bila kita membaca kata kadzdzaba (كَذَّب), dengan huruf Dzal bertasydid, maka sama artinya dengan membaca kadz-dzaba (كذْ ذَب), dengan dua Dzal: Dzal yang pertama sukun, dan yang kedua berharakat. Dan ini berlaku untuk huruf bertasydid. Baik itu tasydid asli ataupun tasydid yang disebabkan terjadinya idgham kamil (pertemuan dua huruf hijaiyyah yang mengakibatkan huruf pertama melebur ke huruf yang kedua, dan huruf yang kedua dibaca bertasydid).
Masih banyak kaum muslimin yang belum menyadari dan memperhatikan persoalan ini. Padahal, bila dikaitkan dengan keabsahan shalat, konsekwensi hal ini bisa menjadi sangat serius. Mengapa demikian?
Karena salah satu rukun yang menentukan keabsahan shalat adalah membaca Al-Fatihah dengan benar, tidak terjatuh pada kesalahan yang mengubah makna.
Syaikh Salim bin Samir Al-Hadhrami rahiimahullaahu ta’aala mengatakan dalam Kitab Safinah:
شروط الفاتحة عشرة : الترتيب والموالاة ومراعاة حروفها وتشديداتها وأن لا يسكت سكتة طويلة ولا قصيرة يقصد قطع القراءة وقراءة كل آياتها ومنها البسملة وعدم اللحن المخل بالمعنى وأن تكون حالة القيام في الفرض ، وأن يسمع نفسة القراءة وأن لا يتخللها ذكر أجنبي
Syarat-syarat sah membaca surat Al-Fatihah ada sepuluh, yaitu:
1. Tertib (yaitu membaca surat Al-Fatihah sesuai urutan ayatnya).
2. Muwaalah (yaitu membaca surat Al-Fatihah dengan tanpa terputus dengan aktivitas yang lain, seperti diam dalam waktu yang lama).
3. Memelihara huruf-hurufnya (baik makhraj ataupun sifatnya).
4. Memelihara huruf-huruf bertasydid.
5. Tidak terputus dengan waktu yang lama antara ayat-ayat Al-Fatihah ataupun terputus sebentar dengan niat memutuskan bacaan (qatha’).
6. Membaca semua ayat Al-Fatihah, dimana basmalah termasuk ayat dari Al-Fatihah.
7. Tidak terjatuh pada lahn (kesalahan) yang dapat mengubah makna.
8. Membaca surat Al-Fatihah dalam keaadaan berdiri ketika shalat fardhu (bila mampu).
9. Mendengar surat Al-Fatihah yang dibaca.
10. Tidak terhalang oleh dzikir yang lain.
Satu poin yang ingin kami tekankan di sini adalah poin ke-4: Memelihara huruf-huruf bertasydid.
Bahkan karena begitu pentingnya persoalan ini, Syaikh Salim Al-Hadhrami melanjutkan dengan mengkhususkan pembahasan tasydid pada Al-Fatihah. Beliau rahiimahullaahu ta’aala mengatakan:
تشديدات الفاتحة أربع عشرة : بسم الله فوق اللام ، الرَّحمن فوق الراء ، الرَّحيم فوق الراء ، الحمد لله فوق لام الجلالة ، ربُّ العالمين فوق الباء ، الرَّحمن فوق الراء ،مالك يوم الدِّين فوق الدال ، إيَّاك نعبد فوق الياء ، إيَّاك نستعين فوق الياء ، اهدنا الصِّراط المستقيم فوق الصاد ، صراط الَّذين فوق اللام ، أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضَّالِّين فوق الضاد واللام
Tempat-tempat tasydid dalam surah Al-Fatihah ada empat belas, yaitu:
1. Tasydid huruf “Lam” jalalah pada lafal (الله).
2. Tasydid huruf “Ra’” pada lafal ( الرّحمن) .
3. Tasydid huruf “Ra’” pada lapal ( الرّحيم).
4. Tasydid “Lam” jalalah pada lafal (الحمد لله).
5. Tasydid huruf “Ba’” pada kalimat (ربّ العالمين).
6. Tasydid huruf “Ra’” pada lafal (الرّحمن ).
7. Tasydid huruf “Ra’” pada lafal (الرّحيم).
8. Tasydid huruf “Dal” pada lafal (الدّين ).
9. Tasydid huruf “Ya’” pada kalimat (إيّاك نعبد ).
10. Tasydid huruf “Ya” pada kalimat (وإيّاك نستعين).
11. Tasydid huruf “Shad” pada kalimat (اهدنا الصّراط المستقيم).
12. Tasydid huruf “Lam” pada kalimat (صراط الّذين).
13. Tasydid “Dhad” pada kalimat (ولا الضالين).
14. Tasydid huruf “Lam” pada kalimat (ولا الضالين).
Biasanya, yang sering kami temukan, sebagian pembaca Al-Quran terlalu tergesa-gesa dalam mengucapkan huruf bertasydid, sehingga kadarnya belum sempurna. Bahkan, sampai terjatuh pada menghilangnya satu huruf dari kalimat yang dibaca.
Misalnya saat membaca tasydid di atas huruf Lam dan Ra pada basmalah. Bacaan yang seharusnya diucapkan “Bismillaahir-rahmaanir-rahiim“ sering dibaca “Bismii-lahii-rahmaanii-rahiim.“ Pada kondisi seperti ini, maka ia telah terjatuh pada dua kesalahan sekaligus. Pertama, ia menghilangkan satu huruf dengan tidak membaca huruf-huruf bertasydid secara benar. Kedua, ia memanjangkan suara huruf-huruf yang berada sebelum huruf bertasydid, yang artinya ia telah menambah satu huruf mad pada bacaan tersebut.
Begitupun pada saat membaca huruf-huruf bertasydid pada ayat-ayat berikutnya. Seperti pada kalimat “Iyyaaka na’budu wa iyyaa nasta’iin“ yang sering dibaca “iiyaaka na’budu wa iiyaa nasta’iin.“
Atau kalimat “Ihdinash-shiraathal mustaqiim“ yang sering dibaca “ihdinaa-shiraathal mustaqiim.“ Begitu pula tasydid pada Dhad dan Lam pada “Waladh-dhaalliin,“ yang sering sekali terbaca dengan ringan.
Maka, perhatikanlah persoalan ini baik-baik dan alangkah jauh lebih baik lagi kita mendatangi seorang guru yang mutqin untuk mengoreksi dan melatih bacaan kita sehingga tidak terjatuh pada kesalahan ini, ataupun kesalahan-kesalahan lain yang dapat mengubah makna. Karena semua itu dapat memengaruhi keabsahan shalat kita. Padahal shalat merupakan tiangnya agama dan amalan yang pertama kali dihitung di akhirat kelak.
Terkhusus bagi kita yang terbiasa menjadi imam shalat, maka persoalan ini jelas memiliki konsekwensi yang lebih berat. Karena selain memengaruhi keabsahan shalat secara individu, juga memengaruhi keabsahan shalat makmum.
Mayoritas Ulama (Jumhur) berpendapat bahwa tidak sah shalatnya seorang qari (yakni orang yang sudah bisa membaca Al-Quran dengan tanpa mengubah makna) di belakang imam yang terjatuh kepada kesalahan yang mengubah makna. Makmum mesti memisahkan diri dari imam atau mengubah niatnya menjadi munfarid bila yakin bahwa imam terjatuh pada kesalahan mengubah makna dalam Al-Fatihah. Bila si makmum memilih untuk melanjutkan shalatnya, maka ia mesti mengulang kembali karena shalat yang dilaksanakannya tidak sah, sehinga kewajiban menegakkan shalatnya belum terlaksana.
Semoga dengan tulisan ini membuat kita sadar dan kemudian menjadikan kita tergerak untuk kembali belajar dan melatih bacaan Al-Quran kita. Khususnya adalah melatih bacaan surat Al-Fatihah, karena keshahihan bacaan kita pada Al-Fatihah sangat memengaruhi keabsahan shalat kita.
Laili Al-Fadhli
Semoga Allaah Ta’aala senantiasa menjaga dan mengampuninya serta keluarganya. Aamiin.