Fatwapedia.com – Masih sering menjadi perdebatan di kalangan kaum muslimin soal apa hukum bersalaman atau berjabat tangan usai shalat berjamaah. Sebagian menganggapnya sebagai kebiasaan yang baik sebagian lagi mengingkarinya dan menganggap hal ini bid’ah yang diada-adakan. Lalu bagaimana pendapat para ulama dalam hal ini?
Perbedaan pendapat dalam masalah ini bukan hal baru bahkan berabad-abad yang lalu sudah dibahas oleh para ulama. Imam Abu Zakariya an-Nawawiy (w. 676 H) menyebutkan bahwa hukum bersalaman saat awal perjumpaan adalah sunah tanpa adanya perselisihan di antara para ulama di sejumlah karya beliau (Syarah Sahih Muslim, Raudhat ath-Thalibin, al-Adzkar, dan Fatawa).
Beliau juga menyebutkan di tiga dari empat referensi yang terakhir disebutkan di atas bahwa hukum bersalaman setelah selesai shalat Subuh dan Ashar adalah mubah sekalipun bidah (tidak ada asal-usul pengkhususannya di kedua waktu tersebut).
Imam an-Nawawiy berkata dalam kitab kompilasi fatwa beliau (hl. 56):
هل المصافحة بعد صلاة العصر والصبح فضيلةٌ أم لا؟
الجواب: المصافحة سنة عند التلاقي
وأما تخصيص الناس لها بعد هاتين الصلاتين فمعدود في البدع المباحة
(والمختار) أنه إن كان هذا الشخص قد اجتمع هو وهو -قبل الصلاة- فهو بدعة مباحة كما قيل، وان كانا لم يجتمعا فهو مستحب؛ لأنه ابتداءُ اللقاء.
“Soal: Apakah bersalaman setelah shalat Ashar dan Subuh merupakan keutamaan atau tidak?
Jawaban: Bersalaman sunah saat perjumpaan. Adapun pengkhususannya oleh orang-orang setelah kedua shalat tersebut termasuk ke dalam bidah yang mubah. Dan pendapat terpilih adalah jika kedua orang ini telah berjumpa sebelum shalat (dan bersalaman) kemudian kembali bersalaman setelah shalat maka hal itu adalah bidah yang mubah, sebagaimana telah disebutkan. Dan apabila keduanya belum berjumpa (dan bersalaman) melainkan setelah shalat, maka hukumnya adalah sunah karena saat itu merupakan awal perjumpaan.”
Dan dalam kitab al-Adzkar (hl. 435) beliau mengatakan:
وأعلم أن المصافحة مستحبة عند كل لقاء، وأما ما اعتاده الناس من المصافحة بعد صلاة الصبح والعصر فلا أصل له في الشرع على هذا الوجه، ولكن لا بأس به، فإن أصل المصافحة سنة، وكونهم حافظوا عليها في بعض الأحوال وفرطوا في كثر من الأحوال أو أكثرها لا يخرج ذلك البعض عن كونه من المصافحة التي ورد الشرع بأصلها.
“Ketahuilah bahwa bersalaman disunahkan pada setiap perjumpaan. Adapun kebiasaan orang-orang bersalaman setelah shalat Subuh dan Ashar, tidak ada asal-usulnya dalam syarak (jika dikhususkan hanya pada kedua waktu tersebut). Namun, tidak mengapa, sebab asal hukum bersalaman adalah sunah. Dan apa yang dilakukan orang, yakni mengamalkan sunah di saat tertentu dan meninggalkannya di banyak waktu atau bahkan di lebih banyak waktu tidak mengeluarkan hal itu dari status hukumnya sebagai bersalaman yang ditetapkan hukum asalnya dalam syara’.”
Simpulan Imam an-Nawawiy dalam “al-Adzkar” tadi dicuplik oleh Ibn Abidin (w. 1252 H) dari kalangan mazhab Hanafi dalam Radd al-Muhtar (jilid 9, hl. 547) dan diberikan tambahan keterangan sebagai berikut:
قال الشيخ أو الحسن البكري: وتقييده بما بعد الصبح والعصر على عادة كانت في زمنه، وإلا فعقب الصلوات كلها كذلك، كذا في رسالة الشرنبلالي في المصافحة. ونقل مثله عن الشمس الحانوتي، وأنه أفتى به مستدلا بعموم النصوص الواردة في مشروعيتها وهو الموافق لما ذكره الشارح من إطلاق المتون. لكن قد يقال: إن المواظبة عليها بعد الصلوات خاصة قد يؤدي الجهلة إلى اعتقاد سنيتها في خصوص هذا المواضع وأن لها خصوصية زائدة على غيرها، مع أن ظاهر كلامهم أنه لم يفعلها أحد من السلف في هذه المواضع، وكذا قالوا بسنية قراءة السور الثلاثة في الوتر مع الترك أحيانا لئلا يعتقد وجوبها، ونقل في تبيين المحارم عن الملتقط أنه تكره المصافحة بعد أداء الصلاة بكل حال، لان الصحابة رضي الله تعالى عنهم ما صافحوا بعد أداء الصلاة، ولأنها من سنن الروافض اه. ثم نقل عن ابن حجر عن الشافعية أنها بدعة مكروهة لا أصل لها في الشرع، وإنه ينبه فاعلها أولا ويعذر ثانيا، ثم قال: وقال ابن الحاج من المالكية في المدخل إنها من البدع، وموضع المصافحة في الشرع، إنما هو عند لقاء المسلم لأخيه لا في أدبار الصلوات، فحيث وضعها الشرع يضعها فينهي عن ذلك ويزجر فاعله لما أتى به من خلاف السنة اه. ثم أطال في ذلك فراجعه.
“Berkata Syaikh Abul Hasan al-Bakriy: ‘Pembatasan beliau (Imam an-Nawawiy) pada waktu setelah shalat Subuh dan Ashar sesuai dengan tradisi di zamannya, karena pada hakikatnya, hukumnya juga berlaku pada saat selepas shalat seluruhnya. Begitulah yang disimpulkan dalam tulisan asy-Syurunbulaliy tentang hukum bersalaman dan yang semisalnya juga dikutip dari asy-Syams al-Hanutiy, yakni bahwa beliau berfatwa demikian berpijak pada keumuman berbagai nas pensyariatannya. Dan simpulan ini pula yang serasi dengan apa yang disebutkan oleh pensyarah (Kitab ad-Durr al-Mukhtar) sebagaimana penyebutannya dalam sejumlah matan (fikih hanafi).
Hanya saja bisa dikatakan, ‘Pengamalan (bersalaman) secara terus-menerus setelah selesai shalat secara khusus dapat menjerumuskan khalayak awam ke dalam keyakinan akan sunahnya hal itu di waktu tersebut secara khusus dan bahwasanya ada keutamaan terkhusus padanya melebihi kondisi-kondisi lainnya, kendati secara lahir dari uraian mereka (para ulama) menunjukkan bahwa tidak seorangpun dari kalangan Salaf yang melakukannya pada saat-saat teesebut (selesai shalat). Demikian pula para ulama berpendapat akan sunahnya membaca 3 surah (al-A’la, al-Kafirun, dan al-Ikhlas) di shalat Witir dan sesekali ditinggalkan (membaca surah-surah lain) agar tidak diyakini sebagai keharusan.
Dalam “Tabyin al-Maharim” dikutipkan dari kitab “Al-Multaqath” kemakruhan bersalaman setelah shalat secara mutlak karena para sahabat -radhiyallahu Ta’ala ‘anhum- tidak pernah melakukannya, dan karena hal itu termasuk tradisi kalangan Rawafidh (Syiah).’
Kemudian beliau mengutip dari Ibn Hajar dari kalangan Syafiiyah bahwasanya bersalaman (setelah shalat) adalah bidah yang makruh, tidak memiliki dasar dari syarak, juga bahwa pelakunya pertama-tama perlu diingatkan, kemudian diuzur.
Kemudian beliau berkata, ‘Ibn al-Haj dari kalangan Malikiyah dalam “al-Madkhal” berkata, ‘Hal itu (bersalaman setelah shalat) termasuk bidah. Letak bersalaman dalam syarak hanyalah ketika seorang muslim berjumpa saudaranya, bukan di saat selepas shalat. Maka sejatinya di mana syarak meletakkannya, di situlah ia meletakkannya. Dan ia juga dilarang dari melakukan hal itu (di selain tempatnya) dan pelakunya diberi teguran karena melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan Sunah.’
Kemudian beliau (Syaikh Abul Hasan al-Bakriy menuliskan uraian panjang. Silakan ditelisik kembali.”
Tambahan:
1. Ibn Hajar al-Asqalaniy juga mengutip simpulan Imam an-Nawawiy dalan “al-Fath” (jilid 11, hl. 55) terkait hukum pengkhususan bersalaman setelah shalat, kemudian beliau memberikan catatan:
قلت: للنظر فيه مجال فإن أصل صلاة النافلة سنة مرغب فيها ومع ذلك فقد كره المحققون تخصيص وقت بها دون وقت ومنهم من أطلق تحريم مثل ذلك كصلاة الرغائب التي لا أصل لها.
Saya katakan: “Pada pendapat beliau ini terdapat celah bagi tanggapan kritis. Pada dasarnya shalat nafilah hukumnya sunah dan dianjurkan, namun, meskipun begitu, para ulama muhaqqiqun (berperingkat tinggi) memakruhkan pengkhususan waktu tertentu baginya. Di antara mereka ada yang memutlakkan hukum haram untuk yang semisal itu (ibadah sunah yang dikhususkan pada waktu tertentu) semisal shalat Raghaib yang tidak memiliki pijakan.”
2. Dalam “al-Mirqah” (jilid 8, hl. 494) Mulla Ali al-Qari al-Hanafiy mengatakan:
“Meskipun begitu (bersalaman setelah shalat secara khusus) dianggap termasuk bidah tercela, jika seorang muslim menyodorkan tangannya untuk bersalaman, tidak sepantasnya (orang yang diajak bersalaman) berpaling darinya dengan cara menarik (menjauhkan) tangannya lantaran berakibat menyakiti perasaan yang tidak sejalan dengan adab. Maka hasil simpulannya adalah bahwa memulai ajakan bersalaman pada kondisi seperti itu (selepas shalat) hukumnya makruh, kecuali (yang dilakukan orang yang diajak bersalaman) dengan maksud menjaga perasaan orang yang mengajak bersalaman, meski mungkin saja dikatakan bahwa pada perbuatannya itu terdapat semacam upaya membantu perbuatan bidah. Wallahu A’lam.”
Semoga menambah luas cakrawala kita seputar khazanah fikih ijtihadi di kalangan para ulama -rahimahumullah- masa lalu.
وفقنا الله للعلم النافع والعمل الصالح.