Fatwapedia.com – Saat seseorang melakukan perjalanan (safar) islam memberikan dispensasi (rukhsah) berupa keringanan dalam beribadah. Namun safar yang bagaimanakah yang memenuhi syarat peroleh rukhsah? Dalam hal ini Para ulama berbeda pendapat tentang jarak safar yang dibolehkan untuk mengqashar shalat, terbagi kedalam tiga pendapat:
Pertama: Jarak qashar adalah 48 mil, atau setara dengan 85 kilometer. Ini adalah pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Hasan Bashri dan az-Zuhri. Ini juga madzhab Imam Malik, Imam Laits, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur. [Al-Qawanin (100), Ad-Dasuqi (1/358), Al-Majmu’ (4/322), Al-Hawi (2/361), Al-Mughni (2/90), dan Kasyaf Al-Qanna’ (1/504)] Landasan dalil mereka adalah sebagai berikut:
Riwayat marfu’ dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma :
يَا أَهْلَ مَكَّةَ لاَ تَقْصُرُوا الصَّلاَةَ فِى أَدْنَى مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ[2] مِنْ مَكَّةَ إِلَى عُسْفَانَ[3]
“Wahai penduduk Makkah, janganlah mengqashar shalat pada jarak safar yang kurang dari empat burud , yaitu dari Makkah ke ‘Usfan.” (Hadits Riwayat: Darul-Quthny (148) dna darinya Al-Baihaqi (3/137), Lih: Irwa’ al-Ghalil (565). Hadits munkar).
Kata (البرد) adalah kata jamak dari (بريد) yaitu jarak empat Farsakh, sedangkan 1 Farsakh = 3 Mil, dan 1 mil sekitar 1,8 KM.
Namun hadits ini munkar, tidak shahih.
Diriwayatkan secara shahih, “Bahwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengqashar dan berbuka puasa pada jarak empat burud.” [Shahih, dita’liq oleh Al-Bukhari (2/659 – Fath) , disambung oleh Al-Baihaqi (3/137), Irwa’ al-Ghalil (568)] Yaitu, sekitar 16 farsakh.
Perjalanan sejauh empat burud menyebabkan kesulitan ataupun kesusahan dalam safar, maka dibolehkan mengqashar shalat pada jarak tersebut sebagaimana dibolehkan pada jarak tiga burud. Namun, tidak boleh kurang dari itu.
Kedua: Jarak qashar adalah perjalanan tiga hari tiga malam dengan unta. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Suwaid bin Ghaflah, Sya’bi, an-Nakh’iy, Tsauri, dan ini juga madzhab Abu Hanifah. [Ibnu Abidin (2/122), AL-Hidayah (1/80), Nailul-Authar (3/246), dan Bidayatul-Mujtahid (1/243)
Landasan dalil mereka adalah:
Hadits riwayat Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ تُسَافِرِ المَرْأَةُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ[1]
“Janganlah seorang wanita bepergian selama tiga hari kecuali disertai oleh mahramnya.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1086) dan Muslim (1338)
Hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma –tentang mengusap khuf–,
جَعَلَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ[2]
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan tiga hari tiga malam bagi musafir, dan menjadikan sehari semalam bagi orang yang bermukim.”
Mereka mengatakan, hukum musafir pada dua hadits di atas dikaitkan dengan orang yang melakukan perjalanan tiga hari. Oleh karena itu, tidak boleh mengqashar shalat dalam perjalanan kurang dari itu.
Sebagaimana yang dipahami bahwa “tiga” adalah bilangan banyak yang paling minimal, dan bilangan sedikit yang paling maksimal. Tidak boleh mengqashar shalat pada safar yang pendek. Maka, bilangan banyak yang paling minimal “3 hari” wajib menjadi batasannya.
Ketiga: Qashar tidak memiliki jarak tertentu. Bahkan ia boleh mengqashar pada setiap perjalanan yang bisa disebut sebagai “safar”. Ini adalah madzhab zahiriyah, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah juga muridnya, Ibnul-Qayyim. [Al-Muhalla (5/10), Majmu’ al-Fatawa (24/12-35), Zaadul-Maad, Fathul-Bari (2/660), dan Al-Mughni (2/44)] Landasan dalil mereka adalah sebagai berikut:
Firman Allah Subhanahu wata’ala
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ…[4]
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu).” (Al-Qur`an Surat: An-Nisa (101)
Secara dzahir, ayat ini menunjukkan bahwa qashar berlaku untuk setiap orang yang melakukan perjalanan tanpa batasan jarak tertentu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak membatasi qashar dengan batasan waktu dan tempat, bahkan Allah Subhanahu wata’ala dalam firman-Nya mengaitkan hukum qashar dengan safar secara mutlak. Maka tidak boleh membedakan satu jenis safar dengan safar lainnya tanpa adanya dalil syar’i. Bahkan wajib memutlakkan apa yang dimutlakkan oleh Allah, dan membatasi apa yang dibatasi oleh-Nya. Penentuan jarak qashar bagi musafir harus diputuskan dengan dalil, tidak boleh diputuskan dengan pendapat semata.
Diriwayatkan secara shahih bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengqashar shalat dalam perjalanan yang kurang dari batas yang ditentukan tadi:
a. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلاَثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلاَثَةِ فَرَاسِخَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ[1]
“Apabila Rasulullah melakukan perjalanan sejauh tiga mil atau tiga farsakh, beliau shalat dua rakaat (mengqashar shalat).” (Hadits Riwayat: Muslim (691)
Hadits ini menunjukan dengan tegas bahwa shalat qashar berkaitan dengan safar secara mutlak, walaupun perjalanannya hanya sejauh tiga mil atau tiga farsakh.
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Ini adalah hadits paling shahih dan paling tegas yang menjelaskan tentang hal itu.”
Namun Jumhur ulama menjawab, bahwa maksudnya adalah; pada jarak dimana qashar dimulai, bukan batas safar.
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Tidak samar lagi bahwa takwil ini terlampau jauh. Ditambah lagi bahwa al-Baihaqi menyebutkan dalam riwayatnya dari jalur ini bahwa Yahya bin Zaid –yang meriwayatkannya dari Anas– berkata, “Aku bertanya kepada Anas tentang mengqashar shalat, saat aku keluar menuju Kufah, yakni dari Bashrah: Apakah aku shalat dua rakaat-dua rakaat hingga aku keluar?’ Maka Anas menyebutkan hadits tersebut.” Jelaslah bahwa ia bertanya tentang bolehnya mengqashar pada saat safar, bukan tentang tempat dimana ia mulai mengqashar.”
b. Diriwayatkan dari Anas radhiallahu ‘anhu ia berkata:
صَلَّيْتُ الظُّهْرَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا، وَالعَصْرَ وَبِذِي الحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ[2]
“Aku shalat zuhur bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah empat rakaat, dan shalat Ashar di Dzul-Hulaifah dua rakaat”. Jarak antara keduanya tiga mil. (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1089), Muslim (690), dan tambahan lafadz (العصر) itu darinya)
c. Diriwayatkan secara shahih dari keduanya (Ibnu Umar dan Ibnu Abbas) yang menyelisihi pembatasan ini dengan sanad-sanad shahih. Demikian juga sahabat yang lain menyelisihi keduanya.
d. Seandainya tidak ada riwayat yang shahih kecuali riwayat yang dipakai oleh jumhur, dan tidak ada yang menyelisihi keduanya, maka hadits tersebut tetap tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Karena hal itu bertentangan dengan hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah lalu.
Adapun hadits yang menyebutkan: “Janganlah seorang wanita bersafar selama tiga hari.” di dalamnya tidak disebutkan bahwa batasan safar adalah tiga hari. Namun di dalamnya hanya disebutkan bahwa wanita tidak boleh melakukan perjalanan khusus (yakni selama tiga hari) dengan tanpa mahram.
Sebagaimana diriwayatkan dengan shahih dari Abu Hurairah secara marfu’:
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهاَ ذِي مَحْرَمٍ[1]
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir melakukan perjalanan sehari semalam tanpa disertai mahram.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1088) dan Muslim (1939)
Tidak ada sedikit pun dari hadits ini yang menunjukkan batasan safar.
Pendapat yang Rajih: adalah pendapat yang ketiga, yaitu mengqashar pada setiap perjalanan yang disebut sebagai “safar”, baik safar itu dekat maupun jauh, karena tidak ada batasan safar menurut bahasa Arab. Jadi, hal ini dikembalikan kepada kebiasaan serta adat manusia. Hal ini berbeda-beda menurut perubahan zaman, karena terjadi perkembangan pesat di bidang alat-alat transportasi.
Kaidahnya: Jika seseorang berkata: “Aku akan bersafar ke negeri fulan” bukan “aku pergi”. Dan perjalanan tersebut dianggap sebagai safar menurut adat setempat, yaitu degan adanya indikator seperti menyiapkan perbekalan untuk perjalanan tersebut atau sejenisnya. Wallahu’alam.
Apakah Disyaratkan Mengqashar Shalat Safar Dalam Ketaatan?
Jumhur ulama: Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad [Bidayatul-Mujtahid (1/244), Al-Majmu’ (2/201), Al-Mughni (2/101) dan Kasyaf Al-Qanna’ (1/324)] berpendapat bahwa disyariatkan qashar pada safar yang wajib dan mubah. Tidak boleh mengqashar pada safar maksiat, seperti merampok dan sejenisnya. Hal ini disandarkan pada perkataan mereka bahwa qashar adalah rukhshah, bukan kewajiban. Tujuannya adalah meringankan setiap mukallaf, dan itu disyariatkan untuk meraih suatu kemaslahatan. Oleh karena itu, hanya berlaku untuk orang yang mencurahkannya dalam ketaatan, bukan menjadikannya sebagai sarana menuju kemurkaan Allah.
Sementara pihak yang mewajibkan qashar: Abu Hanifah, Ibnu Hazm, dan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa qashar disyariatkan pada setiap safar, walaupun safar maksiat. Karena kewajibannya adalah dua rakaat bukan empat, walaupun ia akan bermaksiat dalam safarnya. Ini adalah satu pendapat di kalangan Malikiyah. [Fathul-Qadir (1/47), Al-Kharsyi (1/57), Al-Muhalla (4/267), dan Majmu’ al-Fatawa (24/110)]
Penulis Berkata: Siapa yang menguatkan pendapat bahwa safar adalah suatu rukhshah, maka tidak boleh mengqashar pada safar maksiat. Dan siapa yang mewajibkan qashar, maka tidak dibedakan antara safar ketaatan dengan safar kemaksiatan. Inilah pendapat yang lebih rajih. Wallahu a’lam.
Kapan Musafir Mulai Mengqashar Shalat?
Para ulama sepakat bahwa musafir boleh mulai mengqashar shalat setelah berpisah dari batas negerinya. [Al-Ijma’ karangan Ibnu Mundzir (39), dan Al-Mughni (2/260)]
Kemudian mereka berselisih pendapat tentang bolehnya mengqashar sebelum itu, dalam dua pendapat, dan pendapat yang paling benar bahwa tidak boleh mengqashar sebelum melewati batas negerinya. Ini adalah madzhab jumhur. [Ibnu Abidin (2/121), Adz-Dzakhirah (2/365), Al-Majmu’ (4/202), dan Kasyaf Al-Qanna’ (1/325)]
Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma, ia berkata:
صَلَّيْتُ الظُّهْرَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا، وَالعَصْرَ وَبِذِي الحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ[3]
“Aku shalat zuhur bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah empat rakaat, dan di Dzul-Hulaifah dua rakaat.”
Hadits ini jelas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mulai mengqashar shalat setelah keluar dari Madinah.
Waktu Mengqashar Ketika Sudah Berada Di Negeri Tujuan
Musafir tetap mengqashar shalat selama dalam perjalanannya walaupun lama jangka waktunya. Jika ia telah sampai ke negeri yang dituju, berapa lamakah disyariatkan untuk mengqashar shalat? Ini adalah perkara yang tidak disebutkan dalam syariat. Tidak ada hadits shahih yang tegas dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini. Sedangkan mengqiyaskan pada batasan safar adalah qiyas yang lemah menurut para ulama. Karena itu, para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini dalam sebelas pendapat, dan yang paling masyhur ada empat pendapat. Tiap-tiap pendapat berusaha mencari dalil pendapat mereka dari perbuatan yang dinukil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bermukim di suatu tempat dengan mengqashar shalat, atau menjadikannya sebagai hukum yang berlaku bagi musafir.[Bidayatul-Mujtahid (1/245) cet. Al-‘Ilmiyyah] Pendapat-pendapat yang masyhur tersebut adalah sebagai berikut:
1. Jika ia berniat bermukim lebih dari empat hari, maka ia tidak boleh mengqashar. Ini adalah madzhab jumhur: Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Hanya saja Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan, empat hari selain hari datang dan hari pergi. Sedangkan Hanabilah membatasinya dengan dua puluh satu kali shalat. [Ad-Dasuqi (1/364), Al-Majmu’ (4/361), Al-Hawi (2/372), Al-Mughni (2/132), dan Kasyaf Al-Qanna’ (1/330)] Mereka berdalil dengan dalil-dalil berikut ini:
Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ مَكَّةَ صُبَيْحَةَ رَابِعَة ذِي الحِجَّةِ , فَأَقَامَ بِهَا الرَّابِع وَ الخَامِس وَ السَّادِس وَ السَّابِع وَ صَلىَّ الصُّبْحَ فِى اليَوْمِ الثَانِى ثُمَّ خَرَجَ إلَى مِنَى وَ كَانَ يَقْصُرُ الصَّلاَةَ فِى هَذِهِ الأيَّامِ, وَ قَدْ عَزَمَ عَلَى إقَامَتِهَا[6]
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Makkah pada waktu Subuh, tanggal empat Dzulhijjah. Beliau bermukim di sana tanggal 4-7. Beliau shalat Subuh pada hari yang kedua kemudian keluar ke Mina. Beliau mengqashar shalat pada hari-hari tersebut, dan beliau berniat bermukim di sana.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari maknanya (1564), Muslim (1240) dari hadits Ibnu Abbas, dan Muslim (1218) dari hadits Jabir)
Pendapat ini dijawab, tidak disebutkan di dalamnya bahwa jangka waktu ini adalah batasan minimal untuk mukim (yang masih dibolehkan qashar). Karena diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bermukim lebih lama dari waktu tersebut dan beliau tetap mengqashar shalat, sebagaimana akan disebutkan haditsnya.
Hadits ‘Ala’ bin Hadhrami radhiallahu ‘anhuma, ia berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يُقِيمُ الْمُهَاجِرُ بِمَكَّةَ بَعْدَ قَضَاءِ نُسُكِهِ ثَلاَثًا[1]
“Orang-orang Muhajirin bermukim di Makkah selama 3 hari, setelah mereka menyelesaikan manasiknya.” (Hadits Riwayat: Muslim (1352)
Mereka mengatakan, hal ini menunjukkan bahwa siapa yang bermukim selama tiga hari, maka ia tidak dianggap sebagai orang yang mukim, tetapi ia dihukumi sebagai musafir.
Pendapat ini dijawab, makna hadits ini bahwa siapa yang berhijrah dari Makkah sebelum hari Penaklukan (Fathul-Makkah), maka diharamkan baginya bermukim di Makkah kecuali bermukim tiga hari setelah menyelesaikan manasik hajinya, tidak lebih. Adapun musafir, maka tidak mengapa ia bermukim lebih dari tiga hari di Makkah. Jadi, bagaimana mungkin diqiyaskan dengannya. Kemudian dalam hadits tersebut tidak ada isyarat tentang batas waktu bila musafir bermukim dengan batas waktu tersebut, maka ia harus menyempurnakan shalatnya.
Kemudian dalam hadits disebutkan bahwa Muhajirin yang bermukim lebih dari tiga hari masih dihukumi sebagai musafir, bukan sebagai orang yang mukim. Sementara menurut mereka, bermukim lebih dari tiga hari bagi musafir sudah dianggap mukim. Seandainya yang pertama diqiyaskan dengan yang kedua, niscaya musafir wajib mengqashar shalatnya jika bermukim lebih dari tiga hari, bukan menyempurnakannya. Hal ini bertentangan dengan pendapat mereka. [Al-Muhalla (5/24)]
Atsar riwayat Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhuma bahwa ia menetapkan bagi orang-orang Yahudi, Nasrani dan Majusi berada di Madinah selama tiga hari untuk mengumpulkan bekal dan menunaikan hajat mereka. Mereka tidak boleh bermukim lebih dari tiga hari.[Hadits Riwayat: Al-Baihaqi (3/147-9/209) dengan sanad perawinya Tsiqah. Hanya saja mereka berpolemik mengenai apakah Yahya bin Bakir mendengar dari Malik] Menurut mereka, atsar ini menunjukkan bahwa tiga hari adalah batasan safar, dan yang lebih dari itu adalah batasan bermukim.
Pendapat ini dijawab, hal itu tidak menunjukkan bahwa batasan safar adalah tiga hari, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Bahwa musafir bertamu selama tiga hari. Jika lebih, maka ia terhitung sebagai orang yang bermukim.
Pendapat ini dijawab, hal itu tidak menunjukkan batas minimal masa bermukim, sebagaimana sudah jelas.
2. Jika dia berniat bermukim lima belas hari, maka ia tidak boleh mengqashar. Ini dalah madzhab Abu Hanifah, Tsauri dan Muzanni.[Al-Bada-i’ (1/97, 98), Al-Hidayah (1/81), dan Al-Majmu’ (4/364)] Mereka berargumen dengan dalil-dalil sebagai berikut:
Hadits Anas radhiallahu ‘anhu ia berkata:
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْمَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ فَكَانَ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعْنَا إِلىَ الـمَدِيْنَةِ. قِيْلَ لَهُ: “أَقَمْتُمْ بِمَكَّةَ شَيْئًا؟” قَالَ: “أَقَمْنَا بِهَا عَشْرًا”[2]
“Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dari Madinah menuju Makkah. Beliau shalat dua rakaat dua rakaat hingga kami kembali ke Madinah.” Beliau ditanya, “Berapa lamakah kalian bermukim di Makkah?” Anas menjawab, “Kami bermukim di Mekah 10 hari” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1081), Muslim (693), dan lafadz yang terakhir adalah miliknya)
Dalam riwayat lain,
أَقَمْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ نَقْصُرُ الصَّلاَةَ
“Kami bermukim bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh hari dengan mengqashar shalat.”
Pendapat ini dijawab seperti jawaban yang akan disebutkan dalam hadits Jabir dan Ibnu Abbas.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma , ia berkata:
أَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ عَامَ الْفَتْحِ خَمْسَ عَشْرَةَ يَقْصُرُ الصَّلاَةَ[3]
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bermukim di Makkah pada hari penaklukan (fathul-Makkah) selama 15 hari dengan mengqashar shalat.” (Hadits Riwayat: Abu Daud (1231) Dha’if dengan lafadz ini. Ibnu Majah (1076) dan telah Shahih dengan lafadz (تسعة عشر), akan dibahas nanti)
Riwayat dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhum keduanya berkata,
إذَا قَدِمْتَ بَلْدَةً، وَأَنْتَ مُسَافِرٌ، وَفِي نَفْسِك أَنْ تُقِيمَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، أَكْمِلْ الصَّلَاةَ بِهَا، وَإِنْ كُنْت لَا تَدْرِي مَتَى تَظْعَنُ، فَاقْصِرْهَا[1]
“Jika engkau datang ke suatu negeri sebagai musafir, dan engkau meniatkan dalam hatimu untuk bermukim selama 15 hari, maka sempurnakanlah shalat di sana. Jika engkau tidak tahu kapan engkau berangkat, maka qasharlah.”
Mereka mengatakan, pembatasan ini tidak dinyatakan dengan pendapat semata, sehingga pernyataan ini bernilai marfu’.
Pendapat ini dijawab, ini adalah perkataan sahabat yang diselisihi oleh sahabat lainnya, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Telah shahih dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar pernyataan sebaliknya.
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata:
أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ، فَنَحْنُ إِذَا سَافَرْنَا تِسْعَةَ عَشَرَ قَصَرْنَا، وَإِنْ زِدْنَا أَتْمَمْنَا[2]
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bermukim 19 hari dengan mengqashar shalat. Jika kami bepergian selama 19 hari, maka kami mengqashar; dan jika lebih, maka kami menyempurnakannya.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1080)
3. Bahwa musafir terus mengqashar shalat, selama ia tidak berniat untuk bermukim seterusnya. Ini adalah madzhab Hasan, Qatadah, Ishaq, dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah. [Al-Majmu’ (4/365), Majmu’ al-Fatawa (24/18), dan Al-Muhalla (5/23)] Mereka berargumen dengan dalil-dalil sebagai berikut:
Hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma ia berkata,
أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ، فَنَحْنُ إِذَا سَافَرْنَا تِسْعَةَ عَشَرَ قَصَرْنَا، وَإِنْ زِدْنَا أَتْمَمْنَا[4]
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bermukim 19 hari dengan mengqashar. Dan jika kami safar selama 19 hari, maka kami mengqashar. Dan jika lebih, maka kami menyempurnakannya.”
Hadits riwayat Jabir radhiallahu ‘anhu , ia berkata,
أَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَبُوكَ عِشْرِينَ يَوْمًا يَقْصُرُ الصَّلاَةَ[5]
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bermukim di Tabuk selama 20 hari dengan mengqashar shalat.” (Hadits Riwayat: Ahmad (3/295), Abu Daud (1236) namun telah dita’lil. Lih: Irwa’ al-Ghalil (574). Dinyatakan Shahih oleh al-Albani)
Hadits riwayat Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhuma , ia berkata,
غَزَوْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَهِدْتُ مَعَهُ الفَتْحَ، فَأَقَامَ بِمَكَّةَ ثَمَانِي عَشْرَةَ لَيْلَةً لاَ يُصَلِّي إِلاَّ رَكْعَتَيْنِ، يَقُوْلُ: “يَا أَهْلَ البَلَدِ! صَلُّوْا أَرْبَعاً، فَإِنَّا سَفْر[1]
“Aku berperang bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan ikut bersama beliau di hari Penaklukan Makkah. Beliau bermukim di Makkah selama 18 hari dengan hanya mengerjakan shalat dua rakaat, seraya bersabda: “Wahai penduduk negeri, shalatlah empat rakaat! Sesungguhnya kami sedang safar.”
Mereka mengatakan, hadits-hadits ini menunjukkan bahwa musafir itu pada hakikatnya tidak berkaitan dengan batas waktu tertentu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hanyalah mengqashar shalat selama 18, 19 dan 20 hari, karena beliau musafir.
Catatan Tambahan
Menurut para pengikut tiga pendapat sebelumnya bahwa jika musafir bermukim di suatu negeri dan tidak berniat untuk bermukim, serta tidak tahu kapan akan pulang dan kapan ia akan menyelesaikan urusannya, maka ia terus mengqashar shalat. Sandaran mereka bahwa perbuatan ini dilakukan para salaf:
Diceritakan dari Ibnu Umar
أَنَّهُ أَقَامَ بِأَذْرَبِيجَانَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ارْتَجَّ[2] عَلَيْهِمْ الثَّلْجُ فَكان يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ[3]
“Bahwa ia bermukim di Azerbijan selama 6 bulan, selama musim salju, Maksudnya; dalam keadaan bersalju dan tertutup olehnya, dan ia terus shalat dua rakaat.” (Hadits Riwayat: Al-Baihaqi (3/152) sanadnya shahih, Ahmad (2/83, 154) serupa dan panjang dengan sanad Hasan. Irwa’ al-Ghalil (577)
Diriwayatkan dari Abul-Minhal al-‘Anazi, ia berkata,
قُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ : إنِّي أُقِيمُ بِالْمَدِينَةِ حَوْلاً لاَ أَشُدُّ عَلَى سَيْرٍ ، قَالَ : صَلِّ رَكْعَتَيْنِ[4]
“Aku bertanya kepada Ibnu Abbas, Aku bermukim di Madinah selama satu tahun karena tidak kuat untuk berjalan?” Ibnu Abbas pun menjawab, “Shalatlah dua rakaat”.” (Hadits Riwayat: Ibnu Abi Syaibah (2/207). Sanadnya shahih)
Diriwayatkan dari al-Hasan radhiallahu ‘anhu :
أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ أَقَامَ بِنَيْسَابُورَ سَنَةً ، أَوْ سَنَتَيْنِ ، فَكَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ يُسَلِّمُ ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعتَيْنِ ، ثُمَّ يُسَلِّمُ ، وَلاَ يُجَمِّعُ[5]
“Bahwa Anas bin Malik bermukim di Naisabur selama 1 atau 2 tahun, ia shalat dua rakaat kemudian salam. Kemudian ia shalat dua rakaat dan tidak menjamak.” (Hadits Riwayat: Ibnu Abi Syaibah (5099), dan darinya Ibnul-Mundzir (ت/1736). Sanadnya Dha’if)
Diriwayatkan dari al-Hasan juga,
أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَن بْنَ سَمُرَةَ شَتَّا بِكَابُلَ شَتْوَةً ، أَوْ شَتْوَتَيْنِ لاَ يُجَمِّعُ ، وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ[1]
“Bahwa Abdurrahman bin Samurah menghabiskan musim dingin di Kabul 1 atau 2 tahun. ia tidak menjamak, tapi shalat dua rakaat.” (Hadits Riwayat: Ibnu Abi Syaibah (2/13). Sanadnya Dha’if)
Diriwayatkan dari Anas radhiallahu ‘anhu ia berkata:
أَقَامَ أَصْحَابُ النَّبِي -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- بِرَام هرْمُز تِسْعَةَ أَشْهُرٍ يُقْصِرُوْنَ الصَّلاَةَ[2]
“Sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bermukim di Roma Hurmuz selama 9 bulan dengan mengqashar shalat.” (Hadits Riwayat: Al-Baihaqi (3/152). Lih: Irwa’ al-Ghalil (576). Sanadnya Dha’if,)
Diriwayatkan dari Abu Wa-il radhiallahu ‘anhu ia berkata:
كُنَّا مَعَ مَسْرُوْقٍ بِالسِّلْسِلَةُِ سَنَتَيْنِ وَهُوَ عَامِلٌ عَلَيْهَا فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ حَتَّى انْصَرَفَ[3]
“Kami bersama Masyruq di Silsilah selama 2 tahun, dan ia seorang pekerja di sana, maka ia shalat mengimami kami dua rakaat hingga kembali ke negerinya.”
Semua Atsar tersebut menguatkan pendapat di atas.
4. Bahwa musafir mengqashar selama 20 hari, kemudian ia menyempurnakan shalatnya, baik ia berniat bermukim maupun tidak. Ini adalah madzhab Abu Muhammad bin Hazm, dan Imam Syaukani sependapat dengannya. Hanya saja Imam Syaukani membedakan antara orang yang berniat bermukim dengan orang yang tidak berniat bermukim. Menurutnya, orang yang berniat bermukim tidak mengqashar shalat lebih dari 4 hari. Sementara orang yang tidak berniat bermukim dan tidak tahu kapan akan pergi, maka ia mengqashar selama 20 hari kemudian menyempurnakan shalatnya. Ini adalah salah satu pendapat ulama Syafi’iyah.” [Hadits Riwayat: Ibnu Abi Syaibah (2/208), dan Abdurrazaq (4357). Sanadnya shahih]
Kemudian mereka berargumen dengan dalil pendapat yang ketiga. Hanya saja mereka meniliknya dua perkara:
Pertama: Niat bermukim tidak jadi ukuran. Karena niat tidak dapat dilibatkan dalam amalan yang tidak diperintahkan Allah Subhanahu wata’ala untuk berniat, seperti safar dan bermukim. Niat hanya diwajibkan pada amalan yang diperintahkan Allah Subhanahu wata’ala supaya berniat, sehingga amalan ini tidak bisa dikerjakan tanpa niat. (Mughnil-Muhtaj (1/262)
Kedua: Memperhatikan hukum asal shalat, yaitu menyempurnakan. Mereka mengatakan, “Sebenarnya, pada asalnya orang yang bermukim harus menyempurnakan shalat, karena qashar tidak disyariatkan kecuali bagi musafir. Sementara orang yang bermukim bukanlah musafir. Jikalau tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bahwa beliau mengqashar shalat di Makkah dan di Tabuk dengan bermukim, maka tentunya yang diwajibkan adalah menyempurnakan. Tidak boleh dipalingkan dari hukum asal ini kecuali dengan dalil. Dalil telah menunjukkan bahwa mengqashar shalat, disertai ketidakpastian bermukim, sampai 20 hari, sebagaimana disebutkan dalam hadits Jabir. Dan tidak ada riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengqashar shalat melebihi batas tersebut. Oleh karenanya, hendaklah ia mengqashar sesuai dengan batas ini. Tidak diragukan lagi bahwa pembatasan ini tidaklah menafikan qashar melebihi batasan tersebut. Tapi memperhatikan hukum asal shalat, itulah penentunya…” [Nailul-Authar (3/251)]
Pendapat Yang Rajih
Tidak disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali mukim dan musafir. Adapun orang yang tinggal di selain negerinya, maka tidak terlepas dari dua keadaan:
Pertama: Ia memparkirkan kendaraannya dan menyiapkan tempat tinggal khusus untuknya berikut perabotannya serta bermukim dengan tentram di dalamnya, maka ini disebut mukim. Tidak disyariatkan qashar baginya, baik 4 hari maupun lebih. Hal ini tidaklah bertentangan dengan qasharnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di Makkah selama 4 hari, padahal beliau tahu akan bermukim selama waktu tersebut. Karena telah disebutkan sebelumnya bahwa yang menjadi ukuran dalam safar dan mukim adalah kondisi tempat tinggal dan menetap di dalamnya, bukan batas waktunya.
Kedua: Adapun jika ia singgah di suatu tempat dengan tidak merasakannya sebagai tempat yang permanen dan nyaman –sebagaimana halnya bermukim di negerinya sendiri– maka ia adalah musafir dan terus mengqashar shalat, selama ia dalam kondisi demikian, walaupun lebih dari 20 hari.
Misalnya, seseorang bersafar dari Manshurah ke Kairo untuk suatu keperluan. Dia tahu bahwa ia akan menyelesaikan keperluannya selama satu bulan, tetapi dia bermalam seminggu di tempat kerabatnya, seminggu kemudian di tempat temannya, dan demikian seterusnya, maka dia bukan orang yang bermukim, tetapi dia tetap sebagai musafir. Oleh karenanya, ia tetap mengqashar shalatnya sesuai kehendaknya hingga kembali, atau hingga ia memiliki tempat dimana ia bisa menetap di situ yang dapat dijadikannnya sebagai tempat bermukim.
Inilah pendapat yang rajih menurut penulis, dan pendapat yang didukung seluruh dalil-dalil yang ada. Pendapat ini dekat dengan pendapat yang ketiga, kemudian pendapat yang keempat. Wallahu A’lam.
Catatan tambahan: Bertempat tinggal di asrama mahasiswa adalah bermukim dan bukan safar. Hal ini berdasarkan tinjauan yang telah menjadi ukuran adalah kondisi tempat tinggal. Atas dasar itu, mahasiswa tidak disyariatkan mengqashar Shalat di dalam kampus, jika ia menetap disana seperti yang telah disebutkan tadi. Wallahu A’lam.
Tidak Disyariatkan Niat Untuk Qashar
Inilah pendapat shahih yang ditujukan oleh sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mengqashar shalat bersama para sahabat, dan beliau tidak memberitahukan kepada mereka sebelum memulai shalat bahwa beliau akan mengqashar, serta beliau tidak pernah memerintahkan mereka supaya berniat qashar. Ini adalah madzhab Abu Hanifah, Malik dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Ahmad.[1] Masalah ini telah dijelaskan dalam pembahasan “Perbedaan niat antara imam dan makmum”. (Majmu’ al-Fatawa (24/16-21), Al-Hidayah (1/81), Al-Syarh Al-Shaghir (1/174 – dengan Bughyatus-Salik), dan Al-Mughni (2/105)