Fatwapedia.com – Umar Mukhtar adalah seorang tokoh dan figur yang memiliki semangat juang tinggi, intelektual, cerdas dan berdedikasi tinggi terhadap agamanya. Ia dilahirkan pada 1861. Umar memulai hidupnya menjadi seorang sufi dan memasuki tarekat yang bernama Sanusiyah sampai ia meninggal.
Tarekat Sanusiyah merupakan tarekat yang unik. Ajaran tarekat ini tidak meninggalkan dunia, tetapi peduli terhadap persoalan dunia. Tarekat itu sering kali berperang melawan ketidakadilan. Hal tersebut mengingatkan kita terhadap doa Abu Bakar “Ya Allah, jadikanlah dunia ini di tangan kami, bukan di hati kami.
Umar Mukhtar atau Umar al-Mukhtar (1861-1931) adalah pemimpin gerakan penentang penjajahan Italia di Libya pada tahun 1920-an dan 1930-an. Ia dieksekusi mati pada tahun 1931. Ia berasal dari suku Manfa, yang dilahirkan di kota kecil bernama Zawia Janzour, sebelah timur kota Barqah. Sukunya merupakan salah satu dari beberapa suku yang pindah ke Nejed di Arab Saudi semasa penaklukan Islam di Afrika Utara.
Sungguh, Umar Mukhtar merupakan tokoh yang luar biasa. Pahlawan ini bukan hanya milik Libya, melainkan milik dan kebanggaan seluruh kaum muslimin sepanjang waktu. Ia adalah seorang guru yang mengangkat senjata karena negerinya diduduki dan dijajah Italia. Kehormatan dan harga diri umat Islam di negerinya diinjak-injak. Ia merasa harus meninggalkan aktivitas mengajar di sekolah dan mulai berjuang mengusir penjajah. Umar Mukhtar adalah pahlawan dalam kehidupan nyata.
Umar lahir pada tahun 1862. Sebenarnya, ada perbedaan mengenai kelahirannya. Ada yang menyebut tahun 1858, namun ada pula yang mengatakan tahun 1861. Masa kecilnya dihabiskan untuk belajar agama, yang sesuai dengan cita-cita ayahnya yang menghendakinya berkhidmat demi kepentingan ilmu dan agama. Ketika masih kecil, ia disekolahkan ke Wahah Jaghbub untuk menimba ilmu dan menghafal al-Qur’an dan ayahnya wafat saat ia berusia 16 tahun. Kemudian, ia dirawat oleh Hussein el-Ghariani, paman dari Sharif el-Ghariani.
Dalam mempelajari al-Qur’an, Umar Mukhtar juga dibantu oleh Abd Akader Bodia sebagai gurunya. Dalam masa ini, Umar mengembangkan kebiasaan yang luar biasa. Ia tak pernah tidur lebih dari tiga jam sehari. Ia selalu bangun pada sepertiga malam. Ia pun menunaikan shalat Tahajjud, yang dilanjutkan dengan membaca al-Qur’an hingga fajar. Ia pun terbiasa khatam al-Quran dalam waktu 7 hari.
Usai menyelesaikan pendidikan, Umar Mukhtar dipercaya menjadi guru agama dan mengajar di kantor-kantor pemerintahan di Jabal Akhdar. Semuanya itu berkat kepandaian dan kecerdasan yang dimilikinya.
Ketika remaja, Umar memasuki tarekat Sanusiyah dan akhirnya menjadi sufi. Tarekat ini sering kali berperang melawan ketidakadilan. Tarekat itu juga memperkuat aspek ekonomi anggotanya. Umar menjadi anggota tarekat ini sampai ia meninggal. Ketika dewasa, sambil melaksanakan ajaran-ajaran tarekat, ia pun menjadi pengajar ilmu tasawuf dan fiqh di sebuah sekolah Islam di Libya.
Bergabungnya Umar dalam tarekat ini menjadi udara segar. Ia adalah seorang pejuang yang mampu membuat pasukan Italia teserang “migrain”. Lion of the Desert dari Libya itu bagi Italia adalah duri dalam daging. Kemampuan diplomasinya yang luar biasa sanggup menyatukan suku-suku Libya yang sejak lama terkotak-kotak akibat “termakan” fitnah Italia yang memecah-belah suku.
The International Magazine on Arab Affair Special Report mencatat peran anggota Sanusoyah yang perkasa itu, “Bagi tentara Italia yang jauh lebih kuat di bidang persenjataan, para pejuang Libya barangkali hanyalah sekelompok orang bersenjata tidak berarti. Namun dibawah pimpinan Umar Mukhtar, para pejuang ini membuat Italia berperang tanpa akhir di padang pasir. Mereka datang bagaikan burung Ababil yang membuat tentara Abrahah porak-poranda saat menyerang Ka’bah.
Umar Mukhtar hanyalah seonggok daging yang sama dengan manusia yang lain. Setangguh apapun ia, kematian pasti menghampirinya. Persenjataan yang tidak seimbang ternyata membuat pada pejuang Libya kelelahan. Umar pun tertangkap di Padang Koufra. Kemudian, ia dihukum gantung di hadapan pengikutnya pada tahun 1932.
Jika prediksi Italia bahwa digantungnya pengikut fanatik tarekat Sanusiyah itu akan memadamkan gerakan anggotanya yang lain, maka prediksi tersebut salah besar. Justru kesyahidannya “membakar” generasi muda Libya untuk bisa mewujudkan harapan bersama, yakni Libya harus merdeka!
Pada 31 Januari 1942, anak-anak muda Libya yang sedang studi di Kairo mendeklarasikan Jami’iyyah Umar Mukhtar dengan misi “mencapai kemerdekaan Libya”
Akhirnya, perjuangan tarekat Sanusiyah mendirikan negara independen terwujud setelah Perang Dunia II atas bantuan Inggris dan Uni Soviet, serta mendapatkan pengakuan dari PBB dan salah seorang cucu pendiri tarekat ini , Idris Sanusi, diangkat sebagai raja Libya pada tahun 1952 denga nama Raja Idris I.
Sementara itu, setelah salah seorang perwira muda, Moammar Khadafy yang pulang dari Inggris, melakukan revolusi tidak berdarah (1969), tarekat Sanusiyah pun berakhir.
A. Memimpin Perang
Peristiwa peperangan antara Libya dengan Italia dimulai pada Oktober 1911, saat kapal-kapal perang Italia sampai Pantai Tripoli Libya dengan tujuan tinggal di Libya. Kapten kapal Farafelli milik Italia membuat permintaan agar Kekhalifahan Turki Utsmani menyerahkan Tripoli kepada Italia. Bila tidak, kota itu akan dihancurkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Kekhalifahan Turki Utsmani yang maasih punya Izzah menolaknya mentah-mentah. Demikian pula dengan rakyat Libya. Sultan Turki menganggap ini sebagai penghinaan dari bangsa Italia. Memang, bangsa Italia terkenal sombong. Mereka merasa sebagai keturunan Kerajaan Romawi yang pernah menjadi negara super power. Melihat ada bangsa yang tidak mau tunduk kepadanya, serta menolak permintaanya, Italia menjadi marah. Lalu tentara Italia menyerang kota Tripoli. Mereka mengebom kota ini selama tiga hari tiga malam.
Sesudah itu, tentara Italia memproklamirkan kepada rakyat Libya di Tripoli agar tunduk kepada pemerintahan Italia. Tentu saja rakyat Tripoli menolaknya. Dengan dipimpin oleh para ulama yang juga keluarga raja, sekaligus pemimpin tarekat Sanusiyah, rakyat Libya mengangkat senjata demi menentang penjajahan Italia dan lebih suka di bawah kepemimpinan Kekhalifahan Turki Utsmani.
Peristiwa tersebut menjadi tanda dimulainya peperangan antara penjajah Italia dengan mujahidin Libya. Perang terus berlangsung antara mujahidin Libya dengan tentara Turki yang melawan pasukan Italia. Pada tahun 1912, Sultan Turki menandatangani sebuah perjanjian damai yang sebenarnya menjadi tanda menyerahnya Turki kepada Italia. Perjanjian tersebut bernama Lausanne yang dilakukan di kota Lausanne, Switzerland. Sejak saat itu, berjalanlah pemerintahan kolonial Italia di Libya.
Bagi kaum muslimin, penyerahan Libya dari Turki kepada Italia adalah sebuah pengkhianatan terhadap kepentingan kaum muslimin. Kaum muslimin tidak boleh menerima penyerahan wilayah kerajaan Islam kepada orang-orang kafir.
Perjanjian Lausanne dianggap sebagai “angin lalu” oleh rakyat Libya. Mereka tetap melanjutkan perang jihad meawan Italia. Di beberapa wilayah, mereka juga dibantu oleh tentara Turki yang tidak mematuhi perintah dari Jenderal Turki di pusat kekhalifahan, Istanbul
Pertempuran di Cyrensica dipimpin oleh Ahmad asy-Syafir, ketua tarekat Sanusiyah yang juga keponakan Muhammad bin Ali As-Sanusi al-Idrisi, sang pendiri tarekat. Sedangkan Umar Mukhtar menjadi komandan perang dan ahli strategi di kawasan kota Barqah.
Ternyata, selain bekerja sebagai guru. Umar Mukhtar juga master dalam bidang strategi perang gerilya di padang pasir. Ia mengetahui keadaan geografi negerinya dengan sangat baik. Ia juga memanfaatkan keadaan geografi Libya untuk memenangkan pertempuran. Apalagi tentara Italia tidak terbiasa perang dalam medan padang pasir.
Dimulai dari beberapa ribu pasukan saja, ternyata pasukan Umar Mukhtar bertambah dan terus bertambah sampai mencapai 6.000 orang. Ia juga membentuk pasukan elite yang sangat sedikit anggotanya karena harus melalui pemiihan yang teramat ketat. Pasukan ini mirip Brigade Izzuddin al-Qassam milik HAMAS di Palestina. Pasukan elite yang kecil itu mempunyai mobilitas dan keterampilan perang yang tinggi. Selain itu, mereka adalah orang-orang yang paling berani mati.
Seluruh pasukan Umar Mukhtar biasanya menyerang benteng-benteng Italia. Mereka juga menyergap regu-regu tentara Italia di mana-mana. Apabila ada konvoi yang mengangkut logistik, mereka sering kali meninggalkannya, bahkan merebutnya sebagai rampasan perang. Mereka pun memutus kabel-kabel telegraf dan menyerang pos-pos komunikasi. Operasi pasukan Umar Mukhtar sering kali berhasil. Jihad ini bergolak dari kota Zwara di bagian barat Libya sampai kota Salloum di bagian Timur Libya.
Tentara-tentara Italia adalah pasukan yang sangat terlatih lulusan akademi ketentaraan, serta memiliki teknologi perang yang tinggi. Tetapi, mereka sering kalah melawan mujahidin Libya yang teknologi perangnya rendah dengan latihan perbekalan ketentaraan yang amat minim.
Dalam beberapa pertempuran, rasio pasuan Libya dan Italia ialah 1 : 50 atau 1:100. Tetapi,Italia sering kalah karena pasukannya pengecut. Mereka sering lari tunggang-langgang menghadapi mujahidin Libys yang berperang dengan pekik, “Allahu Akbar.
Kemudian, karena pengkhianatan salah seorang pasukannya, Umar Mukhtar tertangkap pada tahun 1921. Tetapi, berkat kepiawaiannya berdiplomasi dalam bahasa Inggris, Umar Mukhtar pun cepat dibebaskan oleh tentara Italia.
Pada awal tahun 1923, tentara Italia menduduki dan menyerang kota Benghazi, yang sekaligus sebagai pusat kegiatan tarekat Sanusiyah. Dahulu, Benghazi adalah ibu kota Kerajaan Cyrenaics di bawah pimpinan Muhammad bin Ali as-Sanusi al-Idrisi, sang pendiri tarekat.
Karena Italia semakin sombong, Umar Mukhtar mengangkat senjata lagi dan memimpin pasukannya. Pasukannya kembali meraih kemenangan-kemenangan seperi dulu. Tentara Italia semakin kalang-kabut. Mereka menangkap laki-laki, perempuan dan anak-anak. Mereka memasukannya ke kamp-kamp tananh seperti milik Nazi. Tak heran, mereka semua sama-sama fasis dan rasis. Kamp-kamp tahanan ini berlokasi di tempat terpencil, jauh dari perkampungan rakyat Libya. Tujuannya, selain untuk melakukan pembunuhan, juga sebagai penyekat bantuan moral kepada mujahidin dan yang lebih penting menyekat bantuan logistik kepada mujahidin.
Sejak tahun 1921, Libya diperintah oleh Gubernur Jenderal Giuseppe Volvi, seorang ahli perniagaan yang beralih menjadi politikus. Volvi mendeklarasikan bahwa ia akan memperjuangkan hak-hak Italia dengan “darah”. Lima belas ribu pasukan Italia pun disebar ke kampung-kampung untuk membunuh penduduk awan. Angkatan udara Italia juga menyerang penduduk tak berdosa di perkampungan.
Kepala operasi ketentaraan tersebut adalah Pietro Badoglio dan Rudolfo Graziani. Graziani terkenal sejak tahun 1915 dengan julukan “Tukang Jagal”. Graziani tidak mengecualikan seorang pun dari pendukung-pendukung Umar Mukhtar yang tertangkap. Semuanya dibantai dengan sadis. Bahkan, rakyat yang tidak tahu apa-apa dan belum tentu mendukung Umar Mukhtar juga dibunuh.
Selain menyerang kampung-kampung dengan pesawat, Graziani juga membakar dan memusnahkan perkampungan dengan para penduduk di dalamnya. Sungguh, itulah pembantaian yang sangat kejam terhadap umat Islam. Umar Mukhtar pun menyiapkan pasukannya untuk peperangan yang sangat panjang. Semula, ia hanyalah komandan di kota Barqah. Namun, kini ia menjadi komandan perang mujahidin untuk seluruh Libya.
Perang belangsung sangat panjang, yakni 8 tahun, Sejak tahun 1923 -1931. Selama perang yang dipimpin oleh Umar Mukhtar, Italia menderita karugian yang amat besar. Tentara Italia pun kalah perang dimana-mana. Moral mereka runtuh. Mereka pun menjadi malas berperang.
Setelah mendapat laporan dari libya, Benito Musollini sang diktator fasis di Italia, mengirim 400.000 pasukannya ke Libya. Perang menjadi sangat tidak seimbang. Pasukan Umar paling banyak hanya 10.000 orang. Di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa rasio paling besar pasukan muslim melawan pasukan kafir adalah 1 : 10. Sehingga wajar saja bila 10.000 : 400.000 mengakibatkan pasukan mujahidin Libya kalah perang.
Hukum Sunnatullah berlaku, apalagi mujahidin Libya telah berperang sejak tahun 1911-1931 atau selama 20 tahun. Sementara itu, pasukan Italia adalah para tentara yang baru saja berperang saat itu, alias masih segar. Pada umur 70 tahun, yaitu tahun 1931, Umar Mukhtar pun tertangkap oleh tentara Italia. Ia pun dikawal dengan pasukan yang jumlahnya berlebihan.
B. Menjemput Syahid
Mujahidin Libya telah berperang selama 20 tahun, sedangkan para serdadu Italia selalu berdarah segar, terkecuali para pemimpinnya. Tahun 1931, Umar Mukhtar tertangkap. Ini merupakan sebuah pukulan telak bagi rakyat Libya. Ia pun diadili dalam pengadilan yang tidak ada keadilan di dalamnya. Akhirnya, pada 16 September 1931, Umar Mukhtar mendapatkan karunia Ilahi yang mengabadikannya; tiang gantungan. Ia adalah sebuah ikon paling penting dalam sejarah tirani pada abad ke-20. Ia juga merupakan simbol yang sangat akrab di telinga kaum muslimin khususnya.
Umar Mukhtar dihukum mati di tiang gantungan. Hukuman ini dilaksanakan pada 16 September 1931. Ia dipersilahkan mengucapkan kata-kata terakhir. Dengan tali di lehernya, ia berkata, “innalillahi wa innalillahi raaji’uun. Laa ilaaha illalaah, muhammadur rasulullah!”
Umar Mukhtar pun melepas dan menggenggam kacamatanya erat-erat. Kemudia, penyangga kakinya dilepaskan. Air mukanya sangat tenang, bahkan tersenyum amat manis. Boleh jadi, ia melihat bidadari-bidadari dan surga yang menjemputnya atau ia mungkin mencium wangi semerbak surga Jannatun Na’im.
Tangan Umar Mukhtar yang menggenggam erat kacamatanya, kini mulai mengendur. Kemudian, kacamata itu pun jatuh dan pecah. Ia menemui ajalnya. Ia syahid di tiang gantungan pemerintah kolonial Italia yang Zhalim. Ratusan ribu rakyat Libya pun tak kuasa menahan tangis. Mereka sedih lantaran sang pemimpin telah wafat. Tetapi, mereka juga terharu melihat sang pemimpin tersenyum bertemu dengan Allah SWT.
Sang pemimpin memiliki daya karismatik yang tinggi di mata rakyat Libya. Ia mungkin sesuai dengan cara Umar bin Khatab Ra. Dalam memaknai nilai seseorang pemimpin di mata Allah. Ia berpesan kepada para pejabat pada masa kekhalifahannya, “ketahuilah, kedudukan anda di mata Allah ditentukan oleh cara melihat tingkat penerimaan masyarakat kepada Anda!” ia mempunyai keyakinan bahwa Allah Swt hanya akan memenangkan agama-Nya dengan usaha-usaha manusia, bukan dengan mukjizat demi mukjizat. Di sinilah, kunci kemenangan mujahidin Libya. Pasukan Umar sering kali memenangkan peperangan, meskipun dalam rasio pasukan yang jauh berbeda.
Sang pemimpin mengajarkan kepada kita agar bertarung dengan ruh dan semangat. Ketika ruh telah hilang dalam diri, segeralah bersiap-siap mengubur kemenangan. Kini, walaupun Umar Mukhtar relah meninggalkan rakyat Libya, tetapi ia tetap hidup di hati mereka. Ia pun menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan. Ia bukan hanya simbol bagi rakyat Libya, melainkan bagi seluruh kaum muslimin di seluruh dunia.