Fatwapedia.com – Perkahwinan ialah ikatan atau perhubungan antara dua orang yang berlainan jantina, yang dibentuk berdasarkan undang-undang atau adat yang berlaku dalam sesebuah negara atau masyarakat. Perkahwinan sering dianggap sebagai institusi atau institusi sosial yang penting dalam masyarakat.
Perkahwinan juga boleh diertikan sebagai komitmen atau janji yang dibuat oleh dua individu untuk hidup bersama dalam suka dan duka, cinta, hormat dan menyokong antara satu sama lain. Dalam perkahwinan, pasangan biasanya mempunyai hak dan kewajipan yang sama, termasuk hak untuk memiliki harta bersama, hak untuk membuat keputusan bersama, dan tanggungjawab untuk menyediakan keperluan dan kesejahteraan keluarga.
Tetapi jalinan pernikahan tersebut bisa putus diakibatkan oleh 3 perihal:
- Kematian;
- Perceraian; dan
- Atas Vonis Majelis hukum.
Pasal 37 Undang- Undang No 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan mengatakan apabila pernikahan putus sebab perceraian, harta barang diatur bagi hukumnya tiap- tiap. Dari mari lah pembagian hak atas harta gono- gini diatur.
Pembagian harta gono- gini diajukan oleh para pihak sehabis terdapatnya vonis perceraian dari majelis hukum. Pembagian harta gono- gini bisa diajukan ke Majelis hukum Negara setempat untuk non muslim ataupun Majelis hukum Agama untuk muslim.
Apa itu harta gono- gini?
Harta gono- gini diucap pula selaku harta bersama, tertera dalam Pasal 35 ayat( 1) Undang- Undang No 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan kalau harta barang yang diperoleh sepanjang pernikahan jadi harta bersama. Harta bersama tersebut demi hukum mencuat secara otomatis semenjak dikala dilangsungkannya pernikahan sepanjang tidak diatur lain dalam sesuatu perjanjian.
Perjanjian ini yang setelah itu diucap selaku perjanjian Pra Nikah serta perjanjian Pasca Nikah (Postnuptial Agreement).
Suami dan isteri dalam kehidupan pernikahan mempunyai kedudukan dan tanggung jawabnya. Cocok dengan penghasilannya suami menanggung nafkah, kiswah, tempat kediaman untuk isteri, bayaran rumah tangga, bayaran perawatan serta bayaran penyembuhan untuk isteri serta anak dan bayaran pembelajaran untuk anak.
Begitu juga seseorang isteri mempunyai kedudukan dan tanggung jawabnya dalam melaksanakan kehidupan pernikahan, seseorang isteri harus berbakti lahir serta batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum.
Kemudian bagaimana seorang isteri dapat dikatakan Nusyuz?
Dalam perceraian suami-isteri yang beragama islam ada istilah yang disebut dengan Nusyuz. Nusyuz, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti perbuatan tidak taat dan membangkang seorang isteri terhadap suami tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum.
Apabila kita menarik definisi dari Kitab Al-fiqhul Islam Wa Adillah, Nusyuz adalah isteri mengingkari (maksiat) terhadap kewajiban pada suami, juga perkara yang membuat salah satu dari pasangan suami-isteri benci dan pergi dari rumah tanpa izin suami bukan untuk mencari keadilan kepada hakim.
Sedangkan menurut Pasal 84 Kompilasi Hukum Islam, seorang isteri dapat dikatakan nusyuz apabila tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban kecuali dengan alasan yang sah.
Mengutip Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Khuwaitiyyah bab Nusyuz, Maktabah Syamilah, Ulama Syafiiyyah memberikan tanda-tanda Nusyuz, yang diantaranya adalah:
Menutup pintu rumah (agar suami tidak masuk);
- Melarang suami membuka pintu,
- Mengunci suami di dalam rumah agar tidak bisa keluar;
- Tidak mau bersenang-senang dengan suami pada saat tidak ada udzur, semisal haid, nifas atau isteri merasa kesakitan;
- Ikut suami dalam safar (perjalanan) tanpa seizin suami dan dan suami melarangnya.
Kemudian, menurut Ulama Maliki, Nusyuz keluarnya istri dari garis ketaatan yang ditetapkan, tidak bergaul dengan suaminya, pergi tidak izin suami dahulu karena dia tahu bahwa suami tidak akan mengizinkannya. Dalam bahasa sehari-hari, Nusyuz adalah perilaku durhaka seorang isteri terhadap suami. Tentu, dalam proses perceraian Nusyuz ini harus dibuktikan di muka pengadilan dengan menghadirkan saksi-saksi dan/atau bukti-bukti.
Masing-masing diri suami atau isteri berhak atas harta gono-gini yang diperoleh selama perkawinan. dasar hukum yang mengatur besaran pembagian atas harta gono-gini adalah Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Dalam pasal tersebut disebutkan janda atau duda yang bercerai, masing-masing berhak atas ½ (seperdua) dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Maka, pembagian harta gono-gini apabila merunut pada Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, duda maupun janda mendapatkan bagian yang sama (bagi rata) atas harta gono-gini yang diperoleh selama kehidupan perkawinan berlangsung. Namun apabila seorang isteri telah melakukan Nusyuz atau durhaka dan tidak melakukan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang isteri, apakah pembagian haknya akan tetap sama?
Study kasus pada 2 literatur Judex Facti lingkup Peradilan Agama:
- Putusan Banding Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, perkara cerai gugat Nomor Perkara 110/Pdt.G/2018/PTA.JK yang menjatuhka putusan pembagian harta gono-gini sebesar ¾ (tiga perempat) bagi duda dan ¼ (seperempat) bagi janda;
- Putusan Pengadilan Agama Bandung, perkara cerai gugat Nomor Perkara 0700/Pdt.G/2015/ PA.Badg, Majelis Hakim memutuskan pembagian harta bersama tersebut dengan persentase masing-masing, yaitu 60% untuk duda dan 40% untuk janda.
Hakim sebagai wali tuhan di dunia dalam memutus sebuah perkara wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat untuk mencapai adanya kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum di masyarakat, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dasar pertimbangan kedua putusan tersebut di atas adalah kontribusi suami-isteri dalam suatu perkawinan menentukan besaran hak atas pembagian harta gono-gini. Dalam teori keadilan distributif yang dicetuskan oleh Aristoteles disebutkan mengenai pemberian bagian kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau kontribusinya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis simpulkan, hakim dalam memutus perkara pembagian harta gono-gini tidak selalu masing-masing ½ (seperdua) untuk janda-duda, meskipun secara normatif Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam mengatur demikian. Apabila seorang isteri terbukti Nusyuz di muka pengadilan, maka hal tersebut dapat menjadikan pertimbangan hakim yang mengakibatkan hak isteri atas pembagian harta gono-gini lebih kecil dibandingkan suami.
Pembagian harta gono-gini merupakan perkara yang bersifat kasuistis, induktif, kontekstual dan empiris, oleh sebab itu konteks sosio-historis pada setiap perkara akan berbeda-beda.
Oleh: Nia Juniawati, S.H