Fikroh.com – Di negeri kita masih sering kita jumpai tradisi memberi gelar orang tidak pada tempatnya.
Bukan ustaz dipanggil ustaz
Bukan kiai dipanggil kiai
Bukan ulama disebut ulama
Bukan haji dipanggil haji
Bukan profesor dipanggil profesor
Dan sebagainya
Ini keliru dan tidak boleh. Yang menggelari salah, yang diam ketika diberi gelar dan tidak menolak juga keliru.
Alasan ketidak bolehannya minimal dua,
Pertama: Itu tergolong dusta
Kedua: Itu tergolong tasyabbu‘ yang dicela Rasulullah ﷺ
Dikatakan tergolong dusta karena definsi dusta adalah al-ikhbār al-mukhālif lil wāqi‘ (memberikan informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan).
Jika faktanya bukan profesor, lalu disebut profesor (baik dengan alasan akrab-akraban atau alasan lainnya), maka itu adalah kedustaan, karena faktanya bukan profesor. Tidak boleh juga dibiasakan dengan alasan mendoakan, karena memanggil bukan berdoa, menyebut bukan berdoa, dan menggelari juga bukan berdoa. Faktanya tradisi tersebut akan mengacaukan mana yang profesor asli dan yang abal-abal. Otoritas keilmuan juga kacau dengan tradisi seperti ini. Umat bisa tersesatkan jika ingin mendapatkan pencerahan dari seorang profesor yang asli.
Jika faktanya bukan ulama, lalu disebut ulama (baik dengan alasan akrab-akraban atau alasan lainnya), maka itu adalah kedustaan, karena faktanya bukan ulama. Tidak boleh juga dibiasakan dengan alasan mendoakan, karena memanggil bukan berdoa, menyebut bukan berdoa, dan menggelari juga bukan berdoa. Faktanya tradisi tersebut akan mengacaukan mana yang ulama asli dan yang abal-abal. Otoritas keilmuan juga kacau dengan tradisi seperti ini. Umat bisa tersesatkan jika ingin mendapatkan pencerahan dari seorang ulama yang asli.
Sama dengan kasus haji. Jika memang belum haji ya jangan dipanggil haji dan jangan diam saja ketika dipanggil haji.
Al-Syabromallisī berkata,
وَقَعَ السُّؤَالُ عَمَّا يَقَعُ كَثِيرًا فِي مُخَاطَبَاتِ النَّاسِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ مِنْ قَوْلِهِمْ لِمَنْ لَمْ يَحُجَّ يَا حَاجَّ فُلَانٍ تَعْظِيمًا لَهُ هَلْ هُوَ حَرَامٌ أَوْ لَا؟ وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الظَّاهِرَ الْحُرْمَةُ لِأَنَّهُ كَذَبَ، إنَّ مَعْنَى يَا حَاجُّ: يَامَنَ أَتَى بِالنُّسُكِ عَلَى الْوَجْهِ الْمَخْصُوصِ. (نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج (3/ 242)
Artinya, “Pertanyaan kasus yang sering terjadi dalam percakapan masyarakat satu sama lain adalah panggilan mereka terhadap orang yang belum haji dengan panggilan “wahai haji Fulan” sebagai bentuk penghormatan. Apakah yang seperti itu haram ataukah tidak? Jawabannya adalah zahirnya haram karena itu adalah kedustaan. Pasalnya, makna “wahai pak haji” adalah “wahai orang yang telah melaksanakan semua manasik dengan cara tertentu”
Kecuali ada bahasa-bahasa khusus yang secara lugawī ataupun secara tradisi/urf bisa dipertanggungjawabkan dan tidak tergolong kedustaan. Misalnya panggilan ustaz untuk pengajar TPQ. Ini tidak masalah, karena makna ustaz secara bahasa dan tradisi adalah guru agama yang mencakup guru TPQ. Meskipun di dunia akademisi Arab, gelar ustaz bermakna profesor.
Adapun tentang alasan kedua, Rasulullah ﷺ melarang tasyabbu‘ bimā lam yu‘ṭā (berbangga-bangga dengan sesuatu yang tidak dimiliki).
Ajaran Rasulullah ﷺ itu muncul berangkat dari adalah kasus seorang wanita yang dipoligami di zaman Nabi ﷺ . Begini ceritanya dalam hadis,
عَنْ أَسْمَاءَ، أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي ضَرَّةً، فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ إِنْ تَشَبَّعْتُ مِنْ زَوْجِي غَيْرَ الَّذِي يُعْطِينِي؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «المُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ» صحيح البخاري (7/ 35)
Artinya, dari Asma` bahwa seorang wanita bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki madu (isteri lain dari suaminya), karena itu apakah aku akan mendapat dosa bila aku membangga-banggakan dari suamiku dengan suatu hal yang tak diberikannya kepadaku?” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Seorang yang membangga-banggakan dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya adalah seperti halnya seorang yang memakai dua pakaian kepalsuan.”
Maksud hadis di atas begini,
Misalnya ada seorang wanita yang cerita membanggakan diri kepada madunya dengan kalimat ini,
“Mbak, aku kemarin loh dibelikan suamiku baju bagus. Harganya 3 juta”.
Tujuan ucapan itu adalah untuk menampakkan kelebihan kepada madunya, supaya madunya tahu bahwa dirinya lebih istimewa lalu bangga dan membuat madunya dongkol.
Nah, ini adalah contoh tasyabbu‘ bimā lam yu‘ṭā (berbangga-bangga dengan sesuatu yang tidak dimiliki). Kemungkaran ini juga mengandung unsur dusta, menipu dan fakhr.
Di masyarakat banyak sekali kasus tasyabbu‘ bimā lam yu‘ṭā. Misalnya, orang awam memakai pakaian ulama agar disangka ulama, padahal jahil.
Pakai perhiasan sepuhan emas biar disangka kaya, padahal kuningan sepuhan.
Pakai baju bagus biar disangka sosilita padahal pinjaman.
Pakai mobil biar disangka sukses, padahal aslinya miskin dan semua fasilitasnya hasil utang.
Al-Nawawī berkata,
. وَلابِسُ ثَوْبَي زُورٍ» أيْ: ذِي زُورٍ، وَهُوَ الَّذِي يُزَوِّرُ عَلَى النَّاسِ، بِأنْ يَتَزَيَّى بِزِيِّ أهْلِ الزُّهْدِ أَو العِلْمِ أَو الثَّرْوَةِ، لِيَغْتَرَّ بِهِ النَّاسُ وَلَيْسَ هُوَ بِتِلْكَ الصِّفَةِ (رياض الصالحين ت الفحل (ص: 435)
Artinya, “Makna memakai dua pakaian kepalsuan adalah dia itu pemilik kepalsuan, yakni orang yang memalsukan sesuatu untuk menipu manusia. Misalnya memakai pakaian ahli zuhud atau pakaian ahli ilmu atau pakaian orang kaya untuk menipu orang-orang padahal dia tidak memiliki kualifikasi seperti itu”
Adapun para ulama yang dipanggil imam lalu diam, atau dipanggil syaikh lalu diam, atau dipanggil ‘allāmah lalu diam, atau dipanggil syaikhul Islam lalu diam, atau dipanggil ustaz atau diam, atau dipanggil kyai lalu diam, maka itu dikarenakan mereka tahu berdasarkan ilmu bahwa panggilan kehormatan umat kepada beliau itu adalah bentuk husnuzan umat kepada mereka dan secara keilmuan memang bisa dipertanggungjawabkan dan tidak tergolong dusta. Mereka juga mendiamkan agar umat tahu kepada siapa mereka harus mengambil ilmu agar tidak disesatkan orang-orang jahil dalam memahami agama Allah.
Walaupun demikian, mereka tetap meyakini bahwa husnuzan dari manusia itu tidak menjamin rida Allah. Jadi mereka hanya memahaminya sebagai bentuk husnuzan dalam rangka kemaslahatan dakwah dan menjaga din, bukan meyakini itu adalah jaminan bahwa Allah pasti rida sampai akhir hayat. Oleh karena itu, kehidupan mereka sampai akhir hayat tetap berhati-hati dan senantiasa takut terhadap rencana Allah.
Tidak tercela mendiamkan husnuzan umat terhadap hal terebut dan tidak menjadi keharusan menolak panggilan kehormatan tersebut, sebab mendiamkannya tidak identik dengan kesombongan sebagaimana menolaknya tidak identik dengan kerendah-hatian.
Yang tercela adalah jika bukan ulama, lalu diam dengan panggilan kehormatan ulama. Orang seperti itu yang tergolong rida dengan kedustaan dan termasuk tasyabbu‘ bimā lam yu‘ṭā (berbangga-bangga dengan sesuatu yang tidak dimiliki).
Masalah gelar ini bisa kita ambil contoh dari Rasulullah ﷺ .
Rasulullah ﷺ membenarkan saat dipanggil “Ya Rasulullah” sementara di waktu yang lain beliau tetap menjawab ramah jika dipanggil “Ya Muhammad!”
Rasulullah ﷺ mendiamkan dipanggil “Ya Rasulullah”, karena faktanya memang beliau utusan Allah sehingga tidak ada sama sekali unsur dusta. Rasulullah ﷺ tidak menolak dipanggil demikian dengan alasan agar tawaduk atau kuatir masuk sombong misalnya.
Tetapi, Rasulullah ﷺ juga tetap menjawab saat dipanggil “Ya Muhammad” karena memang fakta nama beliau “Muhammad” dan ini adalah cerminan sikap tawaduk yang tidak sakit hati ketika gelarnya tidak dimunculkan.
Jadi, stop memberikan gelar tidak pada tempatnya, dan stop menerima gelar yang itu bukan kualitas Anda.
Oleh : Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)