Fatwapedia.com – Memiliki istri sholehah tentu dambaan setiap lelaki. Impian membina rumah tangga dengan pendamping wanita setia lagi solehah. Sebuah anugerah terindah bagi setiap suami. Namun apa jadinya jika kenyataannya justru sebaliknya. Istri yang diidambkan jauh dari harapan dan justru berakhlak Buruk? Apa sikap kita? Berikut ini nasehat berharga bagi para suami yang ditakdirkan memiliki istri buruk akhlaknya Oleh Ustadz Adni Kurniawan.
Sebagai tambahan dan sekaligus pembanding kisah di bawah, diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari, bahwa Nabi (shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda,
ثَلَاثَةٌ يَدْعُونَ اللَّهَ فَلَا يُسْتَجَابُ لَهُمْ: رَجُلٌ كَانَتْ تَحْتَهُ امْرَأَةٌ سَيِّئَةَ الْخُلُقِ فَلَمْ يُطَلِّقْهَا
“Ada tiga golongan yang berdoa kepada Allah, namun tidak dikabulkan: (1) seorang pria yang beristrikan seorang wanita yang buruk akhlaknya namun ia tidak menceraikannya….” [HR al-Hakim dalam no. 3181 dan lain-lain. Sanadnya dinilai valid oleh al-Albani dalam al-Shahihah no. 1805 dan Shahih al-Jami’ no. 3075.]
Al-‘Allamah Al-Munawi menjelaskan hadis ini,
فإذا دعى عليها لا يستجيب له لأنه المعذب نفسه بمعاشرتها وهو في سعة من فراقها
“Jika pria itu mendoakan keburukan untuk istrinya maka doanya tidak dikabulkan. Sebab pria itu sendiri yang mengazab dirinya dengan tetap membersamai sang istri. Sedangkan ia (punya pilihan yang) lapang untuk berpisah dengan wanita tersebut.” [Ref.: Faidhul-Qadir, vol. III, hlm. 336.]
Al-‘Allamah al-Shan’ani menjelaskan,
فإذا آذته سأل الله أن يفرج عنه منها فإنه لا يجاب لأنه تعالى قد شرع له ما يخلصه منها ولذا قال: (فلم يطلقها) وفيه أنه تعالى لا يبغض طلاق سيئة العِشْرة
“Ketika wanita itu menyakiti suaminya lalu suaminya berdoa agar Allah memberikan kelapangan untuknya dari perbuatan istrinya, maka doanya tidak dikabulkan. Sebab Allah telah mensyariatkan perceraian untuk melepaskan dirinya dari istri tersebut. Karena itulah Nabi bersabda, ‘namun tidak menceraikannya.’ Hadis ini juga mengandung faidah bahwa menceraikan wanita yang memiliki penyikapan yang buruk itu bukan termasuk perkara yang dibenci oleh Allah Ta’ala.” [Ref.: al-Tanwir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, vol. V, hlm. 241.]
Faidah ini saya sampaikan setelah adanya pertanyaan dan obrolan dari salah satu grup WA. Semoga bermanfaat. Allahu a’lam.
Mempertahankan Isteri Durhaka
Adalah seorang ulama bernama Abū Bakr bin al-Labbād al-Māliki merupakan ulama besar dalam Mazhab Maliki, seorang yang terkenal dengan zuhud dan wara’ serta seorang yang mustajab doanya. Beliau adalah guru dari Imam Ibnu Abī Zaid al-Qairawāni.
Abu Bakr, sang ulama besar ini memiliki isteri yang lisannya pedas kepada suaminya. Sampai-sampai di hadapan murid-murid suaminya dia umpat suaminya. “Wahai lelaki pezina”, demikian umpatannya yang didengar jelas oleh para murid. Akhirnya setelah para murid mengetahui bahwa umpatan ini hanyalah fitnah semata mereka memberi saran kepada sang guru untuk menceraikan isterinya. Akan tetapi respon beliau dengan saran ini sungguh luar biasa
أخشى إن طلقتها، أن يبتلي بها مسلم. ولعل الله دفع عني بمقاساتها بلاءً عظيماً. فقال: بل حفظتها في والدها، فإني خطبت الى جماعة فردّوني، وزوجني هو لله تعالى. وكان يفعل معي جميلاً. أفتكون مكافأته طلاقها؟ وكان يقول: لكل مؤمن محنة. وهي محنتي.
“Aku khawatir jika kuceraikan dirinya, dia akan menjadi bencana bagi suami barunya. Semoga Allah selamatkan diriku dari bencana besar karena aku bersabar menghadapi gangguannya. Aku mempertahankannya demi ayahnya. Dahulu berulang kali aku mencoba melamar anak gadis orang namun lamaranku selalu ditolak sampai akhirnya ayah dari isteriku ini menikahkanku dengan puterinya semata-mata karena Allah. Selama pernikahanku dengannya ayah mertua memperlakukanku dengan baik. Akankah kubalas kebaikan ayah mertua dengan menceraikan putrinya??. Setiap mukmin itu memiliki ujian. Isteriku adalah ujianku”. (Al-Madārik wa Taqrīb al-Masālik karya al-Qāḍi al-‘Iyāḍ al-Māliki 5/289)
Dalam hidup ini setiap orang memiliki ujian khas, ada yang diuji dengan anak yang nakal, ada yang diuji dengan isteri durhaka, ada yang diuji dengan suami yang zalim dan tidak peka, ada yang diuji dengan kekurangan harta dll. Hanya saja ada orang yang suka mengeluhkan ujian hidupnya di medsos dan lainnya dan ada yang nampaknya baik-baik saja karena tidak suka mengeluhkan ujian hidupnya kepada siapa-siapa.
Jejak kesalihan dan kebaikan orang tua itu sungguh terasa pada anak keturunannya. Seorang isteri durhaka dan hobi menyakiti suami dipertahankan mati-matian oleh seorang suami karena jejak kebaikan orang tuanya.
Seorang laki-laki yang memiliki pengalaman mengenaskan karena berulang kali ditolak lamarannya hendaknya menyadari betapa baiknya isteri dan mertuanya saat ini. Orang yang berakal sehat hanya akan membalas orang yang berbuat baik kepada dirinya dengan kebaikan.
Di antara alasan tidak menceraikan isteri durhaka adalah tidak menginginkan keburukan terjadi kepada orang lain. Abū Bakr bin al-Labbād beralasan tidak mau menceraikan isteri yang suka menyakitinya dengan alasan tidak ingin ada laki-laki yang menderita gara-gara menjadi suami baru dari mantan isterinya. Tidak menginginkan terjadinya keburukan terjadi pada seorang muslim adalah di antara tanda mukmin yang memiliki iman yang berkualitas.
Rumah tangga seorang ulama besar itu tidak meski bahagia bukan karena beliau tidak maksimal dalam mendidik isterinya namun karena itulah ujian hidup yang Allah berikan kepadanya. Oleh karena itu perilaku buruk isteri itu belum tentu menggambarkan ketidakmampuan suami dalam mendidik isteri.
Abū Bakr ini dinilai sebagai orang yang mustajab doanya. Artinya sering kali apa yang beliau mintakan kepada Allah itu langsung Allah kabulkan. Hal ini di samping karena ilmu dan keshalihan yang beliau miliki boleh jadi karena kesabarannya dalam menghadapi lisan pedas isterinya.
Semoga Allah karuniakan kepada semua pembaca tulisannya ini kebahagiaan hidup rumah tangga bersama orang yang benar-benar mencintainya setulus hati. Aamiin.
Sumber: Ust Adni Kurniawan dan Dr. Aris Munandar, SS, MPI (Pondok Pesantren Hamalatul Qur’an Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta)
NB:
- Mohon dishare sebanyak-banyaknya. Moga Allahﷻ catat sebagai amal jariyah.
- Dilarang mengubah teks tulisan dan yang berkaitan dengannya tanpa izin dari penulis.