Fatwapedia.com – Diantara bentuk penghormatan islam terhadap wanita adalah adanya perintah menutup aurat. Banyak dalil baik dari Al Qur’an maupun hadits yang mulia tentang perintah dan kewajiban wanita menutup aurat.
Ada yang mendefinisikan jilbab dengan pakaian yang dipakai wanita dan menutup seluruh tubuhnya, termasuk wajah. Sebagian lagi mengatakan jilbab adalah pakaian yang besar, longgar, menyatu antara bagian atas dan bawah, serta menutupi seluruh tubuh. Yang lain lagi mengatakan jilbab adalah cadar yang menutupi wajah wanita (kecuali pada bagian mata).
Imam Nawawi pun punya difinisi sendiri tentang jilbab. Beliau katakan:
اَلْجِلْبَابُ بِكَسْر الْجِيمِ هُوَ الْمُلَاءَةُ الَّتِي تَلْتَحِفُ بهَا الْمَرْأَة فَوق ثِيَابهَا هَذَا هُوَ الصَّحِيح فِي مَعْنَاهُ
“Jilbab -dengan diberi harakat kasrah pada huruf jim- adalah mula’ah, yakni (kain panjang yang tidak berjahit) yang digunakan wanita untuk berselimut (menutupi) di atas baju yang dikenakannya. Ini adalah makna jilbab yang benar.” (Tahriru Alfazh at-Tanbih, h. 57).
Perbedaan pengertian tentang jilbab itu memunculkan adanya perbedaan hukum mengenakannya.
Kewajiban Menutup Aurat
Satu hal yang disepakati oleh seluruh ulama adalah kewajiban menutup aurat, baik bagi kaum laki-laki maupun kaum wanita. Kewajiban menutup aurat ini juga bukan hanya pada saat shalat, namun juga saat berhadapan dengan yang bukan mahram.
Karena di sini kita membahas tentang hukum berjilbab, maka sorotannya akan lebih terarah kepada persoalan kaum wanita.
Ada banyak ayat di dalam al-Qur’an yang menjelaskan kewajiban untuk menutup aurat bagi kaum wanita.
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ وَلاَ يُبْدِيْنَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِيْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِيْ أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُولِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan khumur ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (QS. an-Nur : 31)
Kandungan ayat tersebut:
Perintah untuk menahan padangan dari yang diharamkan Allah Swt.
Perintah untuk memelihara kemaluan dari perbuatan yang diharamkan Allah Swt.
Larangan untuk menampakkan perhiasan (aurat) selain yang biasa tampak.
Perintah untuk menutupkan khumur hingga ke dada. Khumur adalah jamak dari khimar, yakni kain penutup kepala. Hal ini mengisyaratkan bahwa kepala dan dada termasuk aurat yang wajib ditutup. Dengan demikian semestinya jika berjilbab (dalam pengertian yang biasa kita pahami), maka jilbab itu pun harus menjuntai ke bawah hingga menutupi dada.
Mahram dan orang-orang yang dikecualikan bisa melihat perhiasan wanita (insya Allah akan dijelaskan batasan aurat wanita di hadapan mahram dan bukan mahram)
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ الَّتِيْ لاَ يَرْجُوْنَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِيْنَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. an-Nur : 60)
Kandungan ayat tersebut:
Bagi wanita yang sudah tua, ada kelonggaran bagi mereka dalam persoalan aurat. Insya Allah akan ada penjelasan khusus tentang ini.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (QS. al-Ahzab : 59)
Kandungan ayat tersebut:
Allah Swt memerintahkan kepada Rasul-Nya agar memerintahkan kepada wanita yang beriman, khususnya istri-istri dan anak-anak perempuan beliau (mengingat kemuliaan yang mereka miliki sebagai ahli bait Rasulullah) untuk menjulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka agar mereka berbeda dengan wanita-wanita jahiliyah dan budak-budak wanita.
Rasulullah Saw pernah menegur Asma binti Abu Bakar ra ketika ia datang ke rumah Nabi Saw dengan mengenakan pakaian yang agak tipis. Sambil memalingkan pandangannya, Rasulullah Saw berkata:
يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا
“Wahai Asma, sesungguhnya wanita apabila sudah baligh, maka tidak boleh nampak dari anggota badannya kecuali ini dan ini (beliau mengisyaratkan wajah dan telapak tangan).” (HR Abu Dawud dan al-Baihaqi)
Ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi Saw yang telah kami sebutkan di atas sangat jelas memerintahkan pada kaum wanita agar mengenakan pakaian yang menutup aurat. Masalah apakah sebutan nama pakaian itu, mungkin jilbab, kerudung, khimar, dan sebagainya; itu hanyalah istilah. Apa pun namanya yang pasti seorang perempuan harus memakai pakaian yang dapat menutup auratnya.
Syarat Pakaian Yang Menutup Aurat
Pada dasarnya seluruh bahan, model, dan bentuk pakaian boleh dipakai asalkan memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan.
2. Tidak tipis dan transparan.
3. Longgar dan tidak memperlihatkan lekuk dan bentuk tubuh (tidak ketat).
4. Bukan pakaian laki-laki atau menyerupai pakaian laki-laki.
5. Tidak berwarna atau bermotif yang terlalu menyolok sehingga menarik perhatian kaum laki-laki.
Batasa Aurat Wanita Bagi Mahramnya
Mayoritas ulama fiqih mengatakan bahwa batasan aurat bagi seorang wanita dengan laki-laki yang bukan mahramnya adalah wajah dan kedua telapak tangan. Sebab wanita memiliki kebutuhan untuk bermuamalah dengan kaum laki-laki dalam kehidupannya sehari-hari, seperti untuk mengambil dan memberi sesuatu dengan tangannya.
Namun demikian ada pula ulama yang berbeda pendapat. Misalnya Imam Abu Hanifah. Beliau mengatakan bahwa telapak kaki hingga mati kaki seorang wanita tidak termasuk aurat yang wajib ditutup.
Lalu, bagaimana dengan batasan aurat seorang wanita bagi mahramnya?
Yang dimaksud mahram di sini adalah mahram mu’abbad, yakni laki-laki yang tidak boleh menikahi wanita itu untuk selama-lamanya. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh hubungan nasab (ayahnya, anak laki-lakinya, saudara lak-lakinya, dan sebagainya), hubungan mushaharah, yakni karena terjadinya pernikahan (bapak mertua, anak laki-laki dari suaminya, menantu laki-laki, dan lain-lain), atau karena hubungan sepersusuan (saudara sepersusuan, atau suami dari ibu yang menyusui).
Berikut pendapat ulama dalam persoalan ini:
Madzhab Al-Hanafiah
Madzhab ini mengatakan bahwa batasan aurat seorang wanita dengan mahramnya adalah anggota tubuh yang ada di antara pusar dan lutut, punggungnya dan perutnya. Artinya, selain anggota tubuh yang disebutkan itu, maka boleh terlihat bagi mahram, dengan catatan aman dari fitnah dan tidak disertai syahwat.
Dalilnya:
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ
“Dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka…” (QS. an-Nur : 31)
‘Jangan menampakkan perhiasannya’, maksudnya adalah larangan untuk menampakkan anggota tubuh yang menjadi objek yang biasa dipakaikan perhiasan padanya. Sebab, melihat perhiasan itu sendiri hukumnya mubah secara mutlak.
Oleh karena itu, kepala boleh dilihat oleh mahram, karena ia anggota tubuh untuk dipakaikan mahkota, leher dan dada untuk kalung, telinga untuk anting, pergelangan tangan untuk gelang, pergelangan kaki untuk gelang kaki, jari untuk cincin, dan lain-lain. Berbeda dengan perut, punggung dan paha yang tidak lazim dipakaikan perhiasan.
Madzhab Malikiyah dan Al-Hanabilah
Menurut ulama dari madzhab Maliki dan pendapat resmi dari kalangan madzhab Hanbali, anggota tubuh wanita yang boleh terlihat oleh mahramnya hanya wajah, kepala, dua tangan dan dua kaki. Maka, haram baginya menampakkan dada, payudara, dan anggota tubuh lainnya di hadapan mahramnya. Dan haram pula bagi ayah, anak laki-lakinya dan mahramnya yang lain untuk melihat aurat dirinya selain empat anggota tubuh tersebut, meskipun tanpa syahwat.
Sedangkan Ibnu Qudamah dari madzhab Hanbali sedikit berbeda dengan pendapat resmi madzhabnya. Menurutnya, batasan aurat bagi wanita dengan mahramnya adalah seperti aurat antara laki-laki dengan laki-laki, dan wanita dengan wanita, yakni anggota tubuh yang ada antara pusar dan lutut.
Madzhab Asy-Syafi’iyyah
Mayoritas ulama dalam madzhab Syafi’i berpendapat bahwa aurat wanita yang boleh terlihat oleh mahramnya adalah anggota tubuhnya selain yang ada di antara pusar dan lutut.
Walaupun ada sebagian lagi yang mengatakan bahwa anggota tubuh wanita yang boleh terlihat oleh mahramnya adalah anggota tubuh yang biasa ia tampakkan saat ia beraktifitas di dalam rumah. Seperti kepala, leher, dan tangan hingga siku, juga kaki hingga lutut. Dan anggota-anggota tubuh tersebut juga menjadi batasan aurat yang boleh dilihat wanita terhadap aurat mahramnya.
Demikian beberapa pandangan dari empat madzhab besar yang ada. Oleh karena perbedaan yang ada ini, maka para muslimah di berbagai negara mungkin akan sedikit berbeda dalam berpenampilan.
Jika kita ke Arab Saudi misalnya, akan kita dapati para muslimahnya menutup seluruh tubuhnya tanpa kecuali, saat mereka keluar rumah. Sebab masyarakat di negeri ini kebanyakan lebih condong bermadzhab Hambali. Begitupula saat mereka beraktifitas di dalam rumah, tak banyak menampakkan anggota tubuhnya, kecuali kepala, leher, tangan dan kaki. Sebab –dalam madzhab ini- hanya bagian tubuh inilah yang boleh tampak oleh mahramnya.
Begitu pula jika kita berkujung ke Asia Selatan, seperti India dan Pakistan. Maka disana akan ditemui bahwa para muslimahnya kebanyakan tidak menutup kaki hingga mata kakinya, bahkan saat menunaikan shalat. Sebab mayoritas masyarakat disana cenderung bermadzhab Hanafi.
Lain lagi dengan kita yang tinggal di Indonesia. Hampir semua muslimahnya tidak menutup wajah dan telapak tangannya, namun tetap banyak yang mengenakan kaos kaki agar bagian kakinya tertutupi dengan baik.
Begitupula saat para wanita kita beraktifitas di dalam rumah bersama mahramnya, banyak yang tetap menampakkan sebagian punggung dan lengan atasnya. Hal ini disebabkan masyarakatnya lebih banyak yang condong pada madzhab Syafi’i.
Batas Aurat Wanita Bagi Non Mahram
Tentang bagian anggota tubuh wanita yang wajib ditutupi di hadapan laki-laki lain (non mahram), para ulama madzhab sepakat semua badannya adalah aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Dasarnya adalah QS. an-Nur ayat 31.
Batasan Aurat Bagi Wanita Tua
Allah Swt berfirman:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ الَّتِيْ لاَ يَرْجُوْنَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِيْنَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. an-Nur : 60)
Ayat di atas menunjukkan bahwa wanita-wanita tua yang tidak berkeinginan untuk kawin lagi karena umurnya sudah tua, maka mereka boleh menampakkan wajah mereka, sebagian rambutnya, lengannya, dan seterusnya yang biasa ditampakkan oleh wanita-wanita yang sudah berumur tua. Syaratnya, maksudnya menampakkan itu bukan untuk pamer, tapi karena adanya kebutuhan. Namun menutupinya adalah lebih baik bagi mereka.
Yang perlu diketahui semua itu bisa berubah menjadi tidak boleh jika takut menimbulkan sesuatu yang diharamkan, karena wanita sekalipun sudah sangat tua, ia tetap bisa dipergunakan untuk melampiaskan hawan nafsu. Toleransi bagi wanita tua karena muncul anggapan bahwa mereka sama dengan wanita kecil yang tidak memiliki syahwat dan kenikmatan. Bila diperkirakan pasti terjadi rangsangan syahwat dan kenikmatan, maka hukumnya sama dengan wanita remaja.
Yang Boleh Dilihat dari Wanita yang Hendak Dipinang
Seorang muslim yang hendak menikahi seorang wanita diizinkan untuk melihat wanita yang akan dinikahinya itu.
Abu Hurairah ra bercerita, “Aku sedang berada di rumah Nabi Saw saat seorang laki-laki datang memberitahu bahwa ia akan menikah dengan seorang perempuan dari golongan Anshar. Nabi kemudian bertanya, “Apakah engkau sudah melihatnya?” Laki-laki itu menjawab, “Belum.” Nabi Saw bersabda, “Pergilah dan lihatlah dia karena dalam mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu.” (HR Muslim)
Mughirah bin Syu’bah ra meriwayatkan bahwa dia pernah meminang seorang wanita. Kemudian Nabi Saw mengatakan kepadanya, “Lihatlah dia! Karena melihat itu lebih bisa menjamin untuk mengekalkan kamu berdua.” Kemudian Mughirah pergi menghadap orangtua si wanita itu dan menyampaikan apa yang diperintahkan Nabi Saw tersebut. Si wanita itu mendengar dari dalam biliknya, kemudian ia berkata, “Jika Rasulullah Saw menyuruhmu untuk melihatku, maka lihatlah.” Kata Mughirah, “Aku pun melihatnya kemudian menikahinya.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, Turmudzi dan Ad-Darimi)
Dalam hadits-hadits di atas Rasulullah Saw tidak menentukan batas aurat yang boleh dilihat saat hendak meminang seorang wanita. Oleh karena itu, sebagian ulama ada yang berpendapat, yang boleh dilihat adalah wajah dan kedua telapak tangan, dengan catatan saat melihat itu tidak diserta syahwat.
Sebagian lagi berpendapat jika niatnya adalah dalam rangka untuk meminang selayaknya ia boleh melihat lebih banyak dari hal-hal yang biasa. Yang dijadikan dalil adalah sabda Rasulullah Saw:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
“Dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu hendak meminang seorang wanita, kemudia ia mampu melihat sebagian apa yang kiranya dapat menarik untuk menikahinya, maka lakukanlah.” (HR Abu Dawud)
Sementara ulama lainnya ada yang sangat ekstrim dalam memberikan kebebasan batas yang boleh dilihat dan sementara ada juga yag ekstrim dengan mempersempit batasan dan bersikap keras. Namun yang lebih baik adalah yang di tengah-tengah.
Oleh karena itu, sebagian ahli tahqiq memberikan batas bahwa seorang laki-laki pada zaman kita sekarang ini boleh melihat perempuan yang hendak dipinang dengan berpakaian yang boleh dilihat oleh ayah dan mahramnya yang lain. Wallahu a’lam.
Demikian penjelasan Syaikh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya al Halal wa al Haram fi al Islam.