Jima Siang Hari Bulan Ramadhan, Apakah Istri juga Wajib Kafarat?

Jima Siang Hari Bulan Ramadhan, Apakah Istri juga Wajib Kafarat?


Fikroh.com – Manusia karena dorongan nafsu dan bisikan setan bisa saja melakukan hubungan intim di siang hari bulan ramadhan. Jima suami istri pada dasarnya sah dan boleh. Namun, saat bulan ramadhan melakukan jima di siang hari mendapat konsekuensi tersendiri berupa kafarat.

Kita sepakat orang yang paling bertanggung jawab untuk membayar kafarat adalah pihak laki-laki (suami) namun apakah perempuan juga menempati hukum yang sama, mengingat hubungan intim tentunya melibatkan dua belah pihak yakni suami istri. Apakah kewajiban kafarat berlaku juga untuk perempuan seperti halnya laki-laki?

Dalam Hadits riwayat Abu Hurairah -radhiyallahu `anhu- di atas, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan kafarat untuk laki-laki dan tidak menyebutkan perempuan. Karena itu, para ahli ilmu berbeda pendapat apakah perempuan yang disetubuhi suaminya diwajibkan kafarat atau tidak. Ada beberapa pendapat dalam masalah ini[1]:

Pertama: Kafarat tidak wajib bagi perempuan secara mutlak. 

Ini adalah pendapat madzhab syafi’i dan salah satu pendapat Ahmad. Kafarat hanya wajib satu kali untuk keduanya dan dilakukan oleh laki-laki dengan alasan sebagai berikut:

  • Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak memerintahkan perempuan untuk melaksanakan kafarat, padahal perbuatan itu dilakukan oleh ia dan suaminya. Jika Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wasallam- mewajibkan kafaratbagi perempuan, maka pastinya beliau akan menyebutnya dalam sabdanya.
  • Kafarat merupakan suatu kewajiban harta yang harus dibayar karena persetubuhan, maka yang wajib membayarnya adalah laki-laki seperti halnya mahar.

Kedua: Kafarat wajib bagi perempuan seperti halnya laki-laki. 

Ini adalah pendapat mayoritas ulama, di antaranya Imam Abu Hanifah, Imam Malik, salah satu pendapat Imam Syafi’i, dan riwayat terkuat Imam Ahmad. Tetapi mereka berbeda pendapat soal perempuan merdeka, budak perempuan, dan perempuan yang dipaksa. Alasan mereka adalah sebagai berikut:

  • Perempuan juga telah merusak puasa Ramadhan dengan bersetubuh, sehingga wajib kafarat baginya seperti laki-laki. Sungguh syariat telah menyamakan hukum antara manusia kecuali di beberapa tempat yang terdapat dalil yang mengkhususkannya. Jika ia terkena kewajiban mengganti karena ia telah membatalkan puasa dengan bersetubuh secara sengaja, maka ia juga terkena kewajiban kafarat, sama seperti laki-laki.
  • Sedangkan tidak adanya perintah kafarat dari Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk perempuan, maka ini hanyalah suatu hikayah. Terkadang perempuan membatalkan puasanya karena sakit, melakukan perjalanan, dipaksa, atau lupa kalau ia sedang berpuasa dan sebagainya.
  • Karena tidak ada perempuan yang meminta fatwa pada Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wasallam-, tidak seperti para lelaki yang selalu minta fatwa pada beliau. Dan pengakuan seorang suami kalau ia telah menyetubuhi istrinya tidak memberikan konsekuensi hukum pada sang istri jika istrinya tidak mengakuinya.
  • Kemungkinan sebab diamnya Nabi Muhammd -shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang hukum perempuan adalah dasar perempuan yang lemah.

Ketiga: Keduanya cukup melaksanakan satu kafarat saja kecuali kafarat yang dipakai adalah puasa, maka keduanya wajib melaksanakan puasa. 

Ini adalah pendapat madzhab Auza`iy.

Penulis berkata: Pendapat terkuat adalah pendapat mayoritas ulama. Sedangkan pendapat Imam Syafi’i tidak terlalu melebar dari pendapat mayoritas ulama. Allah Maha Tahu.

Catatan penting: Seorang perempuan yang dipaksa atau lupa atau tidak tahu hukum bersetubuh dengan suami saat puasa, maka tidak ada kewajiban mengganti dan kafaratmenurut pendapat terkuat. Begitu juga laki-laki yang lupa atau tidak tahu hukum perbuatan tersebut. Ini adalah madzhab Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad.[1]

Apakah Kewajiban Kafarat Harus Sesuai Dengan Urutan?

Mayoritas ulama[2] berpendapat wajibnya melaksanakan kafarat sesuai dengan urutannya. Tidak boleh memilih puasa dua bulan berturut-turut selama masih bisa membebaskan seorang budak. Dan tidak boleh juga memilih memberi makan enam puluh orang miskin selama masih mampu mengerjakan puasa dua bulan berturut-turut. Hal ini didasari oleh hadits Abu Hurairah -radhiyallahu `anhu- di atas.

Berbeda dengan madzhab Maliki yang mengatakan kafarat boleh dipilih, dalam arti boleh memilih puasa dua bulan berturut-turut walaupun masih mampu membebaskan seorang budak atau memilih memberi makan enam puluh orang miskin walau masih mampu berpuasa dua bulan berturut-turut. Pendapat mereka didasari oleh Hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah -radhiyallahu `anhu-:

أَنَّ رَجُلًا أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ ,فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلى الله عَلَيه وَسَلم أَنْ يُكَفِّرَ بِعِتْقِ رَقَبَةٍ، أَوْ صِيَامِ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ، أَوْ إِطْعَامِ سِتِّينَ مِسْكِينًا

“Ada seorang lelaki yang berbuka (membatalkan puasanya) di bulan Ramadhan. Maka Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan kafarat baginya dengan membebaskan seorang budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan enam puluh orang miskin.”[3]

Pemilik pedapat ini berkata: “Hadits riwayat Al-Bukhariy tidak menunjukkan wajibnya sesuai dengan urutan. Perintah seperti ini terkadang digunakan untuk sesuatu yang bisa dipilih. Ada kemungkinan, perintah Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk membebaskan seorang budak karena jalan terdekat menyelesaikan kafarat. Sebagian ulama lainnya berpendapat kewajiban sesuai dengan urutan adalah untuk mengambil yang lebih utama. Sedangkan adanya pilihan menunjukkan diperbolehkannya memilih salah satu yang disukai.

Mayoritas ulama lebih memilih cara tarjih, yaitu mengambil dalil yang dianggap terkuat. Mereka menilai riwayat yang mewajibkan sesuai dengan urutan lebih kuat daripada riwayat yang membolehkan adanya pilihan sesuka hati. Alasannya adalah perawi hadits yang mewajibkan sesuai dengan urutan lebih banyak daripada perawi hadits yang membolehkan adanya pilihan sesuka hati. Selain itu, hadits yang mewajibkan sesuai dengan urutan dianggap lebih berhati-hati karena dengan mengambil hadits ini sebagai dasar hukum telah mencukupi dua pendapat di atas. Wallahhu A’lam.

Apakah Kafarat harus dikerjakan berulang-kali karena bersetubuh berulang-kali?

1. Bagi siapa yang bersetubuh di siang bulan Ramadhan, kemudian mengerjakan kafarat, lalu ia bersetubuh lagi di hari lain, maka ulama bersepakat ia wajib mengerjakan kafarat lagi.

2. Bagi siapa yang bersetubuh berkali-kali dalam sehari, ulama juga bersepakat ia hanya wajib mengerjakan kafarat sekali.

3. Bagi siapa yang bersetubuh di siang bulan Ramadhan dan tidak mengerjakan kafarat, kemudian di lain hari ia bersetubuh lagi, maka ada dua pendapat:

Pertama : Wajib mengerjakan kafarat sejumlah hari dimana ia bersetubuh. Karena tiap hari dalam bulan Ramadhan merupakan ibadah tersendiri. Jika kafarat wajib dikerjakan sebanyak hari dimana ia bersetubuh, maka tidak akan tumpang tindih. Ini adalah pendapat Maliki, Syafi’i, dan beberapa ulama.

Kedua: Hanya wajib mengerjakan kafarat sekali. Selagi belum mengerjakan kafarat untuk persetubuhan yang pertama. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan pengikutnya, Auza`iy, dan Zuhri. Hukum ini dianalogikan dengan had.

Pendapat terkuat adalah pendapat pertama yang mengatakan wajibnya kafarat sejumlah hari dimana seseorang bersetubuh dengan pasangannya. Allah Maha Tahu.

Footnote:

[1]Fathul Qadir ,  II, h 336/  Al-Majmu’ ,  VI, h 370/ Kassyaful Qina’ ,  II, h 325/  Al-Inshaf  ,  III, h 313

[1]Al-Mughniy (3/27)

[2]Al-Mughniy:  III/h 344, Bidayatul Mujtahid:  I/h 451, Fathul Bariy:  IV/ h 198

[3] Hadits Shahih, Riwayat: Muslim no. 1111

[4]Bidayatul Mujtahid:  I/h 453, Al-Mughniy:  III/h 341, Al-Majmu’:  VI/h 370

Leave a Comment