Fatwapedia.com – Perkara wajib adalah perkara yang dituntut untuk dilakukan dengan tuntutan yang tegas, tidak boleh ditinggalkan. Meninggalkan kewajiban adalah perbuatan dosa dan layak mendapatkan sanksi. Namun, kadang suatu kewajiban bisa ditinggalkan karena kewajiban lain.
Kaidah fiqih menyatakan:
الواجب لا يترك إلا بواجب
(perkara wajib tidak boleh ditinggalkan, kecuali karena ada perkara wajib lainnya).
Dari kaidah ini, dipahami bahwa satu perkara wajib tidak boleh ditinggalkan karena perkara sunnah, apalagi sekadar mubah. Ia hanya boleh ditinggalkan karena perkara wajib yang lain.
Contoh penerapan kaidah:
1. Orang yang tidak punya pakaian untuk menutupi sebagian auratnya saat shalat, ia menutupi aurat tersebut dengan tangannya. Dan saat sujud, ia diberi pilihan antara menggunakan tangannya untuk menutup aurat atau meletakkannya di tempat sujud, karena keduanya sama-sama wajib.
2. Hukum potong tangan bagi pencuri. Seandainya hukuman tersebut tidak wajib, tentu haram hukumnya. Menjaga keutuhan anggota tubuh, termasuk tangan, wajib hukumnya. Demikian juga memotong tangan pencuri, wajib juga hukumnya. Dan meninggalkan kewajiban memelihara tangan hanya boleh dilakukan untuk menegakkan kewajiban memberi hukuman bagi pencuri.
3. Menyembelih hewan sebelum memakannya wajib, namun ia bisa ditinggalkan karena kewajiban lain, yaitu ketika orang yang sedang kelaparan dan hanya ada bangkai (hewan yang tidak disembelih secara syar’i) yang bisa ia makan, maka ia wajib memakan bangkai tersebut.
4. Khitan hukumnya wajib, karena seandainya ia tidak wajib, maka ada keharaman yang dilanggar, yaitu memotong anggota tubuh dan membuka aurat di hadapan orang lain.
5. Makmum wajib mengikuti imam untuk tasyahhud awal, meski ia telah berdiri untuk rakaat ketiga, karena mengikuti imam wajib hukumnya. Sedangkan bagi imam dan orang yang shalat sendirian, jika ia telah berdiri untuk rakaat ketiga, dan tidak tasyahhud awal, tidak boleh baginya kembali duduk untuk tasyahhud awal, karena itu berarti meninggalkan yang wajib demi melakukan yang sunnah.
6. Berdehem, yang keluar darinya dua huruf, jika itu dilakukan agar ia bisa membaca Al-Fatihah, maka ia diberi uzur. Namun jika berdehem tersebut dilakukan agar bisa menyaringkan suara saat membaca Al-Fatihah, ia tidak diberi uzur, karena menyaringkan suara hanya sunnah, tidak wajib.
Beberapa pengecualian, di antaranya:
1. Sujud sahwi dan sujud tilawah saat shalat boleh dilakukan karena ada dalil-dalil yang mensyariatkan hal tersebut, meskipun ia tidak wajib. Padahal itu termasuk menambah gerakan shalat, yang ketentuan asalnya, tidak dibolehkan.
2. Melihat perempuan pada dasarnya tidak dibolehkan, namun ia dibolehkan bagi orang yang sedang melamar (khitbah) seorang perempuan. Meskipun melihat (nazhar) perempuan yang dilamar itu sendiri, tidak wajib.
3. Mengangkat kedua tangan berkali-kali dalam takbir shalat ‘id, dibolehkan dan tidak membatalkan shalat, karena ada dalil yang menunjukkan hal tersebut, meskipun mengangkat tangan berkali-kali itu sendiri tidak wajib. Padahal itu menambah gerakan shalat.
4. Menambah ruku’ dalam shalat gerhana, tidak wajib, namun ia boleh dan disunnahkan untuk mengerjakannya. Padahal itu termasuk menambah gerakan shalat. Wallahu a’lam.
Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Negara
Rujukan: Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqatuha Fi Al-Madzhab Asy-Syafi’i, karya Dr. Muhammad Az-Zuhaili, Juz 1, Halaman 187-189, Penerbit Dar Al-Bayan, Damaskus.