Fatwapedia.com – Benarkah orang miskin lebih utama dari si kaya? Sebelum menjawab maka dalam hal ini ada perinciannya. Dalam beberapa keterangan memang disebutkan tentang keutamaan kaum lemah (mustadl’afiin), fakir, dan miskin. Diantaranya adalah firman Allah ta’ala :
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru kepada Tuhan-Nya di pagi hari dengan mengharap keridlaan-Nya dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka” [QS. Al-Kahfi : 28].
Ibnu Katsiir rahimahullah menjelaskan maksud dari ayat tersebut adalah :
“ikutlah bersama orang-orang yang mengingat kepada Allah, bertahlil, bertahmid, bertasbih, dan bertakbir, serta berdoa kepada-Nya di pagi dan sore hari, baik mereka yang miskin maupun yang kaya, kuat, maupun lemah. Ada yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang terhormat dari kalangan kaum Quraisy, ketika mereka meminta kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk duduk sendiri saja bersama mereka dan tidak mengajak para shahabatnya yang lemah, seperti Bilaal, ‘Ammaar, Shuhaib, Khabbaab, dan Ibnu Mas’uud. Mereka meminta supaya mereka diberi majelis khusus.
Sehingga Allah melarang beliau memenuhi permintaan mereka itu, dimana Dia berfirman : ‘Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabb-nya pada pagi hari dan petang hari’ (QS. Al-An’am: 52). Allah menyuruh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabar dalam duduk bersama mereka. Allah ta’ala berfirman: ‘Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan petang hari’.
Imam Muslim dalam Shahiih-nya berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah Al-Asadiy, dari Israaiil, dari Al-Miqdaam bin Syuraih, dari ayahnya, dari Sa’d bin Abi Waqqaash, ia berkata: Kami enam orang pernah bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu kaum musyrik berkata kepada Nabi,”Usirlah mereka. Mereka tidak akan berani melawan kami”. Lebih lanjut Sa’ad berkata : Ketika itu aku bersama Ibnu Mas’ud serta seseorang dari Hudzail, Bilal, dan dua orang yang aku lupa namanya. Maka timbullah dalam diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apa yang telah menjadi kehendak Allah, lalu beliau berbicara pada diri sendiri.
Hingga akhirnya, Allah ‘azza wa jalla menurunkan firman-Nya : ‘Dan jangnlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabbnya pada pagi hari dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridlaan-Nya’ (QS. Al-An’aam : 52)” [Tafsiir Ibni Katsiir, 5/152].
Selain ayat di atas, diantara hadits yang menunjukkan “keutamaan” orang miskin adalah hadits yang diriwayatkan dari Haritsah bin Wahb radliyallahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ ؟ كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَعِّفٍ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ، أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ؟ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ
”Maukah engkau aku beritahukan tentang penduduk surga? (yaitu) setiap (muslim) yang lemah dan diremehkan, seandainya dia bersumpah atas Allah niscaya Dia meluluskannya. Maukah engkau aku beritahukan tentang penduduk neraka? (yaitu) setiap orang yang keras, kasar, penumpuk harta, dan sombong” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4918 & 6072 & 6657 dan Muslim no. 2853].
Dan hadits-hadits lain yang menunjukkan “keutamaan” orang miskin.
Apakah keutamaan itu bersifat mutlak?? Jawabannya adalah tidak; karena kemiskinan pada hakikatnya merupakan ujian dan cobaan Allah di dunia, yang apabila seorang muslim bersabar atas ujian dan cobaan Allah tersebut, maka Allah memberinya keutamaan ganjaran dan pahala yang besar di akhirat kelak (dibandingkan dengan orang yang kaya). Jadi, keutamaan itu terkait dengan kesabaran dan keimanannya kepada Allah ta’ala, bukan pada dzat “kemiskinan” itu sendiri. Dan tidak diragukan lagi bahwa kesabaran dan keimanan itu mempunyai keutamaan yang bersifat umum.
Apabila dzat kemiskinan mempunyai keutamaan yang mutlak, tentu Allah akan menganjurkan kaum muslimin untuk menjadi miskin yang kemudian disebutkan dalam ayat-ayat-Nya dan hadits Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Justru yang ada, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berdoa agar dijauhkan dari kemiskinan dan kefaqiran, dan diantara doa yang sering beliau baca adalah:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، وَعَذَابِ الْقَبْرِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran, kefaqiran, dan ‘adzaab kubur” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1347 & 5465; shahih].
Allah ta’ala memerintahkan manusia bekerja dan mencari harta yang halal, sebagaimana firman-Nya :
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” [QS. Al-Jumu’ah: 10].
Ibnu Katsiir rahimahullah menjelaskan :
وقوله: { فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ } أي: فُرغ منها، { فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ } لَمَّا حَجَر عليهم في التصرف بعد النداء وأمرهم بالاجتماع، أذن لهم بعد الفراغ في الانتشار في الأرض والابتغاء من فضل الله. …… وقوله: { وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ } أي: حال بيعكم وشرائكم، وأخذكم وعَطَائكم، اذكروا الله ذكرا كثيرا، ولا تشغلكم الدنيا عن الذي ينفعكم في الدار الآخرة
“Makna firman Allah : ‘Apabila telah ditunaikan shalat’, yaitu : telah selesai mengerjakannya. ‘Maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah’. (Maksudnya), ketika Allah ta’ala melarang mereka berjual beli setelah mendengar suara adzan dan memerintahkan mereka untuk berkumpul, maka Allah mengizinkan mereka setelah selesai menunaikan shalat untuk bertebaran di muka bumi dan mencari karunia Allah ta’ala…… Dan firman Allah ta’ala : ‘dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung’; yaitu ketika kalian sedang berjual beli, dan pada saat kalian mengambil dan memberi, hendaklah kalian berdzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya dan janganlah kesibukan dunia melupakan kalian dari hal-hal yang bermanfaat untuk kehidupan akhirat” [Tafsiir Ibni Katsiir, 8/122-123].
Juga firman Allah ta’ala :
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ
”Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabb-mu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat” [QS. Al-Baqarah : 198].
Orang-orang fakir, miskin, dan banyak hutang (al-ghaarimiin) termasuk dalam katagori delapan golongan yang berhak mendapatkan bagian dari zakat maal, sebagaimana firman Allah ta’ala :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
”Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir. Orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutan, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan; sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” [QS. At-Taubah : 60].
Sebagaimana kita ketahui bersama, yang memberi tentu lebih utama lebih utama dari yang menerima/meminta atau tangan di atas lebih mulia/utama daripada tangan di bawah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَالْيَدُ الْعُلْيَا الْمُنْفِقَةُ، وَالسُّفْلَى السَّائِلَةُ
”Tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah, dan tangan di atas adalah tangan yang memberi dan tangan yang di bawah adalah tangan yang meminta” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1429, Muslim no. 1033, Abu Daawud no. 4947, dan yang lainnya].
Dan hal tersebut sejalan pula dengan firman Allah ta’ala :
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
”Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari secara terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka berserah diri” [QS. Al-Baqarah : 274].
Tentu saja, yang dapat/mampu memberi harta hanyalah orang yang mempunyai harta.
Allah ta’ala tidak pernah menyuruh kaum muslimin menjadi faqir dan miskin tak berharta, karena sebagian syari’at-Nya membutuhkan pengorbanan harta. Diantaranya : Allah ta’ala mewajibkan haji bagi kaum muslimin (lihat QS. Aali ‘Imraan ayat 97) dan bahkan menjadi salah satu rukun IslamIslam. Haji dan berbagai keutamaannya tentu hanya dapat diperoleh secara hakiki oleh orang yang berharta.
Allah ta’ala juga telah mewajibkan zakat – bahkan perintah zakat ini sering sekali beriringan dengan perintah shalat-, menganjurkan berinfaq, menyembelih hewan kurban, mengadakan aqiqah/nasikah pada hari ketujuh setelah kelahiran anak[6], dan yang semisalnya. Semua itu dilakukan oleh orang-orang yang berharta. Maka sungguh benarlah apa yang dikatakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ مَعَ الرَّجُلِ الصَّالِحِ
”Sebaik-baik harta yang baik adalah dimiliki oleh laki-laki yang shalih” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 299, Ibnu Hibbaan no. 3210, dan yang lainnya; shahih].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ
“Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin lalu mengemis kepada manusia dengan menengadahkan tangan-tangan mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1296 & 2742 & 3936].
Hadits ini menunjukkan orang yang berkecukupan lebih utama daripada orang miskin tak berharta yang hidupnya menggantungkan uluran bantuan orang lain; karena dengan harta yang dimiliki ia dapat menjaga kehormatan diri dan agamanya.
Orang kaya jika ia bersyukur atau orang miskin yang ia bersabar, keduanya mempunyai kebaikan. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda saat mensifat keadaan seorang mukmin:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, semua urusannya baik; dan itu tidak akan dimiliki kecuali oleh orang mukmin. Ketika ia mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Dan ketika ia mendapatkan musibah, ia bersabar, dan itu baik baginya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2999].
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya. Wallaahu a’lam.
Penulis: Abul Jauza