Telah dijelaskan, bahwa shalat witir bisa dikerjakan setelah shalat Isya’ hingga terbit fajar. Lihat artikelnya Disini. Namun yang lebih utamanya, shalat witir dikerjakan pada sepertiga malam terakhir. Sebagaimana hadits riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata,
مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- مِنْ أوَّلِ اللَّيْلِ وَ أَوْسَطِهِ وَآخِرِهِ فَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ[2]
“Di setiap malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat witir sejak permulaan malam, pertengahan malam, dan akhir malam. Hingga witir beliau selesai saatwaktu sahur” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (996), dan Muslim (745))
Dan ulama juga sepakat bahwa dianjurkan menjadikan shalat witir sebagai shalat sunnah penutup dari shalat malam yang telah dikerjakan. Berdasarkan hadits riwayat Ibnu Umarradhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اِجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا [3]
“Jadikanlah shalat witir sebagai penutup shalat malam kalian”
Hal ini dilakukan jika memang seseorang merasa yakin akan bangun di akhir malam, maka dianjurkan mengerjakan shalat witir di akhir malam. Namun jika khawtir tidak akan bangun di akhir malam, maka dianjurkan mengerjakan witir sebelum tidur. Hal tersebut berlandaskan hadits riwayat Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ خَافَ مِنْكُمْ أَنْ لَا يَسْتَيْقِظَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَليَرْقُدْ , وَمَنْ طَمِعَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَيْقِظَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ آخِرِهِ , فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَحْضُورَةٌ فَذَلِكَ أَفْضَلُ [1]
“Siapa di antara kalian yang merasa khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, maka hendaklah mengerjakan shalat witir di awal malam kemudian tidur. Namun siapa di antara kalian –berniat– akan bangun di akhir malam, maka hendaknya ia melaksanakan shalat witir di akhir malam. Karena sesungguhnya shalat di akhir malam itu disaksikan –oleh malaikat– dan itu lebih utama.” (Hadits Riwayat: Muslim (755), At-Tirmidzi (455) dan Ibnu Majah (1187))
Dan juga hadits riwayat Abu Qatadah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Abu Bakar:
مَتَى تُوتِرُ؟ “. قَالَ : أُوتِرُ ثُمَّ أَنَامُ. وَقَالَ لِعُمَرَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ :” مَتَى تُوتِرُ؟ “. قَالَ : أَنَامُ ثُمَّ أُوتِرُ. فَقَالَ لأَبِى بَكْرٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ :” أَخَذْتَ بِالْحَزْمِ أَوْ بِالْوَثِيقَةِ “. وَقَالَ لِعُمَرَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ :” أَخَذْتَ بِالْقُوَّةِ ” [2]
“Kapan kamu mengerjakan shalat witir?” Abu Bakar kemudian menjawab, “Aku mengerjakan shalat witir terlebih dahulu, baru kemudian tidur” Rasulullah kemudian bertanya kepada Umar “Kapan kamu mengerjakan shalat witir?” Umar lalu menjawab, “Aku tidur terlebih dahulu, baru kemudian –bangun– mengerjakan shalat witir” Rasulullah kemudian berkata kepada Abu Bakar, “Engkau menggunakan keteguhan hati” dan beliau berkata kepada Umar, “Sedangkan engkau menggunakan –niat yang– kuat” (Hadits Riwayat: Abu Daud (1421), Ibnu Majah (1202), dan Ibnu Khuzaimah (1084). Shahih)
Bolehkah Mengerjakan Shalat Sunnah Setelah Witir? Bolehkah Mengulangi Witir?
Siapa yang telah mengerjakan shalat witir, kemudian setelah itu ingin melaksanakan shalat sunnah lagi, maka dalam hal ini ada dua pendapat ulama: (Fathul-Qadir (1/312), Al-Zarqani (1/285), Al-Majmu’ (3/521), Kasyaful-Qina’ (1/427), dan Bidayatul Mujtahid (1/297))
Pertama: Boleh, ia boleh melaksanakan shalat sunnah sesukanya, dan tidak perlu mengulang lagi shalat witir. Ini pendapat mayoritas ulama dari kalangan madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali, dan pendapat masyhur dalam madzhab Syafi’i. Dan pernyataan Nakh’iy, Auza’i serta Alqamah yang diriwayatkan dari Abu Bakar, Sa’ad, Ammar, Ibnu Abbas, dan Aisyah radhiallahu ‘anha.
Mengenai dalil yang mereka jadikan landasan menyatakan shalat sunnah setelah witir itu boleh dikerjakan adalah sebagai berikut:
Hadits riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha :
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ ، وَهُوَ قَاعِدٌ [1]
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan salam (mengakhiri shalat) dengan salam yang terdengar oleh kami, lalu beliau melakukan shalat dua rakaat setelah salam, sedagkan beliau dalam keadaan duduk” (Hadits Riwayat: Muslim (746))
Hadits riwayat Ummu Salamah radhiallahu ‘anha :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْوِتْرِ وَهُوَ جَالِسٌ [2]
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam suatu saat melakukan shalat sunnah dua rakaat setelah witir dalam keadaan duduk.” (Hadits Riwayat: At-Tirmidzi (471), Ibnu Majah (1195). Sanadnya lemah. Memiliki Syahid dalam As-Shahih)
Hadits riwayat Jabir –yang telah disebutkan– bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ خَافَ مِنْكُمْ أَنْ لَا يَسْتَيْقِظَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَليَرْقُدْ [3]
“Siapa di antara kalian merasa khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, maka hendaknya mengerjakan shalat witir di awal malam, kemudian tidur.” (Shahih, baru saja dibahas)
Dapat dipahami dari hadits ini bahwa seseorang jika bangun di akhir malam –sedangkan sebelum tidur ia telah mengerjakan witir– maka dibolehkan baginya melaksanakan shalat sunnah sebagaimana telah dijelaskan.
Sedangkan dalil yang menerangkan bahwa shalat witir tidak perlu diulangi –jika telah dikerjakan– adalah hadits riwayat Thalq bin Ali radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ [4]
“Tidak ada dua kali witir dalam satu malam” (Hadits Riwayat: At-Tirmidzi (468), Abu Daud (1439), An-Nasa`i (3/229) dan selainnya)
Kedua: Tidak boleh mengerjakan shalat sunnah setelah witir, kecuali jika ia membatalkan witirnya, kemudian melakukan shalat sunnah dan witir. Maksudnya “membatalkan witir” adalah, mengawali shalat sunnahnya dengan satu rakaat yang itu menjadikan shalat witirnya menjadi genap, kemudian setelah itu melakukan shalat dengan rakaat genap sesukanya, namun di akhir shalat menutupnya dengan shalat witir (rakaat ganjil). Ini merupakan pendapat lain dalam madzhab Syafi’i, yang juga diriwayatkan dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Usamah, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum.
Dalil mereka adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :
اِجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا [5]
“Jadikanlah akhir shalat malam kalian –ditutup– dengan shalat witir”
Pendapat yang Rajih
Yaitu pendapat pertama, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melaksanakan shalat sunnah setelah witir, dan dalil ini menunjukkan bahwa hal tersebut dibolehkan. Adapun “membatalkan witir” sebagaimana pendapat kedua, dalilnya lemah dari dua sisi:
1. Bahwa shalat witir yang dikerjakan pertama telah sah, maka tidak bisa dibatalkan karena memang sudah selesai. Tidak bisa diubah menjadi shalat sunnah dengan menambah rakaatnya sehingga menjadi genap.
2. Shalat sunnah satu rakaat (selain witir) tidak ditemukan dalam syariat. Wallahu A’lam.
Jumlah Rakaat Witir Dan Sifatnya
Shalat witir boleh dikerjakan dengan satu rakaat, tiga, lima, tujuh atau sembilan rakaat.
1. Shalat Witir Satu Rakaat, Jumhur ulama menyatakan boleh, karena witir dapatdihitung dengan satu rakaat. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً فَأَوْتَرَتْ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى [1]
“Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, dan apabila khawatir datangnya Subuh –yang telah dekat– maka cukup mengerjakan shalat witir satu rakaat untuk mengakhiri shalat malamnya”
Juga hadits riwayat Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallambersabda:
الْوِتْرُ رَكْعَةٌ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ [2]
“Shalat witir itu satu rakaat di akhir malam” (Hadits Riwayat: Muslim (752) dan selainnya)
Dan riwayat dari Aisyah radhiallahu ‘anha :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْهَا بِوَاحِدَةٍ [3]
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat malam sebelas rakaat yang satu rakaat di antaranya adalah shalat witir” (Hadits Riwayat: Muslim (736), Abu Daud (1335), At-Tirmidzi (440), An-Nasa`i (3/234), dan Ahmad (6/35))
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat, bahwa shalat witir –minimal– tiga rakaat, dengan dalil hadits:
المَغْرِبُ وِتْرُ النَّهَارِ [4]
Shalat Maghrib adalah “witir” di siang hari”
Karena Rasulullah ketika mengumpamakan shalat Maghrib sebagai “witir”nya siang, maka witir di malam hari pun harus tiga rakaat. (Hadits Riwayat: Ahmad (2/ 30, 41) Ibnu Abi Syaibah (2/81), Abdurrazaq (4675) dari hadits Marfu’ Ibnu Umar, dan Malik (276) Mauquf padanya, namun tidak bermasalah, karena Imam Malik mengkategorikan hadits Marfu’ sebagai hadits Mauquf. Dan hadits ini memiliki syahid-syahid dari Aisyah dan Ibnu Mas’ud. Shahih)
Penulis berkata: Tidak ada yang menghalangi jika shalat Maghrib itu sebagai “witir” –karena tiga rakaat– lalu shalat yang lainnya juga disebut witir (meskipun satu rakaat). Selain itu, jika Maghrib dikatakan sebagai “witir” untuk siang, maka dalil-dalil yang telah dipaparkan di atas menyatakan bahwa witir untuk malam itu –cukup– dengan satu rakaat, dan ini gamblang.
2. Shalat Witir Tiga Rakaat. Ada dua cara, dan keduanya dibolehkan.
Cara Pertama: Shalat dua rakaat terlebih dahulu yang diakhiri dengan salam, kemudian shalat satu rakaat lagi untuk rakaat ketiga.
Hal tersebut sebagaimana yang dilakukan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma :
أَنَّهُ كَانَ يُسَلِّمُ بَيْنَ الرَّكْعَتَيْنِ وَ الْوِتْرِ حَتَّى يَأْمُر بِبَعْضِ حَاجَتِهِ[1]
“Bahwa ia melakukan salam di antara dua rakaat dan witir hingga ia meminta untuk beberapa keperluannya.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (991), dari Malik (1/125))
Dan juga terdapat hadits marfu’ dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَفْصِلُ بَيْنَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ بِتَسْلِيمٍ يُسْمِعْنَاهُ [2]
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memisah antara rakaat genap dan witir dengan salam yang –suaranya– beliau perdengarkan kepada kami.” (Hadits Riwayat: Ahmad (2/76), Thahawi (1/278), Ibnu Hibban (2433-2435) Shahih dengan seluruh jalur periwayatannya dan diperkuat oleh Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari (2/482))
Hadits ini juga diperkuat dengan saksi hadits riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ يُوتِرُ بَعْدَهُمَا بِـ [سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى] وَ [قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ] وَيَقْرَأُ فِى الْوِتْرِ بِـ [قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ] وَ [قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ] وَ [قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ][3]
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan dua rakaat shalat malam yang diakhiri witir, beliau membaca –dalam shalat malam tersebut– dengan surat [Sabbihisma Rabbika-l-A’la] dan [Qul Ya Ayyuhal-Kafirun] sedangkan dalam shalat witir beliau membaca, [Qul Huwallahu Ahad] dan [Qul A’udzu Bi Rabbil-Falaq] dan [Qul A’udzu bi Rabbin-Nas]” (Hadits Riwayat: Thahawi (1/285), Hakim (1/305), Darul-Quthny (2/35), Ibnu Hibban (3432). Dha’if, dan telah Shahih namun tanpa disebutkan al-Muawwidzatain dari hadits Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab sebagaimana nanti akan dibahas. At-Talkhish (533))
Permasalahan ini dalam kitab Shahih Ibnu Hibban telah dijadikan bab khusus dalam “Penyampaian riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memisahkan antara shalat dua rakaat dan rakaat ketiga dengan salam.”
Cara Kedua: Shalat tiga rakaat witir dengan satu kali tasyahud.
Sebagaimana dalam riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata:
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ؛ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا [1]
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam –dalam shalat malam– baik ketika bulan Ramadhan atau selainnya, beliau tidak pernah melakukannya lebih dari sebelas rakaat; yaitu beliau mengerjakan empat rakaat terlebih dahulu, dan jangan tanyakan tentang bagus dan panjangnya rakaat tersebut. Lalu beliau melaksanakan empat rakaat lagi, dan jangan tanyakan tentang bagus dan panjangnya rakaat tersebut. Baru setelah itu beliau mengerjakan tiga rakaat witir.” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1147), Muslim (738) dan selain mereka berdua)
Juga dalam riwayat lain Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِثَلاَثٍ لاَ يَقْعُدُ إِلاَّ فِى آخِرِهِنَّ [2]
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat witir tiga rakaat dan tidak duduk tasyahud kecuali di akhir rakaat saja.” (Hadits Riwayat: Malik (466), An-Nasa`i (3/234), Thahawi (1/280), Hakim (1/304), dan Baihaqy (3/31))
Catatan Penting: Tidak disyariatkan mengerjakan witir tiga rakaat dengan satu salam namun dengan dua kali tasyahud layaknya shalat Magrib. Berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallambersabda:
لَا تُوتِرُوا بِثَلَاثٍ، أَوْتِرُوا بِخَمْسٍ، أَوْ بِسَبْعٍ، وَلَا تَشَبَّهُوا بِصَلَاةِ الْمَغْرِبِ [3]
“Jangan kalian mengerjakan shalat witir tiga rakaat (dengan cara seperti shalat Maghrib), dan kerjakanlah witir dengan lima rakaat atau tujuh rakaat. Serta jangan –mengerjakan shalat witir yang– menyerupai dengan shalat Maghrib.” (Hadits Riwayat: Hakim (1/304), Al-Baihaqi (3/31), Ibnu Hibban (2429), Darul-Quthny (2/24). Shahih, al-Hafidz berkata dalam kitab At-Talkhish; dan semua sanadnya terpercaya (tsiqah) dan tidak mengapa jika ada yang menyatakannya sebagai hadits Mauquf)
Apa Yang Dibaca Pada Tiga Rakaat Tersebut?
Dianjurkan bagi yang melakukan shalat witir tiga rakaat untuk membaca surat-surat sebagaimana dalam hadits di bawah ini:
Hadits riwayat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَقْرَأُ فِي الوِتْرِ: بِـ [سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى] وَ [قُلْ يَا أَيُّهَا الكَافِرُونَ]، وَ [قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ] فِي رَكْعَةٍ رَكْعَةٍ [4]
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengerjakan shalat witir, beliau membaca surat [Sabbihisma Rabbika-l-A’la] lalu [Qul Ya Ayyuhal-Kafirun] dan [Qul Huwallahu Ahad]. Di setiap rakaat rakaat.” (Hadits Riwayat: At-Tirmidzi (461) dan An-Nasa`i (3/236). Shahih)
Maksudnya, di setiap rakaat dibaca satu surat tersebut.
Dan juga riwayat Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhuma :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَقْرَأُ فِي الوِتْرِ بِـ [سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى] ، وَ[قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ] ، وَ[قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ] فَإِذَا سَلَّمَ ، قَالَ : سُبْحَانَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ ، ثَلاَثَ مَرَّاتٍ [1]
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengerjakan shalat witir, beliau membaca surat [Sabbihisma Rabbika-l-A’la] lalu [Qul Ya Ayyuhal-Kafirun] dan [Qul Huwallahu Ahad]. Dan seusai salam beliau membaca, “Subhanal-Malikul-Quddus” sebanyak tiga kali.” (Hadits Riwayat: Abu Daud (1423), An-Nasa`i (3/244), Ibnu Majah (1171). Shahih, dan ada perbedaan namun Insya Allah tidak masalah)
Dengan dua hadits ini; ulama Hanabilah, Malikiyah dan Syafi’iyah yang menganjurkan bahwa ketika rakaat ketiga dalam shalat witir, hendaknya dibaca Al-Mu’awidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas) sebagaimana dalam hadits riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha yang sebelumnya. Namun haditsnya tidak shahih. Wallahu A’lam.
3. Shalat Witir Lima Rakaat. Hukumnya boleh, dan dianjurkan bagi yang mengerjakan witir lima rakaat, maka tidak duduk tasyahud kecuali pada rakaat terakhir saja. Sebagaimana dalam hadits riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha ia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ ثَلاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ لا يَجْلِسُ إِلاَّ فِي آخِرِهاَ [2]
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika melakukan shalat malam tiga belas rakaat, lima rakaat di antaranya adalah shalat witir –dan di dalam witir tersebut– beliau tidak duduk tasyahud melainkan di akhirnya.” (Hadits Riwayat: Muslim (737), Abu Daud (1324), dan At-Tirmidzi (457))
4. Shalat Witir Tujuh Atau Sembilan Rakaat. Boleh dan dianjurkan ketika melakukan witir dengan jumlah rakaat tersebut agar melakukannya dengan berturut-turut serta tidak duduk tasyahud kecuali pada rakaat sebelum terakhir –dan tidak salam terlebih dahulu–, bangkit lagi untuk menyempurnakan rakaat terakhir, baru kemudian duduk tasyahud lagi dan kemudian salam.
Sebagaimana dalam hadits riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha saat menerangkan tata-cara shalat witir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ia berkata:
كُنَّا نُعِدُّ لَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – سِوَاكَهُ , فَيَبْعَثُهُ اللهُ مَا شَاءَ أَنْ يَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ، فَيَتَسَوَّكُ، وَ يَتَوَضَّأُ، وَ يُصَلِّي تِسْعَ رَكَعَاتٍ لَا يَجْلِسُ فِيهاَ إِلَّا فِى الثَّامِنَةِ، فَيَذْكُرُ اللهَ وَ يَحْمَدُهُ وَ يَدْعُوهُ ، ثُمَّ يَنْهَضُ
وَلَا يُسَلِّمُ، ثُمَّ يَقُوْمُ التَّاسِعَةَ ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللهَ وَ يَحْمَدُهُ يَدْعُوهُ , ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعنَاهُ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَعْدَمَا يُسَلِّمُ وَهُوَ قَاعِدٌ ، فَتِلْكَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَا بُنَيَّ، فَلَمَّا أَسَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَخَذَ اللَّحْمَ أَوْتَرَ بِسَبْعٍ ، وَ صَنَعَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ مِثْل صَنِيْعهُ الأوَّلُ ، فَتِلْكَ تِسْعٌ يَا بُنَيَّ [1]
“Kami biasa menyediakan siwak bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau bangun malam pada waktu yang dikehendaki Allah. Kemudian beliau bersiwak dan berwudhu’ lalu shalat (witir) sembilan rekaat dan beliau tidak duduk (tasyahud) melainkan pada rakaat yang ke delapan, lalu berdzikir kepada allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, kemudian beliau bangun dengan tidak mengucap salam dan berdiri mengerjakan rakaat yang ke sembilan, kemudian beliau duduk (tahiyat) seraya berdzikir kepada allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya. Kemudian beliau shalat dua rakaat seusai salam sedangkan beliau dalam keadaan duduk. Dengan demikian beliau mengerjakan sebelas rakaat wahai anakku. Namun ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam beranjak usia dan berat badan beliau pun bertambah, beliau hanya mengerjakan witir dengan tujuh rakaat, lalu melakukan shalat dua rakaat sebagaimana sebelumnya –aku jelaskan kepadamu– dengan demikian beliau mengerjakan sembilan rakaat wahai anakku.” (Hadits Riwayat: Muslim (746), Abu Daud (1328), dan An-Nasa`i (3/199))