Fatwapedia.com – Di bawah sistem sekular yang mencampakkan aturan agama (syariah Islam), sebagaimana di negeri ini, kekuasaan benar-benar telah menimbulkan fitnah. Banyak orang berlomba-lomba meraih dan atau mempertahankan kekuasaan. Segala cara digunakan. Tanpa peduli halal dan haram. Saat berkuasa atau memegang jabatan, kekuasaan dan jabatan itu pun dijalankan tanpa mengenal halal dan haram. Kekuasaan lebih banyak dijadikan alat untuk kepentingan sendiri dan golongan. Sebaliknya, kepentingan dan kemaslahatan rakyat sering diabaikan dan ditinggalkan.
Ambisi Kekuasaan
Ambisi kekuasaan merupakan bagian dari keinginan hawa nafsu. Memang wajar ambisi itu muncul, namun bukan berarti harus dituruti. Islam mengajarkan bahwa hawa nafsu harus ditata dan dikendalikan sesuai petunjuk Allah SWT. Sebabnya, hawa nafsu itu sering memerintahkan pada keburukan (Lihat: QS Yusuf [12]: 53).
Banyak orang berlomba-lomba mewujudkan ambisi mereka atas kekuasaan. Hal itu tampak jelas, misalnya, dalam Pilkada. Puluhan ribu orang bersaing dan melakukan berbagai cara untuk meraih kekuasaan itu. Tampak pula dalam kontestasi Pilpres. Memang, dalam Pilpres hanya beberapa pasangan yang bersaing. Namun, jutaan orang melibatkan diri untuk mendukung dan memilih pasangan mereka. Di antara mereka banyak petahana yang berambisi untuk mempertahankan jabatan dan kekuasaan mereka. Mereka banyak yang mencalonkan kembali untuk masa jabatan kedua. Ambisi kekuasaan juga tampak saat belakangan mencuat ide agar masa jabatan presiden dibuat tiga periode.
Jauh-jauh hari Rasulullah saw. telah mensinyalir ambisi kekuasaan ini. Beliau pun memperingatkan umatnya agar hati-hati terhadap akibatnya:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإِمَارَةِ وَسَتَصِيرُ نَدَامَةً وَحَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَنِعْمَتِ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ
Sungguh kalian akan berambisi terhadap kepemimpinan (kekuasaan), sementara kepemimpinan (kekuasaan) itu akan menjadi penyesalan dan kerugian pada Hari Kiamat kelak. Alangkah baiknya permulaannya dan alangkah buruknya kesudahannya (HR al-Bukhari, an-Nasa’i dan Ahmad).
Ash-Shan’ani di dalam Subul as-Salâm menjelaskan bahwa Nabi saw. melarang meminta al-imârah (kepemimpinan/kekuasaan). Alasannya, kekuasaan itu bisa memberikan kekuatan kepada orang yang sebelumnya lemah dan memberikan kemampuan kepada orang yang sebelumnya tidak memiliki kemampuan. Semua itu bisa diambil oleh jiwa yang kasar dan cenderung pada keburukan. Lalu kekuasaan itu dijadikan wasilah untuk balas dendam kepada orang yang dia anggap musuh. Sebaliknya, kekuasaan itu dia gunakan untuk hanya memperhatikan teman dan para pendukungnya, juga demi mewujudkan tujuan-tujuan rusak. Ini jelas akan berakibat tidak baik dan tidak akan selamat. Karena itu, dalam kondisi demikian, yang lebih utama adalah al-imârah (kekuasaan) itu tidak diminta.
Al-Munawi di dalam Faydh al-Qadir menjelaskan bahwa kekuasaan itu bisa menggerakkan sifat-sifat terpendam. Jiwa bisa didominasi oleh kecintaan atas prestise dan kelezatan berkuasa, juga rasa suka agar segala perintahnya dijalankan. Semua itu merupakan kenikmatan dunia yang paling besar. Jika semua itu dicintai, seorang penguasa bisa dikendalikan oleh hawa nafsunya. Dia akan selalu mengedepankan kepentingannya meski batil. Hal demikian bisa menjadikan dirinya binasa.
Karena itulah Rasul saw. memberikan contoh dengan tidak memberikan kekuasaan atau jabatan kepada orang yang meminta kekuasaan atau jabatan tersebut. Beliau pernah bersabda:
إِنَّا وَاللَّهِ لاَ نُوَلِّى عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ
Kami, demi Allah, tidak akan mengangkat atas tugas ini seorang pun yang memintanya dan yang berambisi terhadapnya (HR Muslim, Ibnu Hibban, Ibn al-Jarud dan Abu ‘Awanah).
Dalam redaksi lain dinyatakan:
لاَ نَسْتَعْمِلُ عَلَى عَمَلِنَا مَنْ أَرَادَهُ
Kami tidak akan mengangkat—atas tugas kami—orang yang menginginkannya (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasa’i).
Abu Bakar ath-Tharthusi dalam Sirâj al-Muluk menjelaskan, “Rahasia di balik semua ini adalah bahwa kekuasaan (jabatan) adalah amanah… Berambisi atas amanah adalah salah satu bukti dari sikap khianat… Jika seseorang yang khianat diberi amanah maka itu seperti meminta serigala untuk menggembalakan domba. Akibatnya, rusaklah sikap rakyat terhadap penguasanya. Pasalnya, jika hak-hak mereka hancur dan harta mereka dimakan oleh penguasa mereka, maka rusaklah niat mereka dan lisan mereka akan mengucapkan doa (yang buruk) dan pengaduan atas penguasa mereka.”
Amanah Kekuasaan
Berdasarkan hadis-hadis di atas, kekuasaan dan jabatan itu jelas merupakan amanah. Amanah kekuasaan atau jabatan itu benar-benar akan menjadi penyesalan dan kerugian di akhirat kelak bagi pemangkunya; kecuali jika dia berlaku adil, mendapatkan kekuasaan dengan benar serta menunaikan kekuasaannya dengan amanah.
Kewajiban penguasa seperti dalam hadis Abdullah bin Umar ra. adalah memelihara urusan-urusan rakyat (ri’âyah syu`ûn ar-ra’yah). Ri’âyah itu dilakukan dengan siyasah (politik) yang benar, yaitu seperti yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim. Ri’âyah atau siyâsah yang baik itu tidak lain dengan menjalankan hukum-hukum syariah serta mengutamakan kemaslahatan dan kepentingan rakyat.
Begitulah sosok pemimpin yang adil. Dia dicintai oleh Allah SWT dan umat karena menjalankan hukum-hukum-Nya dan menunaikan amanahnya. Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
Sungguh Allah menyuruh kalian memberikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia agar kalian berlaku adil (TQS an-Nisa’ [4]: 58).
Imam ath-Thabari, dalam Tafsîr ath-Thabarî, menukil perkataan Ali bin Abi Thalib ra., “Kewajiban imam/penguasa adalah berhukum dengan hukum yang telah Allah turunkan dan menunaikan amanah. Jika ia telah melaksanakan hal itu maka orang-orang wajib mendengarkan dan mentaati dia, juga memenuhi seruannya jika mereka diseru…”
Inilah dua sifat yang melekat pada pemimpin yang adil. Pertama: Menjalankan hukum-hukum Allah SWT dalam pelaksanaan ibadah umat, muamalah, hukum-hukum ekonomi Islam (tentang kepemilikan, pengelolaan kekayaan milik umum, keuangan negara), hukum peradilan dan pidana Islam (hudud, jinayat, ta’zir maupun mukhalafat), hukum-hukum politik luar negeri; dsb.
Kedua: Menunaikan amanah ri’âyah, yakni memelihara semua urusan umat seperti menjamin pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan bagi tiap individu warga negara); menjamin pemenuhan pendidikan, kesehatan dan keamanan secara cuma-cuma; serta melindungi rakyat dari berbagai gangguan dan ancaman. Dalam memelihara urusan rakyat, penguasa hendaklah seperti pelayan terhadap tuannya. Sebabnya, “Sayyidu al-qawmi khâdimuhum (Pemimpin kaum itu laksana pelayan mereka).” (HR Abu Nu’aim).
Rasul saw. banyak memperingatkan penguasa dan pemimpin yang tidak amanah/khianat dan zalim. Mereka adalah pemimpin jahat (HR at-Tirmidzi); pemimpin yang dibenci oleh Allah SWT, dibenci oleh rakyat dan membenci rakyatnya (HR Muslim); pemimpin yang bodoh (imâratu as-sufahâ’), yakni pemimpin yang tidak menggunakan petunjuk Rasul dan tidak mengikuti sunnah beliau (HR Ahmad); penguasa al-huthamah, yakni yang jahat dan tidak memperhatikan kepentingan rakyatnya (HR Muslim); penguasa yang menipu (ghâsyin) rakyat (HR al-Bukhari dan Muslim). Rasul saw. pun memperingatkan agar tidak mengangkat pejabat orang yang tidak layak, sementara ada yang lebih layak, atau lebih mengutamakan orang yang disukai dan orang dekat (HR Ahmad dan al-Hakim).
Demi Melayani Islam
Kekuasaan yang dikehendaki oleh Islam adalah yang digunakan untuk melayani Islam, sebagaimana yang diminta oleh Rasul saw. kepada Allah SWT:
وَاجْعَل لِّي مِن لَّدُنكَ سُلْطَانًا نَّصِيرًا
Berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong (TQS Al-‘Isra’ [17]: 80).
Di dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir, mengutip Qatadah, menyatakan: Nabi saw. amat menyadari bahwa beliau tidak memiliki daya untuk menegakkan agama ini kecuali dengan kekuasaan. Karena itulah beliau meminta kekuasaan agar bisa menolong Kitabullah, menegakkan hudud Allah, menjalankan berbagai kefardhuan Allah dan menegakkan agama Allah.
Kekuasaan juga harus dibangun di atas pondasi agama, yakni Islam, dan ditujukan untuk menjaga Islam dan syariahnya serta memelihara urusan umat. Imam al-Ghazali menyatakan, “Agama adalah pondasi, sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap.” (Al-Ghazali, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hlm. 199).
Alhasil, kekuasaan harus diorientasikan untuk melayani Islam dan kaum Muslim. Hal ini hanya akan terwujud jika kekuasaan itu menerapkan syariah Islam secara total, memelihara urusan dan kemaslahatan umat, menjaga Islam dan melindungi umat. Kekuasaan semacam inilah yang harus diwujudkan oleh kaum Muslim semuanya. Dengan itu kekuasaan akan menjadi kebaikan dan mendatangkan keberkahan bagi semua. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Buletin Dakwah Kaffah – 187 (19 Sya’ban 1442 H – 2 April 2021 M)